Di pagi itu. hujan turun semakin lebat, petir menggelegar persis seakan di atas rumahku dan angin kencang pun ikut menyertai gelap yang menyelimuti pagi itu. Aku hanya bisa melamun sambil melihat ke arah jalan yang basah dan daun-daun yang memisahkan diri dari pohon.
“Gedebukkk…!” Suara yang sangat keras itu pun menghentikan lamunanku, aku langsung berlari meninggalkan kamar dan mencari dari mana sumber suara itu. Seketika itu, aku teringat kembali bagaimana peristiwa ayah yang meninggalkanku dan ibu.
“Ibuuu…!” Aku berteriak seakan ingin mengalahkan suara hujan yang turun di pagi itu, dengan air mata yang terus menetes, sedikit demi sedikit dan lama-lama menjadi deras yang membasahi pipiku. Aku membawa ibuku ke rumah sakit terdekat yang ada di Abdya.
“Ibumu mengidap kanker otak stadium 3 dek” kata dokter di rumah sakit itu dan dokter itupun menjelaskan bahwasanya kondisi ibu sedang tidak baik-baik saja.
Mendengar penjelasan dari dokter tentang panyakit ibuku, aku hanya bisa terdiam tanpa kata dengan air mata yang mengalir semakin deras dan di saat itu langit tek pernah biru lagi. dengan langkah gemetar, aku pergi ke ruangan tempat dimana ibu ku dirawat, sembari berfikir “kenapa orang yang aku sayangi akan pergi dan meninggalkan luka di hati?” beribu pertanyaan muncul di benakku.
Tepat sekitar pukul 11: 00 siang. aku masuk ke ruangan ibuku, aku melihat banyak pelaratan medis disana dan tubuh ibu juga dipasang selang dan kabel yang membuat pelaratan medis itu berfungsi. Dengan hati yang hancur dan air mata yang terus mengalir, aku memandang tubuh ibuku yang terbaring lemah tak berdaya, wajahnya yang pucat, detak jantungnya yang lemah dan jari telunjuknya yang dipasang salah satu alat medis disana.
“Titt… titt… titt” seperti itulah bunyi alat monitor hemodinamik dan saturasi yang ada di dekat ibuku. Sambil merebahkan kepalaku di kasur, aku memandang wajahnya dan menggenggam tangannya dan tanpa aku sadari aku tertidur di dekat ibuku.
“Syanum, ayo makan siang dulu. ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu!” teriak ibu dari ruang makan “Iya bu” jawabku dengan langkah kaki yang terus mengarah ke meja makan, tak lama kemudian. “Tringgg” bunyi yang berasal dari handphoneku menjadi pusat perhatian ibu, dan aku langsung membalas pesan dari temanku tanpa menghargai perasaan ibuku. Ibu selalu tidak senang, ketika sedang bersamanya aku sibuk dengan handphoneku dan memusatkan perhatianku pada elektronik yang membuat hubunganku dengan ibu menjadi menjauh. Padahal, kami duduk di kursi yang berdekatan dan meja yang satu.
“Sudah berapa kali ibu bilang, tolong ketika kamu sedang bersama ibu maka handphonemu tidak menjadi pusat perhatianmu” tegas ibu. “Ibu kenapa sih? Selalu saja marah ketika aku sibuk dengan handphoneku” tanyaku dengan nada membentaknya. “Apa kau tidak berfikir? Bahwasanya aku tidak selalu ada didekatmu, maka nikmati saat sedang bersama, nikmati saat ibumu masih ada di depanmu. Kelak kau akan tahu, bagaimana nikmatnya duduk di meja makan sambil berbincang-bincang tentang apa yang melelahkan di hari ini” jawab ibu dengan nada suara yang sedih.
Mendengar nada bicara ibu yang semakin sedih, aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar dengan perasaan marah dan meninggalkan ibu yang sedang menangis di meja makan. Memang, semenjak ayah meninggal. aku dan ibu sangat jarang untuk berbincang-bincang atau pun bercanda gurau. Aku menghabiskan waktuku di kamar dan jalan-jalan dengan teman-temanku. Sedangkan ibu, hanya membuat kue untuk di jual dan mengurusi semua pekerjaan rumah.
