“Sudah pulang, Mas?” Tanya Ari pada kakak tertuanya yang baru tiba dari ngarit, semacam mencari rumput untuk pakan ternak. “Iya.” Jawab Mas Yono singkat sambil meletakkan sekarung rumput yang baru saja dicarinya di sekitar pematang kemudian duduk di kursi kayu di serambi. “Makan dulu, Mas. Mak masak oseng kangkung sama itu, ada kerupuk pasir sisa tadi pagi.” Kata Ari yang sejak tadi sibuk dengan pisau dan bambu. Dia berniat membuat layangan.
“Mak mana, Ri?” Tanya Mas Yono tanpa menanggapi tawaran adik bungsunya itu. “Tadi habis pulang dari pasar langsung berangkat ke masjid sama Mas Wawan,” jawab Ari masih sembari meraut bambu. “Ada apa, Mas?” “Nggak apa-apa,” sahut Mas Yono yang mulai mengipasi lehernya dengan topi yang tadi tersemat di kepalanya. “Lha kamu kok nggak sekalian ke masjid?” “Ini masih belum kelar. Nanti saja Zuhur sama sampeyan.”
Ari terlihat sangat fokus dengan pisau dan bambunya hingga jadilah ragangan layangannya. Sesekali dia menengok ke arah wajah kakaknya dan melihat seperti ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Entah apa itu tapi Ari sungkan untuk menanyakannya. Sudah beberapa hari ini raut muka Mas Yono memang terlihat murung begitu. Ari kemudian mulai menimbang benang dengan serius dilanjutkan dengan memotong kertas.
“Aku masuk dulu, Ri. Perutku sudah mulai lapar,” kata Mas Yono tiba-tiba sambil beranjak dari kursi. “Sehabis makan aku mau mandi dulu. Kau selesaikan saja layang-layangmu itu.” Tambah Mas Yono dan langsung menuju dalam. “Oke.”
Tak lama berselang, Mak dan Mas Wawan datang dengan sepeda jengki tua, sepeda peninggalan bapaknya dulu. Sejak Pak Benu meninggal, sepeda itu masih tetap dirawat oleh istri dan ketiga anaknya karena memang sepeda itulah satu-satunya kendaraan beroda yang mereka punya. Selain sepeda, barang berharga lain yang ada di rumah mereka hanya dua ekor domba.
“Assalamu’alaikum.” Ucap salam si mak dan Mas Wawan hampir bersamaan. “Wa’alaikumussalam.” Sahut Ari. “Belum jadi juga layanganmu, Ri?” Tanya Mas Wawan sambil melihat layangan yang hampir jadi sementara Mak langsung ke dalam. “Belum, Mas. Sedikit lagi.” Jawab Ari yang sudah mulai mengelem kertas di atas ragangan. “Mas Yono sudah pulang?” Tambah kakaknya itu. “Sudah, Mas. Kayaknya lagi makan di dalam.” Jawab Ari. “Oh, ya sudah.” Sahut Mas Wawan singkat. Kali ini dia yang duduk di kursi kayu di serambi yang masih hangat bekas dudukan kakaknya tadi.
“Eh, Mas, beberapa hari ini Mas Yono tampak tidak tenang. Wajahnya terlihat murung dan lebih sering melamun, seperti sedang mikir negoro saja. Sampeyan tahu dia kenapa?” Celetuk Ari membuka pembicaraan. “Kamu peka juga ternyata, Ri,” kata Mas Wawan agak heran. “Iya. Beberapa hari lalu Mas Yono cerita kalau dia kepingin motor. Dia juga sudah beberapa kali bilang sama mak tapi nggak dikasih. Ya gimana ya, kamu juga tahu sendiri keadaan kita seperti apa. Dibilang miskin ya hampir, dibilang cukup ya harus dicukup-cukupkan. Bisa makan saja sudah alhamduliLlah, Ri.” “Oh begitu to. Kenapa domba yang seekor nggak dijual saja, Mas? Kan bisa buat beli yang second.” Sahut Ari sambil mulai memperhatikan layangannya yang sudah jadi. “Iya sih, Ri, tapi masmu pinginnya yang baru. Dia nggak mau yang bekas-bekas.” Jawab Mas Wawan menghela napas. “Kalau begitu kredit saja to, Mas. Tinggal DP enam ratus ribu sudah dapat motor baru.” “Iya bisa, tapi nyicil seterusnya itu yang sulit. Mak nggak kuat, Ri. Laba dari jualan pisang di pasar kan nggak seberapa.” Tukas Mas Wawan. “Waduh! Repot juga ya, Mas.”
