“Ga sarapan dulu, Yah?” “Ga, Mah. Ayah harus cepat-cepat ke kantor.” Jonan mengambil kunci mobil dan langsung berbalik, “Ayah pergi dulu, assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam,” balas istri Jonan.
“Tumben ayah buru-buru ke kantor.” Hendrik yang baru keluar kamar langsung duduk dan mengambil roti bakar. “Entahlah, mungkin ada rapat penting.”
Dengan tergesa Jonan memasuki kantor, langsung bertanya pada Jeny, Sekretaris, “Bos-bos sudah pada datang?” “Belumlah, sepagi ini?” “Syukurlah,” batin Jonan.
Kedatangan pimpinan perusahaan dari kantor pusat membuat Jonan terbawa sibuk. Pak Hary, pimpinan Cabang, atasan Jonan menyuruhnya mempersiapkan bahan untuk presentasi. Bos dari kantor pusat ingin mengevaluasi kinerja kantor cabang selama semester terakhir. Karuan saja, pekerjaan dadakan itu membuat Jonan harus over time beberapa malam terakhir, walaupun pekerjaannya dilakukan di rumah. Tiga hari tiga malam, akhirnya Jonan berhasil membuat bahan presentasi. Beruntung pekerjaannya selesai tadi malam tidak terlalu larut, sehingga Jonan bisa tidur cukup lama.
“Oh ya, Pak Hary menyuruh Anda langsung mempersiapkan ruang rapat dengan bahan presentasinya sekalian. Beliau minta jam 8.30 sudah siap.” Jenny setengah berteriak. “Oke,” jawab Jonan tanpa membalikkan badan.
Setelah menyusun meja dan kursi ruangan rapat, Jonan segera memasang infokus dan membuka laptop. Saat itulah, Jonan menyadari ada masalah. “Lho … lho … di mana ya?” Tas kerjanya dibalikkan, isinya semua menghambur, berjatuhan, tetapi benda kecil yang sedang dicarinya tidak ada. Untuk beberapa saat Jonan termenung. Tangan kanannya menggaruk-garuk dahinya yang berkerut, mengingat-ingat sesuatu.
“Sialan, pasti masih nempel di PC di rumah,” lirihnya. Jonan teringat flashdisk yang dicarinya, yang berisi materi presentasi, masih tertancap di PC di rumahnya. Jonan melirik arloji yang menunjukkan waktu pukul 7.55 dan berkata, “Masih ada waktu dua puluh menit untuk mengambilnya di rumah.”
Flashdisk itu bagai nyawanya saat ini. Gagal presentasi, bukan hanya teguran yang dia dapat, bahkan mungkin pemecatan akan diterimanya. Memikirkan itu, Jonan memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Di perempatan menuju jalan utama, Jonan membelokkan mobil ke kanan, melewati jalan pintas, walaupun harus memutar dan lebih jauh. Namun, dengan suasana jalan yang sepi dibanding kondisi jalan utama, akan membuatnya lebih cepat sampai di rumah dan kembali ke kantor.
Terburu-buru Jonan masuk rumah, bahkan dia tidak merasa perlu harus membuka sepatu. Menghampiri PC dan betul saja, benda kecil seukuran jempol tangan itu tertancap di sana.
Sebagaimana saat tadi menuju rumah, balik ke kantor Jonan juga memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Arlojinya menunjukkan pukul 8.10 dan itu membuatnya tambah panik. Melewati pertigaan, Jonan menerobos lampu merah setelah melihat ke sekililing dan ke kaca spion, dan memastikan tidak ada yang memperhatikan. Penting baginya harus segera sampai di kantor, membuatnya merasa dibolehkan melanggar lalu lintas.
Tanpa mengurangi kecepatan saat menerobos lampu merah, dan saat itu pula entah dari mana, tiba-tiba ada sekuter di depannya. Tak sempat menginjak pedal rem, tak ayal mobilnya menabrak sekuter itu sampai pengemudinya terlempar sejauh empat meter. Jonan tidak bermaksud berhenti. Bayangan kemarahan bosnya dan ketakutan dipecat, membuatnya tak acuh dengan kondisi si pengemudi sekuter. Terlihat darah di sekitar tubuhnya yang masih terbaring, saat Jonan melewatinya. Kondisi jalan yang sepi membuatnya agak tenang, walaupun debar jantungnya tetap tidak bisa memungkiri rasa bersalahnya.