“Syanumm… syanumm” suara teriakan ica pun terdengar di telingaku “Iyaa, tunggu sebentar” dengan kondisi hati yang sedang marah, aku berjalan menuju ica yang sedang duduk di ruang tamu, ica adalah temanku sejak SD sampai sekarang. “Eeh, ada icaa” sapa ibu dengan mata yang sembab dan sembari duduk di kursi “Iyaa bu” jawab icaa dengan ramah “Kenapa caa? Ada yang perlu aku bantu?” Tanyaku sambil duduk di kursi ruang tamu “Lohh bu, ngapain ibu disini? Bukannya buatin minum malah duduk disini” perintahku dengan nada suara tinggi Mendengar suaraku yang membentak ibu, ibu pun kembali ke dapur dengan wajah menunduk. Sembari menunggu ibu untuk membawakan minuman, icaa pun mengatakan tujuannya datang ke rumah dan tidak lama kemudian ibu datang dengan membawa dua gelas teh dingin dan beberapa kue buatan ibu.
“Ica sedang sibuk apa sekarang?” Tanya ibu dengan suara yang lembut “Ibuu ngapain sih tanya icaa sedang sibuk apa, lagian kan gak penting untuk ibu” kataku sambil membentak ibu. “Nggak usah dijawab caa, abaikan aja” tegasku kepada ica Mendengar nada bicaraku yang sangat tinggi kepada ibuku, ica pun menjadi gelisah saat berada di rumahku. Tak lama kemudian, icaa pun pulang dengan perasaan yang gelisah.
“Ibuu, kalau temanku sedang main di rumah, ibu gak perlu keluar atau menyapa dan bahkan ibu gak perlu bicara sama mereka” bentakku persis di depan wajah ibuku. Mendengar suaraku yang membentaknya, ibu hanya tersenyum sambil mengelus rambutku yang tebal dan lurus itu. “Putriku sudah besar, yang dulu selalu senang ketika ibu peluk dan dia pun sangat senang memeluk ibu, putri cantik dari kerajaan sederhana dengan nada suara yang sangat lembut dan sangat senang jika memakai baju berwarna pink dan lengkap dengan sepatu kaca, layaknya seorang princess, yang menghabiskan hari-harinya dengan ibu dan katanya “ibu menjadi cinta pertamanya”. Tapi sekarang, menjadi seorang putri kejam yang membuat hati ibunya selalu terluka” kata ibu dengan air mata yang terus mengalir dan mimisan yang terus keluar dari lobang hidung ibuku.
“Ooh putriku, kelak jika ibu menghilang, kau mungkin tidak mencari ibu atau pun tidak meneteskan air mata beningmu untuk ibu tapi yakinlah kau akan merindukan ibu. Kau tau? Dulu ibu berfikir kalau hal yang paling menyakitkan itu adalah melahirkan. tapi ibu salah, hal yang paling menyakitkan selain melahirkan adalah bentakan seorang anak yang telah diberi pengorbanan besar. Ohh putriku, kau tak pernah menanyakan tentang ibu, kau tak pernah memandang ibu dan kau tau, bagai mana rasanya dikekang dan tidak boleh bicara? Oh putriku jika saja ayahmu masih ada, ibu mempunyai teman untuk meluapkan semua hal yang paling menyakitkan di dunia ini” sambung ibu dengan isakan tangis yang semakin kencang.
Setelah ibu selesai bicara, ibu meninggalkanku di ruang tamu. Aku terbujur kaku dengan air mata yang terus menetes, seakan tamparan keras mendarat di pipiku. Hari itu menjadi hari terakhir ibu bicara padaku, hari terakhir ibu membuat sarapan dan memasak makanan kesukaanku.
“Tap… tap… tap” bunyi kaki orang yang sedang berlari pun membuat aku terbagun dari mimpiku, aku melihat di sekeliling ibu banyak suster dan dokter yang sedang panik. “Tiiiiiiittttt…” seperti itulah bunyi monitor hemodynamic dan saturasi yang mendominasi bunyi di ruangan ibu.
“Dek, silahkan keluar ya” kata seorang suster dengan wajah yang panik. Aku langsung keluar dengan tangan yang dingin, tubuh yang gemetar dan air mata yang terus menetes. Aku hanya bisa berdo’a supaya ibu baik-baik saja tapi ternyata tuhan berkata lain.
Setelah proses pemakaman ibu selesai, aku kembali ke rumah. Aku melihat banyak saudara atau pun warga yang sedang bertakziah ke rumahku. Tatapanku kambali kosong ketika melihat bendera kuning yang terpasang di samping pintu rumah. Setelah kepergian ibu, aku baru sadar bahwasanya hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita merindukan seseorang yang tidak bisa lagi kita lihat.
Cerpen Karangan: Sulistika Adilla Blog / Facebook: Sulistika Adilla