Malam itu adalah malam yang tak akan pernah dilupakan Asih sepanjang hidupnya, malam dimana ia memutuskan untuk melangkah dari kehidupannya yang sekarang di kampung karena harus menggapai masa depan dengan tangannya sendiri di kota orang, karena kedua orangtua Asih yang telah dipisahkan oleh maut. Ibu Asih meninggal dunia semenjak Asih masih berusia 40 hari dan ayah Asih yang telah menikah lagi dengan wanita lain, sehingga Asih dibesarkan oleh kakek dan nenek dari ibunya.
Malam itu Asih pergi ke kediaman ayahnya dengan sang nenek yang sangat menyayanginya dan mengajarkan kelembutan untuk tidak membenci ayahnya dalam keadaan apapun. Sang neneklah yang sangat berjasa membesarkan jiwa penyabar Asih terhadap kelakuan ayahnya yang tidak pernah mengerti kondisi Asih sejak dari bayi.
Saat Asih dilahirkan ayah Asih tidak berada bersamanya atau disamping ibu Asih yang berjuang menghadapi maut, ibu Asih sudah lumpuh saat usia kehamilannya 5 bulan dan Asih terpaksa dilahirkan dalam keadaan prematur di usianya yang masih 7 bulan karena sang ibu sudah tidak bisa lagi menahan kehamilannya untuk waktu yang lebih lama lagi.
“Siapa wali dari pasien disini?” sahut dokter di Rumah Sakit Bina Sehat Jember “Sa.. Ya.. Dok” dengan jawaban terbata-bata kakek Asih memberanikan diri untuk menjawab, “Begini pak, kondisi pasien sudah sangat lemah jadi kita sudah tidak punya banyak waktu lagi Bapak harus memilih siapa yang ingin Bapak selamatkan terlebih dahulu, Sang Ibu atau Anak yang dikandungnya?”. Itu merupakan pilihan berat bagi kakek Asih dikala itu akan tetapi dengan sangat terpaksa ia harus tetap memilih dan akhirnya ia menjawab “Tolong selamatkan anak yang di dalam kandungannya dulu dok” pinta kakek Asih saat itu.
Disisi lain ayah Asih tak pulang dan dia beralasan ada pekerjaan penting ditempanya bekerja di Pulau Bali, pada saat itu Asih terlahir dengan kondisi kesehatan sangat lemah dan harus dirawat intensif terlebih dahulu sebelum diperbolehkan untuk pulang, sementara kondisi kesehatan ibu Asih saat itu semakin menurun, sejak dilahirkan Asih belum pernah ditimang oleh ibunya karena keadaan yang tidak memungkinkan. Selang 40 hari Asih dilahirkan ibu Asih meninggalkan dunia untuk selama-lamanya dan terpaksa membiarkan Asih menjalani hari-hari dan masa kecilnya tanpa seorang ibu.
Tak lama setelah kepergian ibu Asih ayahnya pulang dengan tujuan untuk berbela sungkawa, tetapi alangkah terkejutnya kakek dan nenek Asih karena ayahnya saat itu sudah menggandeng wanita lain ke rumah mereka, tak bisa dibayangkan lagi bagaimana perasaan kakek dan nenek Asih setelah ia merelakan mendiang putri semata wayangnya demi melahirkan cucunya tetapi sang ayah malah datang dengan membawa wanita pengganti ibu Asih.
Hari-hari terus berjalan hingga Asih tumbuh besar dengan baik dipangkuan kakek dan neneknya, ia tumbuh menjadi gadis yang cantik penuh sopan dan santun dan Asih juga tumbuh menjadi anak yang ceria dan pintar, Asih sangat mengerti keadaan kakek dan neneknya hingga ia menyayangi kakek dan neneknya dengan sepenuh hatinya, tidak hanya itu ia berprinsip rela melakukan apapun untuk kakek dan neneknya.
“Yah.. Asih Mau Pamit Asih mau pergi kuliah ke Batam karena Ayah bilang Ayah tidak ada dana untuk kuliahkan Asih”. Ayahnya menjawab “Apa sudah kamu pikirkan matang-matang rencana itu, maksud Ayah kamu tunda aja dulu kuliahmu lebih baik disini aja jangan egois sama keinginanmu, jadi orang itu harus menganut prinsip lilin biar hancur asalkan bermanfaat menerangi orang-orang disekitarnya”. Sang ayah pernah menjanjikan Asih untuk kuliah di kota asalnya lahir yaitu di Jember akan tetapi harapan itu seketika sirna saat Asih menanyakan kelanjutan niat ayahnya untuk membiayai Asih kuliah di salah satu kampus ternama di Jember. “Ayah tidak punya uang untuk biayain kamu kuliah karena adik kamu minta sekolah Di Surabaya dan sekaligus mau masuk Pondok Pesantren ternama disana jadi ayah butuh banyak dana, kalaupun adik kamu tidak lolos jalur seleksi ayah mau pakai jalur belakang bayar orang biar adikmu bisa sekolah disana”. Bak mendengar sambaran petir disiang hari ucapan itu benar-benar memporak-porandakan harapan Asih untuk bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah, bagaimana bisa ayahnya mengingkari janjinya kepada Asih padahal sedari kecil Asih tidak pernah minta sesuatu apapun dari ayahnya, hingga saat itu ia memberanikan diri untuk minta dibiayai melanjutkan kuliah kepada ayahnya.
