Hujan yang sejak tadi sore, masih mengguyur ibukota Jakarta. Panggil aku Meira Sanjaya. Biasanya orang-orang memanggilku Mei. Aku mempunyai kakak laki-laki.. namanya Michael Sanjaya. Panggil saja dia Mike. Umurku dan umurnya hanya beda 2 setengah tahun, dan aku memanggilnya Kak Mike. Kami tinggal bertiga dengan Mamiku dan sekarang sedang mengelola butik, yang ia rintis sejak Papi pergi meninggalkan kami untuk selamanya. Memang tak mudah tinggal di keluarga tanpa sosok Papi. Tapi… Mami dan Kak Mike selalu ada untukku.
Kami bersekolah di SMA 3. Kak Mike dikenal sebagai cowok yang paling diidam-idamkan oleh para kaum hawa di SMA 3. Bukan hanya tampan, tapi juga sangat mahir dalam bermain basket. Aku dan Kak Mike punya persamaan. Yaitu: sama-sama punya gengsi tinggi, suka banget sama makanan pedes, paling nggak suka liat Mami nangis dan paling bisa naklukin hati Mami buat dibeliin sesuatu. Aku dan Kak Mike punya prinsip. “Kalo nggak bisa bahagiain Mami, setidaknya jangan buat dia nangis karena kita.” Itulah prinsip kami, sejak gengsi sedang tak berpihak kepada Kak Mike dan aku. Jangankan ngobrol serius.. ketemu saja saling mutarin bola mata.
“Habis dari mana, lo?” Ucapannya sontak membuat langkah Kakiku terhenti. “Tumben lu nanya-nanya? Kesambet apaan lu?” tanyaku balik. Malam itu aku baru pulang dari rumah Gizka sahabatku. Rumahnya tak jauh dari sini, hanya 6 rumah. “Nyokap nyariin elo!” katanya singkat lalu enyah menuju kamarnya. Aku hanya mendengus kesal melihat sikapnya yang gengsian. “Tapi… gue juga gengsian sih” batinku.
Pagi pun tiba, hari ini adalah MOS (MASA ORIENTASI SEKOLAH) “Akhirnya gue bakalan ngerasain yang namanya MOS.” gumamku sembari menyisir rambutku agar gampang terurai. “Cie.. yang sekarang udah masuk SMA.” Yah, itu Mamiku. Dia sudah memakai kemeja formal berwarna abu-abu hitam dengan jilbab yang senada. “Sebelum berangkat Sekolah, makan dulu ya Mei.” ujar Mamiku sembari menyiapkan roti berselai coklat diatas piring. “Iya Mi.” sahutku lalu membuang pantatku kekursi.
“Kak Mike mana, Mi?” tanyaku seraya meraih roti yang diberikan oleh Mami. “Kakak kamu kayaknya masih di kamar deh. Coba tolong panggilin, Mei.” Tak menunggu waktu lama, akupun berjalan menuju depan pintu Kak Mike.
Kugedor-gedor pintunya beberapa kali namun tak ada jawaban. Akupun berteriak memanggil-manggil namanya, alhasil dia pun membuka pintu. “Kalo manggil orang bisa nggak jangan teriak-teriak gitu?” kesal Kak Mike dengan pakaian yang sudah lengkap dengan almameter berwarna biru tua, dan tas ransel Neosack black di punggunya. “Makanya jangan manja. Mau sarapan aja pake dipanggil segala!” ketusku sambil melipat kedua tangan depan dada. Aku pun pergi kemeja makan duluan, dan meninggalkan Kak Mike yang masih berdiri depan pintu kamarnya.
“Hari ini kan, Mei udah satu Sekolah sama Mike. Kalian berangkat ke Sekolah-Nya bereng aja yah.” ujar Mamiku seolah mengingatkan kami yang sekarang sudah satu Sekolah. Aku dan Kak Mike saling bertatapan beberapa detik. “Nggak ah, Mei nggak mau! Mami kan tau, Kak Mike sering terlambat ke Sekolah!” tolakku tapi pelan. “Aku berangkat sendiri yah, Mi.” Telapak tanganku saling merapat, berusaha bermohon-mohon agar tidak berangkat ke Sekolah dengan Kak Mike. “Gue juga nggak mau kali, berangkat ama lu.” Aku hanya memutar bola mata sambil menghela napas panjang. “Kalian ini kan Adik, Kakak. Seharusnya kalian itu harus kompak! Bukannya musuhan kayak gini!” Mami tak kalah tegas. Mungkin ia sudah lelah dengan tingkah kami yang kekanak-kanakan.
