Semesta begitu kejam dan dengan mudahnya mematahkan berbagai perasaan. Ketika bahagia datang maka ia selalu mengingatkan lagi tentang luka. Pahitnya kehidupan harus ditelan paksa dan meyakinkan bahwa semua ini fakta.
Sepasang mata coklat itu kembali memejamkan matanya dan terbuka perlahan. Dadanya masih sesak menyimpan sejuta rasa. Rasa abstrak yang tidak bisa untuk didefinisikan. Rasa itu terlalu rumit. Gadis itu tak bisa mengatakan ‘aku bahagia’ ‘aku menyesal’ ‘aku sedih’ ‘aku takut’ semuanya bercampur menjadi satu.
Wajahnya pucat pasi, lingkaran hitam dan sembab mendominasi kedua matanya. Mata sembab itu bergulir menatap album di tangannya. Tangannya membuka halaman pertama, ia tersenyum. Tangannya kembali membuka halaman selanjutnya, ia tetap tersenyum. Ia kembali membuka halaman selanjutnya, senyumnya memudar. Cairan bening meluruh begitu saja. Dadanya lagi-lagi terasa sesak. Semuanya hanya seperti kilasan mimpi. Ia terus menggelengkan kepalanya, berharap semuanya benar-benar hanya mimpi buruknya. Iya! Hanya mimpi buruk! Sontak ia berdiri dan ingin segera memastikan, tapi seketika ia tertampar oleh kenyataan. Ini kenyataannya! Bukan mimpi. Tubuhnya merosot begitu saja dengan sesenggukan tangisnya yang terdengar memilukan.
Semburat oranye kemerahan menghiasi langit pertanda sore. Burung-burung mulai mengepakkan sayapnya untuk segera pulang. Bisingnya orang-orang yang berlalu lalang mulai sepi meninggalkan kota tua ini.
Gadis dengan sepasang mata coklat itu terus bergidik heran menatap hebohnya ketiga orang berbeda umur. Ayah, bunda, Icha adiknya. Mereka terus saja asyik berekspresi didepan benda berbentuk kotak gepeng itu. Senja mendengus sebal, dirinya yang meminta ke kota tua ini, tapi mengapa mereka yang heboh sendiri? Semburat oranye saja sudah menyusut dan akan digantikannya gelap, tapi ketiga orang berbeda umur itu masih asyik berpose ria di depan kamera.
“Senjaaaa!” Panggilan itu sontak memfokuskan pandangannya kearah pria paruh baya yang melambaikan tangannya heboh. “Ayo sini ikut foto!” Teriak ayah.
Senja melangkah mendekat namun belum bergabung Icha mengulurkan handphone-nya. Senja mengerutkan keningnya tak mengerti. “Kakak fotoin!” ucapnya membuat urat leher Senja mengencang. Senja menerima handphone sialan itu, lalu tanpa niat Senja menjepret berulang-ulang.
“Mana Icha mau liat!” ucap Icha meraih handphone di genggaman Senja. Icha menatap foto hasil jepretan Senja lamat-lamat. Pandangan Icha beralih menatap Senja malas.
“Semuanya burem! Kak Senja gak bisa motoin!” Mendengar penuturan Icha membuat Senja tersenyum puas. Senja kembali meraih handphone tersebut. Memasang timer 3 sekon, memposisikan handphonenya dengan angel yang pas. Senja memencet tombol putih bulat dilayar lalu dengan segera berlari bergabung. Ckrek! Ckrek! Ckrek!
Semburat oranye kini sepenuhnya ditelan gelap. Bukan senja sore tapi kini berganti bulan yang menjadi satu-satunya satelit di bumi. Germerlap bintang bertabur bak berlian di langit malam. Semilir angin menelisik di sela-sela rambut panjangnya membiarkan beberapa helaian rambutnya berterbangan. Matanya berkali-kali mengerjap kagum ciptaan Tuhan di langit malam. Senja terus saja mendongak menatap langit dari dalam mobil. Sekilas ingatan menghentikan kegiatannya yang terus mendongak menatap langit.
