Aku adalah anak yang terlahir dikeluarga yang cukup menyedihkan. Sebuah keluarga yang tidak memiliki keharmonisan dan kehangantan sedikitpun.
Aku mempunyai mimpi yang berbeda dengan orang lain. Ketika orang lain bermimpi menjadi orang yang sukses dan kaya, dan aku hanya ingin memiliki keluarga yang hangat. Dimana dirimu dianggap dan dihargai. Sungguh keinginan yang cukup melelahkan.
Sejak kecil aku tumbuh tanpa berbagi cerita dengan kedua orangtuaku. Mungkin mereka menganggapku sudah dewasa, sehingga aku tidak membutuhkan perhatian mereka. Tahun-tahun berlalu dan aku tumbuh di tangan orang lain. Hari-hari yang kulalui selama tujuh tahun bersamanya sangat menyedihkan.
Tiba waktunya kelulusan SMA. Aku bermimpi setelah lulus SMA aku ingin pergi keluar kota mencari jati diri yang hilang dan ingin menginstirahatkan hati dari pergumulan. Kutemui ayah dan ibuku yang ada di kampung. Cerita demi cerita keinginanku diabaikan sama sekali. Mereka menginginkan aku untuk melanjutkan pendidikanku. Tapi aku menolak dengan keras. Aku pergi meninggalkan ayah dan ibuku dengan raut wajah yang tidak bagus.
“plaaakkkk…” suara bantingan pintu kamarku. Air mata menetes tanpa sepengetahuanku. “nak, keluar dulu” “dengarkan ayah dan ibumu” ucap ibuku “tidak… kalian tidak mengerti perasaanku. Bahkan setelah kelulusanku, aku tidak pernah mendapatkan keinginanku. “kak, mari bicara denganku”, ucap adik keduaku “tidak papa kalau kau tidak ingin kuliah, tapi bicaralah baik-baik. Jangan bawa-bawa keras kepalamu itu. Ayah dan ibu kita memang keras, tapi pasti kau tahu niatnya pasti baik. ucapnya lagi
Kutemui ayah dan ibuku di ruang tengah. Dengan air mata yang bercucuran kuhampiri mereka berdua. Ayah dan ibuku terlihat sedih dan bingung terhadapku. “sini nak” kenapa kau harus menangis? “aku bilang aku tidak ingin kuliah bu” “kenapa” ucap ayahku “Aku ingin menikmati kebebasan di luar sana, selama ini hidupku penuh dengan beban, hatiku lelah, otakku letih”. “apa yang kau cari diluar sana. Kebahagian apa yang membuatmu tidak ingin melanjutkan pendidikan”, ucapnya “selama ini kalian tidak pernah merawatku. Aku tumbuh dan dibesarkan oleh orang lain. Ibu hanya melahirkanku. Pantaskah itu disebut sebagai seorang ibu”. (tanpa sadar aku melanturkan kata-kata kasar pada ibuku). “lalu kau anak macam apa?”, sahut ibuku “pantaskah seorang anak berkata seperti itu. Layakkah kau disebut sebagai seorang anak. Haahh..?” tambahnya lagi Ibu pergi meninggalkanku di ruang tengah. Air matanya menetes deras seolah-olah ia tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari anaknya sendiri. Aku merasa bersalah namun keras kepalaku mengalahkan hatiku. “jika ingin menjadi seorang anak. Dengarkan orangtuamu. Ingat, kau tidak akan jadi apa-apa tanpa restu orangtua. (ayah pun pergi menyusuri ibu ke kamar).
Dengan egoku yang tinggi aku mengurung diri di kamar selama seharian tanpa makan dan minum. Kukira mereka akan datang dan membujukku, tapi nyatanya NIHIL. Akhirnya kuurungkan diriku dan keturuti keinginan mereka. Bagaimanapun ia tetaplah orangtuaku.
“mak… pak..” “aku akan kuliah, tapi tidak di dalam sumatera. Aku ingin mencoba di luar sumatera”. Ucapku. “lahh, ngapain ambil jauh-jauh. Universitas di medan kurang banyak apa lagi. Swasta juga tidak masalah asal jangan diluar”. Ucap ibuku Lagi-lagi aku tidak bisa memilih keinginanku. Lagi-lagi mereka mengarahkanku sesuai keinginan mereka. Tapi pendirianku tetap kokoh, aku tidak akan kuliah jika tidak bisa di luar sumatera. Tegasku dengan nada ketus.
“sudahlah”, ucap ayahku “biarkan sesuai pilihannya. Batas mana dia mampu mengikuti pemikirannya”. Akhirnya ayah dan ibuku setuju dengan permintaanku. Walau wajah mereka menggambarkan ketidakiklasan sama sekali.
Singkat cerita aku berhasil masuk di perguruan tinggi Universitas Bengkulu dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selama perkuliahan kuikuti dengan baik. dunia perkuliahan benar-benar jauh berbeda dengan masa SMA. Dimana aku harus begadang setiap malam untuk mengerjakan tugas, makalah, powerpoint dan sebagainya. Mata hitam sudah menjadi ciri khas bagiku setiap paginya.
Suatu saat, aku menelepon ibuku yang ada di kampung. Niat hati ingin berbincang tapi seperti biasa ia tidak menghiaraukanku. Andai saja ibu tahu aku sedang tidak baik-baik saja, tapi ekspetasiku terhadanya berbanding terbalik. Kukira mereka akan lebih menyayangiku ketika aku kuliah sesuai keinginannya. Semua itu hanyalah ilusi yang kuciptakan sendiri demi menenangkan hati yang tergores sejak dini.