Tiba-tiba saja suara klakson berbunyi dari halaman depan rumah, ia adalah Gizka dengan motor Matic miliknya lengkap dengan helm. “Itu kayaknya Gizka deh? Kalo gitu aku berangkat dulu yah, Mi. Assalamualaikum.” Aku seraya mencium punggung tangan Mamiku dan berlari keluar menemui Gizka. “Walaikum salam” sahut Mami lalu menggeleng-geleng kepala.
Dari luar rumah sudah ada dua motor Matic milikku dan Gizka. Pak Udin yang bekerja sebagai supir disini, telah mengeluarkan motorku dari garasi.
“Ayo Giz, berangkat.” kataku seraya mengenakan helm berstiker Doraemon, kartun kesukaanku dari dulu hingga sekarang. “Ayo.” jawab Gizka dengan cepat.
Hampir 8 menit kami menempuh jalan Jakarta yang sudah sangat becek, akibat hujan yang turun semaleman. Sudah terlihat bangunan bercat biru, dengan siswa-siswi yang telah memakai baju putih dan celana/rok berwarna abu-abu. Kami langsung memarkirkan motor di parkiran khusus untuk kendaraan motor.
Kami menelusuri dan mencari kelas X Ipa, Alhasil kami menemukan kelas tersebut.
Upacara pembukaan MOS Seragam unik penguji mental Tantangan berpikir kreatif Hukuman bagi siswa yang melanggar Kategori mentor Surat cinta dan surat benci Yel-yel dulu biar akrab Dan yang terakhir Mentor mendadak ngartis. Kita harus meminta tanda tangan para Mentor. Semua murid baru harus meminta tanda tangan Kakak Senior sebanyak 20 orang. Aku dan Gizka sekelompok dan membutuhkan satu tanda tangan lagi, tapi siapa, aku sudah bingung.
“Kenapa nggak Kak Mike aja yang tanda tangan?” tanya Gizka kepadaku. Memang dari tadi aku sudah mengincar tanda tangan Kakakku. Tapi, gengsiku terlalu tinggi untuk itu. “Jangan Kak Mike! Entar dia geer lagi!” bantahku. Gizka hanya menghela napas kasar. “Emang yah, nggak Kakak, nggak Adek! Sama aja, gengsinya tinggi!” kesal Gizka.
Tanpa babibu Gizka lalu menarik tanganku dan membawaku entah kemana, aku hanya mengikutinya. “Kak Mike.” panggil Gizka, aku hanya terbelalak mendengar nama itu. Benar saja, pria itu berbalik dan dia adalah Kak Mike. “Lo ngapain sih ngajakin gue kesini?” tanyaku berbisik dan disambut tatapan heran oleh Kak Mike. “Oh iya Kak. Aku sama Mei boleh minta tanda tangan nggak?” Dengan kesal aku langsung mencubit pinggang Gizka hingga dia melirih kesakitan. “Hhmm… boleh.” sahut Kak Mike lalu meraih pulpen dan selembar kertas ditangan Gizka yang ia ulurkan dari tadi. “Makasih Kak.” ucap Gizka mengambil kertas itu lagi yang sudah cukup 20 orang bertanda tangan. “Iya Sama-sama.” balas Kak Mike. “Oh iya, jangan lupa kasih tau sahabat kamu, jadi orang gengsinya jangan ketinggian. “Idih… situ juga kali yang gengsian.” kesalku dalam hati.
Tak cukup waktu lama, kami pun enyah dari tempat itu. Tiba-tiba saja, beberapa pasang mata menatap kearah kami, entah itu aku atau Gizka. “Giz.. kok mereka pada ngeliatin kita sih? Emangnya ada yang aneh ama penampilan kita?.” Gizka hanya menggeleng tak tahu.
Tiba-tiba saja ada kain yang menutupi pinggangku, dan itu adalah almameter milik Kak Mike. “Kalo ke Sekolah, pastiin dulu mau datang bulang atau enggak.” bisiknya. Aku langsung berbalik dan memeriksa rokku. Dan benar, mereka menatapku karena sudah ada darah haid di rok milikku.
Aku langsung berlari sambil mengikat almameter itu ke pinggangku kuat-kuat. Sejenak aku berpikir, ternyata Kak Mike punya rasa peduli terhadapku. Hanya karena genggsi yang kami miliki, itu membuat kami terasa seperti Tom And Jery. Semua karena gengsi!
TAMAT
Cerpen Karangan: Nurfadilah Facebook: Pena Dil Dil Follow Wattpadku: PenaDilDil