“Ayah,” panggil Senja. “Apa?” jawab ayahnya yang masih terus fokus menatap jalanan. “Ke toko souvernir dulu yah! Senja mau beli oleh-oleh” ucap Senja, lantas beberapa waktu kemudian mobil menepi di depan toko souvernir. Senja hampir saja menapakkan kakinya di semen trotoar namun sebuah panggilan menghentikannya.
“Kak Senja! Jangan lupa beliin Icha bingkai foto sama gantungan kunci!” Ucap Icha dengan cengiran ala kudanya. “Oke siap.”
“Senja…” panggil bunda lagi-lagi menggagalkan kakinya yang akan menapak semen trotoar. “Iya bun?” Tanya Senja pelan. Raut wajah Bundanya sedang tak enak dilihat. Apakah berhubungan dengan pengiritan? “Jangan boros!” Perintah Bunda mutlak. Oke, Senja akan mengaburkan pandangannya agar tak tertarik dengan benda-benda souvernir. “Siap Bunda!” Jawab Senja lantang dengan tangan hormat bak tentara nasional.
Senja segera beranjak. Namun, suara cempreng itu menggagalkan kakinya yang akan kembali menapak semen trotoar. “Icha ikuuuut!” Rengek Icha menarik-narik ujung baju Senja. “Gak usah! Disini aja sama bunda, ayah!” Jawab Senja sengit.
Senja segera melangkah menuju toko souvernir yang berdesain unik itu. Toko souvernir ini tidak begitu besar, tapi toko ini menyajikan berbagai souvernir unik dan mampu menarik minat para costumer. Mata Senja terus saja bergulir kesana kemari hingga pandangannya berhenti tepat di ujung sana. Langkah kaki Senja berjalan mendekat dan terus menatap benda yang berhasil menarik perhatian Senja. Senja meraihnya, sebuah album full colour bertulis happy days berhasil menarik minat Senja untuk segera membawanya pulang.
Senja kembali menelusuri lorong souvernir. Memasukkan beberapa souvernir pesanan Icha. Langkahnya terhenti, berbagai macam bentuk gelang tangan yang tergantung rapi menarik minat Senja. Senja meraih satu gelang yang memimpin paling depan. Gelangnya cukup simpel dengan kaitan seperti gelang tali pada umumnya. Gelang tali tersebut bertuliskan ‘Ibu’, apakah ini untuk seorang ibu? Senja kembali meraih gelang tali yang masih bergantung indah. Gelang tersebut bertuliskan ‘Kakak’, ini untuk dirinya?. Senja dengan gesit memilih gelang yang masih bergantung di tempatnya hingga gelang-gelang tersebut lengkap sudah dikatakan sebagai keluarga. Ibu, ayah, kakak, adik. Senja tersenyum tipis membayangkan mereka memakai gelang talinya kompak. Dirasa semuanya sudah cukup, Senja segera membayar dan keluar dari toko yang memikat minatnya untuk segera memborong.
Mobil silver itu masih terparkir di tepi jalan. Senja berdiri didepan toko souvernir sembari mengamati mereka yang masih asyik dengan dunianya masing-masing. Ayah, memainkan handphonenya. Bunda, mungkin ia sudah berkelana dalam mimpi. Icha, memasang headset di kedua telinganya.
“Ayaaah! Bundaaa! Ichaaa!” Teriak Senja memanggil. Sungguh, ia tak peduli dengan sekitarnya, entah kenapa ada dorongan untuk berteriak memanggil mereka. Mereka mengalihkan pandangannya ke arah Senja. Spontan Senja melambaikan tangannya lalu memamerkan sekresek souvernir dengan kurva melengkung di wajahnya. Icha melambaikan tangannya heboh sedangkan, Ayah dan bundanya juga membuat kurva diwajahnya, kurvanya tentu tak kalah melengkung dan lebar dari Senja. Senja sudah tak sabar memberikan gelang tali yang dibelinya. Memasang satu persatu di pergelangan tangan mereka. Ia melangkah cepat menuju mobil silver tersebut namun belum genap ia melangkah.