“Ayo Zuhur sekarang, Ri!” Tiba-tiba ajak Mas Yono yang melongok berdiri di pintu sambil mengancingkan bajunya. Dia rampung mandi dan sudah rapi. “Oke, Mas. Tak ambil wudhu dulu.”
Sehabis sembahyang, Ari segera pergi ke lapangan untuk mencoba layangannya yang sudah jadi sedang Mas Yono menghampiri mak di kamar yang tampak sedang berzikir, mungkin melanjutkan zikir yang belum sempat terselesaikan di masjid tadi, kemudian duduk menyebelahinya.
“Gimana, Mak? Masih belum ada ya uangnya?” Tanyanya. “Belum dan sepertinya memang tidak akan ada, Yon. Maaf mak nggak bisa menurutimu. Lebih baik kau urungkan saja keinginanmu itu.” Jawab mak dengan halus. Mas Yono terdiam sejenak. “Kalau saja bapak masih hidup ya, Mak, hidup kita mungkin bisa lebih enak. Paling tidak lebih baik dari kondisi kita sekarang ini.” Ucap Mas Yono mengeluh. “Tidak boleh begitu, Yon! Bagaimanapun keadaannya kita tetap harus bersyukur. Kalau pun sulit, paling tidak berusaha sabar. Barangkali sabar adalah kata yang pas untuk ethok-ethoke menerima kondisi kita sekarang. Lagi pula bapakmu sudah tenang di Sana. Kau doakan saja supaya pusara bapakmu selalu lapang dan senantiasa dalam keadaan bahagia.” “Aamiin,” sahut Mas Yono pelan. Dia kemudian terdiam lagi. Kali ini agak lama. Entah sedang melamunkan apa. Tiba-tiba tak ada apa, ucapan lirih yang teramat lirih keluar dari mulutnya, “Aku mau nyusul bapak.” Perkataan itu hanya terdengar lamat-lamat di telinga mak sehingga ia tidak begitu mengerti apa yang diucapkan sulungnya itu. “Apa? Gimana, Yon?” “Nggak apa-apa, Mak. Ya sudah kalau begitu.” Mas Yono menutup pembicaraan singkat itu sambil berlalu keluar kamar.
Di lapangan, Ari sudah puas menjajal layangan buatannya itu. Setelah lelah, dia kemudian pulang dan sampainya di rumah, dilihatnya jam ternyata sudah masuk waktu Asar. Mas Wawan juga sudah tak ada di kursi di serambi.
“Assalamu’alaikum!” Ucapnya salam setelah melewati pintu sambil menaruh layangannya di dalam di dekat pintu. Tak ada yang menjawab. Mungkin mak dan kedua kakaknya masih tidur. Kebetulan dia juga mau buang air kecil, jadi tak begitu dipedulikannya perkara itu dan langsung menuju kamar mandi. Sekalian wudhu, katanya pada dirinya sendiri.
Tiba di depan kamar mandi, pintu tertutup. Ada orang di dalam, gumamnya dalam hati. Ari pun menunda niatnya dan beralih berjalan ke kandang untuk memberi makan domba dan membuang kotorannya. Iras-irus sambil menunggu yang di kamar mandi keluar. Setelah selesai, dia kembali memeriksa kamar mandi dan ternyata pintunya masih tertutup. Ari mulai tidak sabar dan mencoba memanggil yang di dalam.
“Mak..” Katanya dengan suara agak keras. Tak ada jawaban. “Mas Yono..” Panggilnya lagi. Masih tak ada jawaban. “Mas Wawan..” Tetap tak ada yang menjawab.
Karena sudah tidak tahan, Ari mencoba mengintip lewat celah sempit di pintu yang tertutup sangat rapat. Dan ternyata yang dilihat Ari adalah hal yang barangkali tak pernah dibayangkan olehnya. Seorang laki-laki berdiri lunglai menghadap pintu dengan tubuh kaku dan wajah yang sudah pucat. Lidahnya menjulur keluar dengan kedua mata masih terbuka dan kaki yang melayang sama sekali tidak menapak tanah. Lehernya menyendat karena tali tampar menggayut dan terpaut di atap. Ari sangat tidak percaya dengan apa yang dia lihat di hadapannya. Ya. Ari melihat kakak sulungnya gantung diri. Ari melihat Mas Yono mati dengan kedua matanya sendiri.
Rembang, Maret 2021.
Cerpen Karangan: A. Zulfa Muntafa Blog / Facebook: Zulfa Azm A. Zulfa Muntafa lahir pada 29 April tahun 2000 di Kemadu—Sulang, Rembang, Jawa Tengah. Beberapa cerpennya sudah pernah dimuat di Kompas, Ismaro Tuban, dan beberapa media digital lainnya. Saat ini, penulis berstatus sebagai mahasiswa semester enam di program studi Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.