Ibu cepat-cepat menghamparkan bagian atas selimut ke seluruh wajahku. Kamar yang gelap kini menjadi semakin gelap. Aku hanya dapat mendengar suara desah nafas dan ranjang yang naik turun.
Setelah beberapa lama, ranjang berhenti bergerak. Lalu terdengar suara orang melangkah membuka pintu kamar kemudian menutupnya kembali. Seperti hari-hari sebelumnya, kupingku yang tajam ini dapat mendengar suara tangis Ibu yang sangat perlahan. Isakan itu langsung terhenti ketika ia menyadari aku sudah menurunkan selimut dari wajahku. Dalam suasana kamar yang temaram, aku masih bisa melihat siluet tangan Ibu yang tengah mengusap-usap matanya.
“Belum tidur, Nang?” Ibu merebahkan tubuhnya di sebelahku sambil melingkarkan lengannya di tubuhku. “Ibu, apakah tadi Mister Z lagi yang datang?” “Ssst … Sudah, tidur saja.” Ibu mengelus-elus kepalaku sambil bersenandung tembang Lelo Ledung.
Senandung Ibu terdengar semakin sayup kemudian berganti dengan dengkuran halus dari wanita itu. Akan tetapi mataku tetap tidak dapat terpejam. Banyak pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Aku tahu nama Mister Z, ketika tidak sengaja mendengar percakapan Bi Pinah dan Bi Yatmi, yang kamarnya bersebelahan dengan kamar kami. Mereka menyebut nama Pria yang semalam mengunjungi Ibu sebagai Mister Z. Namun, … siapa sebenarnya Mister Z? Seperti apa wajahnya? Mengapa ia selalu datang malam-malam, ketika lampu kamar sudah dimatikan? Mengapa Mister Z menindih Ibu? Uppsss… Ya, dulu aku pernah mengintip sekali, tetapi setelah itu aku tidak berani mengintip lagi. Aku kaget melihat postur badannya yang besar begitu garang menindih Ibu. Aku takut ia akan menindihku juga, sehingga cepat-cepat aku kembali menutup wajahku dengan selimut. Tidak heran kalau Ibu selalu menangis setiap kali Mister Z datang mengunjunginya. Ibu pasti kesakitan harus menahan tubuh sebesar itu.
Pagi hari tiba. Seperti biasa Ibu memandikanku. Sebenarnya aku sudah bisa mandi sendiri, tetapi aku sering berpura-pura malas mandi. Sehingga Ibu pun harus menyeret dan memaksaku masuk ke kamar mandi. “Nang, usiamu sebentar lagi lima tahun. Kok masih kayak anak bayi,” omel Ibuku.
Ibu menggosok tubuhku sambil bersenandung lagu Jawa dengan suaranya yang merdu. Aku senang mendengarnya bernyanyi, karena itu membuat wajahnya berseri-seri dan ia seperti melupakan kesedihannya. Makanya aku sering menggunakan segala cara agar Ibu memandikanku di pagi hari.
Usai memandikanku, Ibu, bersama Bi Pinah dan Bi Yatmi naik ke atas untuk mulai bekerja. Sedangkan aku bermain sendiri di halaman dekat kamar kami. Sesekali aku mengintip lewat pagar besi yang memisahkan halamanku dengan halaman Tuan Besar, Bos Ibu. Halaman Tuan Besar jauh lebih luas dari halaman tempatku bermain. Ada banyak bunga cantik dan sebuah kolam renang besar. Suasana sangat sepi. Padahal kemarin-kemarin beberapa kali kulihat anak-anak kecil berenang dan bermain di situ. Aku sebenarnya juga ingin ikut bermain bersama mereka, tetapi Ibu marah besar ketika aku mengatakan hal itu padanya. Ibu bilang kalau aku harus tahu diri. Aku juga tidak boleh memanggil atau menyapa mereka dari balik pagar besi ini.
Setelah beberapa lama bermain sendiri, aku mulai merasa bosan. Lagipula perutku lapar. Aku segera berlari menaiki tangga yang menghubungkan dengan dapur kotor di rumah Tuan Besar. Sampai di dapur, aku kecewa, karena tidak ada siapa-siapa di situ. Aku mencoba mencari nasi atau lauk di sana, tetapi nihil.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada pintu dapur di depanku. Pintu dapur selama ini selalu tertutup. Kata Ibu, itu area terlarang untukku. Dasar aku nakal, saat Ibu lengah, aku pernah beberapa kali mencoba untuk membukanya. Namun sialnya, selalu saja ketahuan sebelum aksiku berhasil. Meskipun Ibu sibuk mengerjakan sesuatu, tetapi ia selalu tahu gerakan-gerakanku.
Aku melihat ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa pun di sini. Rasa laparku tiba-tiba hilang, berganti dengan rasa penasaran. Sebenarnya ada apa di balik pintu itu? Perlahan aku menggerakkan gagang pintu dan mengintip ke dalam. “Wow… Ck… Ck… Ck…” Aku berdecak kagum. Ruangan di dalam ternyata sangat luas dan indah sekali. Dan yang paling menarik, aku melihat ada mobil-mobilan besar di situ. Aku ingin sekali mencobanya.
