Hampir setiap tahun ada saja kendala, Memang satu paket yang tak bisa dipisahkan, Pria tua itu sudah berkali-kali melakukannya, Ia membuat resah keluarga di rumah, Dengan keresahan yang tidak biasa, Terutama dua anak pertamanya, Karena mereka berdua anaknya paling merasakan pahit getirnya perjuangan pria tua itu, Sedangkan ibu sudah terlalu kenyang dengan pola kehidupan yang sudah melekat kelat di pria tua itu.
Hoz dan Huz adalah dua anak pertama milik pria tua itu, mereka sedari kecil sudah lebih mengerti asam garam orangtua mereka, Hoz seorang anak laki-laki yang biasa jadi ruang curhat pria tua itu atau Hore. Seorang ibu bernama Huis, Ia pun tak lupa suka menumpahkan segenap keresahan yang dirasa akbiat ulah Pak Hore. Hoz bagai bak besar penampung curhatan mereka berdua.
Hoz juga merasa bingung dengan keadaan yang ia rasa, “Bagaimana aku bisa seperti ini, linglung kemana aku harus berpihak, *dengan diriku yang biasanya* bisa menerjemahkan kedua keluh kesah mereka, tapi tidak dengan hari ini, aku merasa tidak bisa berpihak ke satu pihak saja, akkhhzz! Kenapa dunia ini!” Hoz yang masih berumur 17 tahun merasa ini seperti permainan perasaan, bagaimana mungkin ia berusaha menggenggam kedua rasa ini.
Berbeda dengan Huz, Dia seorang wanita penggila baca yang lebih membela sang bunda, Entah alasan apa dia suka sekali memanggil Ibunya dengan sebutan bunda, Padahal Ibunya sendiri yang mendeklarasikan panggilan untuk semua anak-anaknya dengan panggilan ‘Ibu’, kata Huz, “Panggilan Bunda lebih ramah di telinga, lebih-lebih bagi wanita itu sendiri.” Pernyataan yang membingungkan.
Pria tua itu, Selalu kalah dengan kondisi duduk lepas sembahyang, Biasanya bila sudah duduk, Tak lama lagi pasti mendengkur. Terkadang pemandangan seperti itu membuat Hoz dan Huz perih melihatnya, Pria tua yang dulu muda, tegar, perkasa, Sekarang sudah termakan usia, Hoz dan Huz masih merasakan kenangan yang enggan mencair dari pikiran mereka, bahkan masih sangat kental saat mereka mengenang masa kecil mereka di ‘Kuala Lumpur’.
Berbeda dengan hari ini, hari ini Huz tidak bisa menjadi dirinya yang biasa seperti dulu, seakan ia sudah lebih membela Ibunya, “Bunda terlalu banyak lukanya kak, Bapak memang seperti sebuah batu akik yang keras, tak pernah mau menerima saranku, Bahkan temanku yang sudah pasti menerima Bapak kalau bersedia bergabung dengan ekspedisi mereka pun ditolak dengan alasan klasik yang pasti bikin muak!”
“Huz, jangan gitu, dia mungkin sudah mulai udzur, Kakak paham atas apa yang kamu rasa, lebih-lebih kamu yang setiap hari bertemu, tidak sepertiku yang jauh dari kalian, Paling hanya pulang beberapa hari untuk menengok Bapak dan Ibu,” sahut Hoz kepada adik perempuannya,
“Kak tau engga, Rasa ibaku yang dulu kita pernah rasakan bersama, Kini mulai terkikis mulai samar dan mungkin sekarang sudah hilang!”
“Huz,” Hoz memandangi adik perempuannya dengan pandang sedih, kosong, iba. Lalu Hoz mencoba memposisikan dirinya bila seperti Huz yang selalu membersamai Bapak dan Ibunya di rumah, ia termenung dengan sangat mendalam,
“Masihkah sama rasaku yang dulu bila bersama kedua orang setiap hari? Masih samakah aku dengan diriku yang biasanya?” Kelimpungan Hoz semakin tidak karuan, mungkin bisa juga aku yang dulu biasa dengan kondisi Bapak, Bisa ikut tergerus rasa itu, bila bersama lebih lama dengan mereka berdua.
Cerpen Karangan: Halub Blog: Anginsubuh93.blogspot.com halub dari cileungsi, tinggal di masjid darurrozaq sebagai pembantu masjid. Asal saya dari tangsel-pamulang. Pada 25 agustus 1993 seorang bernama hizbullah telah lahir, di kuala lumpur. “Bukan dunia bila tanpa duka”