CKIIIIT!!!TIN TIN! BRAKK!!!
Momen mengerikan itu berhasil menghentikan langkahnya. Desiran darahnya mengalir hebat tapi jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Dirinya tak sanggup bergerak barang sedikitpun. Tangannya bergetar, souvernir yang ia banggakan terlepas dari genggaman eratnya. semilir angin yang lembut bagaikan tamparan keras baginya sangat keras. Kejadiannya begitu cepat bahkan jiwanya saja belum sepenuhnya tersadar.
Beberapa detik yang lalu, mereka masih sempat tersenyum hingga menciptakan bulan sabitnya sendiri, tapi kenapa semuanya hilang hanya dalam satu detik saja? Hanya dalam satu detik, kenapa semuanya menjadi mengerikan? Hanya dalam satu detik, semesta mengambil semua yang menjadi hal teristimewa di hidup Senja! Hanya dalam satu detik, semesta berhasil mematahkan segalanya! Hanya dalam satu detik… “hiks Aya..h, B-bun..da, ic-cha… hiks… hiks” Senja tak mampu lagi menopang tubuhnya sendiri. Tubuhnya merosot begitu saja meninggalkan semua tenaga Senja.
Mobil silver itu tidak lagi didepan mata, tapi mobil itu terseret jauh hingga tak berbentuk. Mobil truk yang tak terkendali menyeretnya begitu jauh membuat Senja tak sanggup lagi untuk menggapai. Tangannya terlalu lemas walau hanya sekedar mengangkat. Suara ambulance dan ramainya kerumunan orang terus saja memenuhi pendengaran Senja.
CKIIIIT…. TIN TIN!! BRAKK! Lagi-lagi decitan dan suara hantaman itu terus berulang-ulang memutar di otak Senja bagaikan kaset rusak. Senja memegangi kepalanya erat, memukulnya pelan berupaya menghilangkan jejak yang mengerikan.
Cairan bening kembali meluruh membasahi pipinya, badannya bergetar. Tangannya masih menggenggam buku album yang memampangkan empat orang dengan senyumnya masing-masing.
Genggamannya semakin erat, tubuhnya semakin bergetar. Sebuah tangan terulur mengusap lembut punggungnya. Pandangan Senja beralih menatap sepasang mata sayu yang teduh, raut wajah yang menyiratkan ‘semuanya baik-baik saja’. Sesosok yang mirip bundanya.
“Bude hiks… hiks” panggil Senja lirih. Bude memeluk tubuh ringkih Senja erat, mengusap punggung Senja lembut berharap dapat meruntuhkan beban Senja.
Senja mengerti. Manusia tak akan bisa mengatur segalanya, apalagi tentang kehidupan dan kematian. Semuanya sudah ditentukan. Tuhan juga berhak berperan, bukan hanya berperan menciptakan tapi berperan dalam segala hal. Jika memang takdir, Senja bisa apa? Jika memang itu yang terbaik. Senja akan menjalaninya sesuai alur yang telah ditetapkan.
Bangkit. Senja tidak akan menyerahkan hidup begitu saja sekalipun hal yang paling berharga telah diminta kembali oleh sang pencipta.
Seulas senyum tercetak di bibirnya menatap empat gelang tali yang seharusnya sekarang bukan tergeletak di atas kasurnya. Pandangannya masih tak lepas dari empat gelang tersebut.
“Terimakasih.” ucap Senja tanpa suara.
~ Tamat ~
Cerpen Karangan: Dita Revilda Blog / Facebook: Ditha Revilda