Aku pun mengendap-endap masuk ke ruangan itu. Suasana sangat lengang. Ketika di dekat mobil-mobilan itu, aku pun mengelus-elusnya dengan perasaan bahagia. Aku pernah melihat yang seperti ini di televisi. Tak kusangka akhirnya aku bisa memegangnya langsung.
Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki turun tangga. Aku panik dan segera berlari mencari tempat bersembunyi. Aku masuk ke dalam sebuah kamar yang pintunya terbuka dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Napasku masih terengah-engah, saat kudengar langkah kaki memasuki kamar. Jantungku berdegup kencang. Ibukah …? Akan tetapi derap langkahnya tidak seperti langkah Ibu. Bentuk betisnya pun tidak seperti betis Ibu. Itu pasti bukan Ibu. Aku pun bernapas lega.
Tidak lama kemudian, ada bunyi langkah lain memasuki kamar. Jantungku kembali berpacu lebih cepat. Aku begitu familier dengan suara langkah kaki seperti ini. Setelah itu aku mendengar suara lelaki dan perempuan yang tertawa-tawa, dan … Dug! Aku merasa hentakan di atas kepalaku. Rupanya mereka tengah menghempaskan badannya di atas ranjang tempatku bersembunyi.
Lamat-lamat, aku mendengar suara desahan yang sangat familier. Getaran ranjang ini pun tidak asing bagiku. Ah, jangan-jangan … Mungkinkah ini orang yang sama? Orang yang tidak pernah kulihat, tetapi dapat kurasakan getarannya. Rasa penasaran mulai menguasaiku. Aku ingin melihatnya, aku ingin tahu. Perlahan kugerakkan tubuhku ke luar dari kolong tempat tidur. Baru saja kepalaku menyentuh ujung ranjang, terdengar suara jeritan histeris seorang perempuan. “Siapa kamu?” tanya perempuan itu dengan wajah ketakutan dan tangan sibuk menutupi tubuhnya dengan selimut. Matanya melihat ke arahku seperti baru melihat hantu.
Sesosok wajah pria muncul dari belakang perempuan itu. Wajahnya terlihat tegang. Matanya melotot, seolah-olah ada api yang sedang menyala di sana. “Ini putranya Bi Surti. Kurang ajar sekali kau masuk ke sini!” ujarnya dengan suara keras. Wajah pria itu begitu mengerikan, tetapi anehnya aku sama sekali tidak takut. Aku malah memandangi wajahnya dengan takjub. Sedikit pun tidak kukedipkan mataku. Meskipun wajahnya terasa asing, tetapi getaran tubuhnya dan semua aura yang dia ciptakan, sangat familier bagiku.
“Apa kau lihat-lihat? Kau menantangku, ya?” tanya pria itu dengan geram. Ia pun membalikkan badannya untuk turun dari tempat tidur dari seberang tempatku. Selama beberapa detik ia berdiri membelakangiku. Aku semakin terpana. Melihat bentuk kepala dan punggungnya, membuatku semakin yakin dengan dugaanku. Tidak salah lagi. Ini dia orangnya!
“Mister Z… Tuan adalah Mister Z yang sering ke kamar Ibuku malam-malam, kan?” tanyaku antusias. Aku merasa seperti detektif yang telah berhasil memecahkan sebuah misteri. Bentuk kepala dan tubuhnya sama seperti pria yang menindih Ibuku waktu itu. Aku yakin sudah menemukan pria misterius yang membuatku penasaran selama ini.
Wajah pria itu langsung pucat. Ia mengangkat tangannya hendak memukulku. Namun, sebelum tangannya mendarat di tubuhku, wanita cantik di sebelahnya berhasil menepis. Wanita itu menarik tubuhku dan mengajakku duduk di sebelahnya. “Ceritakan padaku, Nak. Apa yang kau tahu?” tanyanya lembut.
Aku ceritakan semua yang kudengar, kulihat dan kurasakan. Wanita itu mendengarkan dengan penuh perhatian, membuatku semakin semangat bercerita. Setelah itu, ia memberiku kue-kue dan permen kemudian menyuruhku kembali ke kamar.
Esoknya, Ibu mengajakku pulang ke kampung kami. Saat menunggu bus datang, ia memeluk tubuhku erat sambil menangis terisak. Ketika tangisnya reda, Ibu menatapku penuh kasih sayang. Ia menunjuk tukang penjual mainan yang lalu lalang di dekat kami. “Kau mau dibelikan mainan apa, Nang?” “Ibu punya uang?” tanyaku heran. Biasanya Ibu marah kalau aku minta dibelikan mainan. Alasannya tidak ada uang. Ibu mengangguk sambil tersenyum. “Nyonya besar memberikan Ibu uang pesangon yang sangat banyak.”
Aku senang melihat Ibu tersenyum. Namun, saat ini aku tidak ingin mainan apa-apa. Aku hanya ingin Ibu bersenandung dan memelukku. Aku merasa gelisah. Bayang-bayang wajah Mister Z bermunculan terus di kepalaku. Aku menyesal telah melihat wajahnya. Lebih baik seperti dulu, hanya siluet tubuh dan desahan nafasnya yang selalu menghantuiku. Aku tidak suka. Aku gugup dan bingung.
Cerpen Karangan: Reny Rivai Facebook: facebook.com/isturini