Bapakku dahulu adalah seorang penunggang vespa tua bertipe excel 150 CC tahun 1989 berwarna coklat metalic dengan body yang kini bopeng dan calar mendominasi dengan kisahnya masing-masing. Terpampang di pojok kanan bersanding dengan barang-barang yang begitu sesak berserakan memenuhi gudang. Kusingkapkan debu hingga berpencar meninggalkan posisinya. Memasuki selah hidung, menyusul suara bersin yang menggelegar memenuhi seisi gudang. Mungkin, sudah lebih dari 10 tahun vespa dibiarkan magkrak tak tersentuh.
Kugali ingatan lama bersama sepeda motor pertama yang menemani ribuan perjalanan yang kini seakan mati tak bernyawa. Waktu kecil, tuannya selalu menemaniku menelusuri wajah kota bersama sang vespa yang suaranya membuat kegaduhan. Suaranya bagaikan gesekan seng yang memekakkan telinga. Sedih! Suara yang paling sedih tentang asa yang ia bawa setiap kali berbunyi. Tapi dialah vespa kesayangan bapak.
Aku teringat kebiasaan terindah tuannya, selalu mengajakku keliling menghabiskan waktu senja. Kami berjalan menikmati indahnya keramaian sosok kota, berpetualang menyisir bangunan tua, berwara-wiri kesana kemari di bawah warna orange dan jingga tenggelamnya cahaya pada garis cakrawala. Aku suka berdiri di depan, merasakan hembusan angin dan debu-debu yang memasuki mata, menengok ke kanan ke kiri, memperhatikan bangunan-bangunan tua berjajar sejauh mata memandang.
Hari semakin sore, burung-burung terbang mulai kembali pulang dan lampu-lampu perumahan dan jalan mulai menyala. Sore itu senja tetap indah seperti biasa, warna yang dilukiskannya pada bentangan lazuardi. Kutatap sabit matahari yang perlahan hilang di batas cakrawala. Kupandang dengan seksama bias merah muda pada serabut awan.
“Kita beli makanan dulu ya,” ucap bapak yang sontak membuyarkan bayangku. “Hayo, bapak pasti mau menyogok mamak kan biar gak merepet,” ucapku sambil menggoda “Hahaha… Iya, iya, biar gak merepet mamakmu sama bapak,” sambil ia mencubit pipiku.
Walau wajah bapak sangar namun ia termasuk tipe Susis (suami sieun istri) yang selalu takut istrinya mengomel. Belum sampai di depan teras, mamak menunggu dengan wajah sangarnya. Matanya melotot sedangkan hidungnya kembang kempis menatap tajam dua orang lelaki.
“Kan… Pasti merepet mamakmu. Lihat itu, sudah menunggu seperti penjaga pintu neraka,” “Assalamu’alaikum, Sayangku,” “Wa’alaikumsalam,” ucapnya ketus sambil melotot. “Kemana aja lama kali pulangnya bang, udah mau adzan magrib baru pulang. Bukan di rumah, malah main-main entah ke mana. Bukan diajak aku Bang istrimu, malah ditinggal di rumah sendiri,” “Adek, janganlah merepet terus, makin tua nanti,” “Biar!” “Garangnya… Cemberut aja Adek ini,” “Nah, Mak nasi goreng. Bapak yang beli, katanya biar Mamak gak ngomel terus,” ucapku memperkeruh suasana. “Gitu Bapakmu bilang?” suara mamak meninggi. “Murah kali aku ya, Bang. Cuma kau sogok nasi gor…” “Sssttt… Udah adzan, diam!” jawab bapak dengan cepat memotong. Sontak wajah mamak merengut, “Halah, alasan supaya gak kena marah kan?” “Simpan dulu marahnya, sudah adzan tuh. Ini lagi anak kecil malah nguping pembicaran orang dewasa. Sana ambil wudhu kita shalat berjamaah,” ucap bapak sembari memukul pelan bokongku.
—
Delapan bulan lalu, bapak meninggalkan dunia. Dua tahun berjuang melawan sakit diabetes hingga gagal ginjal. Pulang pergi ke rumah sakit sudah hal biasa, bahkan menjadi rumah kedua. Akulah teman setia hingga nafas terakhirnya. Tahun itu 2018 bulan ke lima setelah januari, merupakan awal mula cerita, memasuki ruang operasi pertama, membersihkan kaki busuknya. Luka sekecil biji kangkung melebar hingga seperti bola kasti.
Kutanya bapak, “Pak gimana operasinya?” “Lancar, kaki Bapak diperas seperti kain, keluar nanah bercampur darah, segelas penuh mungkin,” sambil ia mempraktikkan proses operasi kakinya dan memperagakan apa yang dilakukan dokter.