Asih merupakan anak yang cukup tau diri dan mengerti keadaan ekonomi orangtua ia meminta hal tersebut karena ia menilai ayahnya mampu untuk mengabulkannya daripada ia meminta kepada kakek dan neneknya yang sudah renta lagi pula kakek dan neneknya sudah berjuang membiayai sekolahnya hingga Asih tamat SMA. Sejak bayi Asih tidak pernah merasakan kasih sayang penuh dari ayahnya karena sejak bayi Asih sudah diasuh oleh kakek dan neneknya, pun begitu kebutuhan hidup Asih, kakek dan neneknya berjuang mati-matian untuk Asih bisa sekolah sama dengan teman-temannya yang lain, itu membuat Asih berusaha lebih keras lagi agar ia bisa sedikit banyak meringankan beban kakek dan neneknya dengan cara berjualan sarapan di sekolah, tiap pagi asih selalu membawa aneka jenis kue dan nasi goreng untuk dijajahkan kepada teman-temannya di sekolah demi membantu meringankan beban biaya sekolah yang ditanggung oleh kakek dan neneknya.
Hari kelulusan pun tiba, tetapi suasana hati yang carut marut melanda perasaan Asih ia benar-benar tidak tahu langkah apa yang akan diambilnya untuk menggapai cita-citanya setelah harapan kepada ayahnya sirna. Di lain sisi ia merupakan salah satu siswa berprestasi di sekolahnya. Dan ia juga banyak mempimpin beberapa organisasi di Sekolahnya salah satunya Ketua Osis, jadi Asih bertekad untuk melanjutkan pendidikannya bagaimanapun caranya.
Beberapa hari setelah hari kelulusan Asih bekerja pada salah satu percetakan yang ada di Desanya sambil memikirkan langkah apa yang akan dia ambil selanjutnya untuk menggapai cita-citanya. Beberapa hari kemudian Asih memutuskan untuk pergi merantau ke kota Batam demi melanjutkan pendidikan kuliah, disana Asih berusaha keras untuk bisa kuliah.
Hari keberangkatan pun tiba, Asih berangkat ke kota orang sehari sebelum usia nya genap 18 tahun usia yang cukup belia memang. Di usianya yang masih sangat muda Asih sudah memutuskan untuk mengadu nasib Di Kota Orang, saat itu Asih pergi dengan penuh kekecewaan namun harus tetap semangat demi cita-citanya melanjutkan pendidikan dengan kakek nenek yang mengantarkan kepergiannya Di Bandara Juanda Surabaya. Derai tangis isak pilu mewarnai perpisahannya dengan kedua orang yang sangat disayanginya demi menggapai asa baik Asih maupun kakek dan neneknya benar-benar tidak sanggup untuk berpisah karena banyak begitu banyak kenangan pahit yang mereka lalui bersama-sama dengan cara saling menguatkan satu sama lain. Akhirnya mereka terpaksa harus berpisah di pintu gerbang keberangkatan terminal A1 Bandara International Juanda Surabaya.
Tidak peduli siang jadi malam, malam jadi siang dengan tekad dan semangat dari kakek dan neneknya Asih benar-benar berusaha keras di Kota orang, ia bekerja di pagi hari dan pergi kuliah di malam hari banyak lika-liku yang ia temui di Kota orang tidak sedikit pahit yang ia rasakan sendiri dan tak mau menceritakannya kepada kakek dan neneknya. Setiap kali kakek dan neneknya menelepon dan menanyakan bagaimana kabar Asih ia selalu menjawabnya dengan sumringah dan meyakinkan keduanya bahwa ia memang dalam keadaan baik-baik saja meski saat mengucapkannya ia sedang menangis menahan rasa lelah dan lapar setelah hari-harinya begitu berat.
Asih tetap berjuang melewati hari-harinya yang berat dengan penuh ketekunan dan keikhlasan, hingga ia sampai pada titik puncaknya tamat dari sebuah kampus swasta ternama Di Batam dan bekerja pada perusahaan dengan posisi yang cukup penting.
Cerpen Karangan: Ridani E.Q Facebook: Ekik IG: istri_sholehahhh Nama: Eky Kriswahyuni Nama Panggilan: Istri Sholehah 🙂 Hobby: Menulis dan Membaca Asal: Kota Tembakau