“sudahlah, jangan keseringan menelepon. Sayang duit pulsa”, ucapnya “tut..tut..” telepon pun berakhir. Aku terdiam, bahkan tak mampu untuk berkata-kata. Seketika bibirku diam membisu dengan air mata yang menetes. Air mata cukup menjelaskan kesedihan yang sedang kualami. Aku menenangkan pikiranku, mungkin ibu sedang sibuk atau banyak masalah yang sedang ia hadapi.
Sebulan kemudian tiba saatnya aku meminta uang hulanan dan uang buku kepada ibuku. “tut.. tut.. tut” “ya halo, ada apa lagi.” jawab ibu “begini bu, uang bulananku sudah habis dan aku juga ingin membeli beberapa buku”. “hah.. duit lagi duit lagi..” “tiada hari tanpa duit” “kenapa anak si A tidak seboros dirimu, dia uang segini cukup terus kenapa kau tidak bisa mencontoh dirinya” lontar ibuku dengan nada marah. Akupun terdiam dengan tangis yang tak henti. Rasanya ingin menghilang dari dunia ini. Aku merasa seperti anak burung yang malang. Aku dituntut untuk dapat terbang dengan sendirinya. Tapi sayapku terlalu lemah untuk pergi jauh, ia telah patah sebelum aku terbang.
Kujawab dengan pelan “maaf bu, dosen menyuruh kami untuk membeli buku, kalau tidak dibeli aku tidak bisa masuk ke dalam kelas”. “tidak ada duit untuk kali ini. Kau selalu merepotkan orangtuamu di kampung ini. Belum lagi adekmu mau beli baju baru, buku baru semuanya harus baru”
Yang benar saja. Lalu bagaimana nasibku sekarang. Aku bahkan tidak punya teman yang dapat meminjamkan aku uang. Pikiranku mulai memberontak. Kenapa jadi aku yang disalahkan dalam hal ini. Bukankah kemarin aku tidak ingin melanjutkan pendidikan, bukankah ini keinginan mereka. Lalu kenapa aku yang disini jadi korban.
Kuhubungi kembali ibuku dengan perasaan yang sangat hancur. “halo mak..” “ia kenapa” suaranya terdengar sangat datar “bagaimana dengan uang bukuku?” pembayarannya dua hari lagi. Tersentak ibuku menjawab “kenapa kau jadi anak yang tidak tau diri”” “kau tidak melihat situasi keungan kita saat ini. Cobalah cari kerja di tempat tinggalmu. Usahakan cari penghasilan. Anak si A selalu begini, tidak pernah menyusahkan ibunya”. Lagi-lagi ibu membandingkanku dengan dia, lagi-lagi ia mneyalahkanku atas segala keadaan saat ini. Aku tidak ingin kuliah tapi kalian memaksaku. Apakah ini kesalahanku juga, apa pengeluaran ini keinginanku. Coba sekali saja ibu menghargaiku. Anggap aku seperti anakmu, kenapa hanya aku yang kau tuntut diantara saudara-saudaraku, apa aku bukan anakmu.
Sejak usia dua bulan kau meninggalkanku. Aku tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu dan ayah. Dan saat aku tumbuh menjadi dewasa kalian malah menuntutku sesuai keinginanmu. Sungguh kehidupan yang melelahkan. Kalian tidak pernah mendengarkan keluhanku. Taukah kalian selama ini hidupku seperti apa, pernahkah kalian bertanya bagaimana kabarku, apa masalahku. Itu pertanyaan yang sedang kutunggu-tunggu hingga saat ini. Mungkin tidak pernah terbesit pertanyaan seperti itu di hati kalian. Kalian hanya mengingkan aku jadi seperti keinginan kalian
Seperti biasa aku hanya menangis di sudut ruang kamarku. Dengan hati yang bercengkarama dengan otak seakan-akan hatiku tidak ingin melanjutkan perjalanan hidup ini. Kulangkahkan kakiku dari ruang kamar berjalan menyusuri pantai yang berada di dekat rumahku. Sesampainya di pantai perasaan yang kacau seolah-olah hanyut dibawa oleh ombak yang tenang. Duduk termenung sembari mencoret-coret pasir dan bebatuan. Perasaanku saat itu ingin tenggelam bersama pasir yang dihanyutkan oleh besarnya ombak.
Lagi-lagi pikiranku mengarahkan hal yang diluar logika. Aku ingin menghilang dari dunia ini. Aku tidak butuh pepmbuktian berbakti kepada kedua orangtuaku. Menjadi anak yang keras kepala itu bukan salahku, aku hanya terbiasa akan kebiasaan yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Biarkan mereka menganggapku anak durhaka, aku bahkan tidak memikirkan apapun selain pergi jauh dari genggaman mereka.
Matahari mulai terbenam dan senja mula meghiasai langit. Ntah perasaan apa yang ada di hatiku, aku berjalan kearah pantai dengan ombak yang naik surut. Langkah demi langkah aku terbawa oleh ombak yang tenang. Kupejamkan mataku dan akhirnya aku pergi bersama senja yang indah. Kini semua bebanku hilang dan aku bisa tenang dari semuanya.
Cerpen Karangan: Dela Sari Ginting Blog / Facebook: DE LA Dela Sari Ginting, Penulis lahir di Prongil, tanggal 16 juni 1999. Jenjang pendidikan sekolah dasar di SD Prongil Jehe, SMP N. 01 Salak, SMA N. 01 Salak dan saat ini penulis sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Bengkulu (UNIB) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Cerpen ini merupakan cerpen kedua dari penulis.