“Nak, Bapak haus, ambilkan minum satu sendok,” “Loh… kok sedikit?” tanyaku. “Iya… Habis operasi gak boleh banyak minum, bolehpun cuma sesendok, basahin tenggorokan saja, tunggu kentut baru boleh minum. Itu kata dokter,” “Jadi kalau gak kentut-kentut cemana, Pak? Gak boleh minum?” tanyaku menjahili bapak. “Bentar lagi Bapak kentut, kok. Bapak kan tukang kentut, masa gak bisa kentut,” sambil tertawa membalas candaanku. “Hahaha… Oh iya, bapak kan rajanya,” tawaku terbahak-bahak.
Gimik rindu terpancar jelas menggambarkan wajahnya. Merasakan kebahagiaan ketika kembali, terlihat senyum tipis langka yang jarang terekspos di bibirnya, mungkin hatinya berkata, “Selamat tinggal neraka,” atau “Aku pulang,” siapa yang tau arti dari senyumnya, yang pasti itu adalah bahagia.
Awal januari tahun 2020 kondisinya kembali menurun, jantung kronis dan sakit ginjal menjadi penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Seakan tak percaya penyakit yang diceritakan banyak orang menghinggapinya. Masyarakat miskin yang mengandalkan kartu hanya angan mengganti ginjal baru sedangkan cuci darah menjadi solusi mempertahankan nyawa. Mencuci darah tak semudah mencuci pakaian. Membosankan! Ya, mungkin kata itu paling pantas diucapkan. Kondisinya memang semakin pulih namun gairah tidak terpancar dari dirinya lagi. Badan tak lagi tegap, tubuh semakin kurus cungkring menjadi perangai mantan lelaki tergagah.
—
Bulan juni tahun 2020 menjadi sejarah yang tak diinginkan. Kembalinya ia ke ruang ICU dengan keadaan tak berdaya. Sedih menatap jasadnya yang masih bernyawa. Dipasang banyak selang dan kabel penjaga kehidupan. Jeritan kesakitan yang sontak membuat hati teriris sedih melihat orang paling gagah menjerit. Jeritan panjang seakan menerima hujaman ribuan pedang atau mungkin saja jeritan pembawa ketenangan yang damai.
Suara jeritan yang terdengar mengisi ruangan. Malam tak lagi sunyi sebab suara sunyi telah berganti. Takut? Aku takut, dengan malam yang panjang tak seperti malam-malam lalu dengan mimpi indahnya.
Pagi telah datang sedangkan ia pun telah diam. Tidak ada gerakan, jeritan, dan rontaan. Apakah sudah lelah? Entahlah, dia hanya diam saja. “Pak cepat sembuh ya. Bapak pasti bisa,” ucapku sambil mengelus keningnya.
Aku berjalan pergi meninggalkan dirinya yang telah tenang. Duduk di pelataran hingga senja hampir datang. Hape berdering membuyarkan kesedihanku yang panjang. “Dari siapa ini?” tanyaku penasaran. “Hallo… Dengan bapak zein? secepatnya Bapak ke ruang ICU” secuil ucapan yang membuat jantungku berdebar, sontak bangkit dari duduk dengan cepatnya berlari menuju ruangan. Terlihat dokter dan perawat sibuk memberikan pertolongan, seakan menahan rohnya untuk pergi meninggalkan. Terdengar suara khas ketika seorang manusia sedang diambang kematian. Apa yang bisa aku lakukan? mungkin hanya satu cara untuk terakhir kalinya dengan membisikan pelan kearah telinganya. Tak lama bunyi bip panjang bergema seisi ruang.
Aku merasakan kehilangan paling mendalam sebuah perpisahan yang sejatinya pasti menghampiri setiap insan. Satu hal yang aku tidak akan pernah lupa tentangnya. Tentang bapak. Katanya “laki-laki tak boleh cengeng!” Selamat bersenang-senang di nirwana. Segala hal yang baik meringankan langkahmu menuju Tuhan.
Cerpen Karangan: Muhammad Zein Iqbal Suherwin Blog / Facebook: Muhammad Zein Muhammad Zein Iqbal Suherwin, Lahir di Perbaungan pada 04 April 1996. Anak sulung dari pasangan Suherwin dan Sri Wahyuni. Saat ini ia merupakan Mahasiswa tingkat akhir di Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menamatkan sekolah di SDN 105360, SMP dan SMK Satria Dharma Perbaungan. Saat ini berprofesi sebagai tenaga pendidik di SMK Satria Dharma Perbaungan dan pelatih aktif cabang olahraga pencak silat. Pernah menangani Team Pencak Silat Provinsi Sumatera Utara pada ajang Kompetisi Olahraga Siswa Nasional pada tahun 2020. Ia juga pernah menulis buku berjudul Pembelajaran Debat. Dapat dihubungi melalui media sosial fb: Muhammad Zein, ig: @muhdzein_ , e-mail: Zeiniqbal0[-at-]gmail.com