—
“Luar biasa! Saya senang dengan capaian yang diraih kantor ini selama enam bulan terakhir. Selamat!” Bos dari kantor pusat menyalami Pak Hary dengan muka memancarkan kepuasan. “Terima kasih, Pak! Semua ini atas support dari kantor pusat juga,” balas Pak Hary merendah. “Oh ya, siapa tadi yang presentasi? Jonan ya?” tanya Bos kantor pusat pada Jonan. “Be … betul, Pak!” “Materi presentasinya luar biasa, mudah dipahami tetapi menjelaskan banyak informasi. Tapi sayang, Anda kelihatannya gugup, tidak tenang. Muka Anda pun kelihatan pucat.” Jonan hanya mengangguk. Bagaimana tidak gugup dan bagaimana mau bersikap tenang, kalau setengah jam yang lalu dia telah melakukan tabrak lari. Masih terbayang dalam kepalanya, bagaimana Si Pengemudi sekuter tergeletak dan berdarah.
Sukses presentasi dan pujian dari Pak Hary tak mengurangi rasa gugup dan merasa bersalahnya. Jonan duduk termenung di ruang kerjanya sendirian. “Tidak, dia tidak apa-apa, itu bukan tabrakan yang keras,” lirih Jonan menghibur diri. “Lukanya tidak parah, pasti ada yang segera menolongnya atau membawanya ke rumah sakit.” Kedua tangannya menyangga kepalanya yang tertunduk. Beberapa kali kepalanya juga digelengkan, seolah ingin mengenyahkan bayangan Si Pengemudi sekuter.
Sepuluh menit mengurung diri di ruangannya, tiba-tiba Jonan dikagetkan suara intercom di sebelah kirinya, yang kemudian dengan malas diangkatnya. Terdengan suara Jenny di seberang sana, “Pak Jonan, ada tamu.” ‘Tamu? Perasaan dia tidak ada janji dengan siapa pun,’ pikirnya.
“Tamu siapa, Jen?” “Polisi, Pak!” Deg. Jawaban Jenny seolah palu godam yang menghantam dadanya. Jantungnya berdebar. ‘Polisi? Mungkinkah ada yang melihat peristiwa tadi dan melaporkan ke polisi?’ Keringat dingin mulai membasahi tubuh Jonan.
“Pak? Halo? Bagaimana, Pak. Apa saya suruh tamunya ke ruangan Bapak?” tanya Jenny setelah sekian lama Jonan terdiam. “Ga … ga usah, ga usah, biar saya saja yang menemui. Suruh menunggu saja di ruang tamu.” “Baik, Pak!”
Saat Jonan masuk, dua orang polisi yang telah menunggunya, berdiri. “Maaf, Pak. Say … saya bisa menjelaskan …” Jonan berusaha menjelaskan tapi terpotong. “Maaf, Pak. Ini benar dengan Bapak Jonan Suhartono?” tanya salah satu polisi. “Betul … betul saya, Pak. Tap … tapi … saya akan menjelaskan …” Kalimatnya terpotong lagi. “Maaf, Pak Jonan. Kami hanya ingin mengabarkan berita duka.” “Berita duka? Berita apa?” Ketakutan Jonan berganti rasa khawatir. “Dengan berat hati saya ingin mengabarkan bahwa putra Bapak mengalami kecelakaan.” “Hendrik? Di mana kecelakaannya. Di mana sekarang anakku?” “Dimohon tenang, Pak. Putra Bapak mengalami kecelakaan di jalan dekat kampusnya. Rupanya putra Bapak menjadi korban tabrak lari. Sekarang putra Bapak di rumah sakit.” “Tabrak lari?” pelan Jonan berkata hampir berbisik. Tiba-tiba terbayang tubuh Si Pengemudi sekuter yang ditabraknya, lalu semua gelap. Jonan tak sadarkan diri.
Cerpen Karangan: Urip Widodo Blog: uripwid.blogspot.com FB: Urip Widodo IG: @uripwid Email: uripwid69[-at-]gmail