Beberapa tahun yang lalu aku datang ke bumi, melangkah menyusuri daerah pedesaan di timur. Dan di ujung jalan kutemui rumah di sebelahnya sebuah kebun. Dan kutemui seseorang yang bekerja sampai kelelahan dan penuh pengorbanan. Sudah bertahun-tahun ia bekerja, berkorban, menafkahi keluarga, menanggung hidup keluarga juga. Ya, memanggilnya Ayah. Ayah sosok yang sangat luar biasa.
Sebagai imam keluarga, Ayah bersusah payah menghidupi keluarga. Ia dititipkan hidup untuk menjadi pelindung keluarga, menjadi contoh panutan yang baik, imam keluarga dan banyak lain-lainnya. Ayah bekerja mendapat sebuah hasil yang bisa mencukupi keluarga agar hidup aman, damai, dan tenteram dari hasil jerih payah keringat sendiri. Tapi sebagai Ayah ia pernah mengalami cobaan hidup yang begitu menguras tenaga dan pikiran. Ia lebih dikenal sebagai pahlawan keluarga. Karena ia begitu sabar, penuh kasih sayang, dan pelindung keluarga. Terkadang anak minta diturutin kemauannya, sedang Ayah tak pernah meminta imbalan apa-apa.
Ayah sosok yang baik dan perhatian terhadap keluarganya, mencari biaya untuk menyekolahkan anak sampai lulus, menyenangkan keluarga seperti jalan-jalan, pergi ke tempat wisata, dan memenuhi kemauan anak, entah jajan atau uang atau kebutuhan, dan lain-lainnya. Sedang sebagai anak patutnya berbakti kepada kedua orangtua, berbuat baik kepadanya, sopan dan santun. Tapi yang sering diterimanya ialah ucapan terimakasih dan bahagia melihat anaknya senang.
Sebelumnya ceritanya begini. Suatu hari aku turun merubah wujudku menyerupai manusia dan datang menjumpai Seorang Ayah. Ayah yang setiap hari bekerja mencari nafkah dengan semangat, tabah, penuh perjuangan struggle. Tapi beliau begitu tampak kelelahan, berkucur keringat. Di sudut benar ia duduk dengan beristirahat ditempat teduh. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mencemaskan pikirannya. Sebuah kendaraan dan tempat menaruh barang dagangan yang dijual yang menyisakan sedikit tempat duduk kendaraan yang bisa diduduki beliau di depan beliau. Kemudian aku muncul menjumpai beliau dan membeli dagangannya, aku duduk di sampingnya dan aku berkenalan. Beliau sedang lihat memandangi foto kecil di atas dompet itu setelah aku membeli tapainya, aku tanya beliau, aku tahu beliau seorang Ayah yang kuat, sabar, dan punya perasaan. “Assalamu’alaikum Pak …” “Wa’alaikumsalam …” “Bapak habis jualan dari mana tadi?” “dari desa Sana lalu kesini, mau istirahat sebentar …” “Ooo baiklah Pak. Foto siapa Pak itu?, apa anak Bapak?” “Iya, anakku … Jeyon namanya,”
Maka aku ingat Jeyon, si anak pendiam itu. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang dulu melihat kebaikannya. Jeyon anak segala-galanya bagi orangtuanya. Tapi saat bertambahnya waktu Ayahnya pernah mengalami cobaan dan rintangan. Ia kelihatan sakit-sakitan.
Tiba-tiba aku ingat lagi Bapak–Ayahnya Jeyon–dan sikapnya Jeyon kepadanya. Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Bapak–Ayahnya Jeyon–lagi. ”Apakah Jeyon baik-baik saja sekarang?” “Alhamdulillah iya … Mudah-mudahan anakku menjadi orang baik dan sukses.” Ayah menjawab dengan senyum dan berharap. “Aamiin.” “Anak Bapak sekarang umurnya sudah berapa?” “Sudah tigabelas tahun.” “Aku yakin semoga anakku menjadi orang yang baik, aku berjuang agar anakku bisa sukses masa depannya dan aku ingin anakku hidupnya lebih baik lagi dan mapan dibanding aku.” Jawab Ayah berhati mulia dan penuh harapan.
Begitu mulianya hati Ayah menahan ragam. Sudah lama pengorbanan menjadi seorang imam keluarga. Takutnya pengorbanan tak dihargai, kebaikannya takut rusak. Sudah begitu lama ia berbuat baik, Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan Berjihad untuk menghidupi keluarga.
Ingin tahuku dengan keadaan Jeyon–anaknya Ayah–tadi jadi memuncak. Lalu Ayahnya mau melanjutkan dan sudah mulai berangkat perjalanan bekerja dan aku melanjutkan perjalananku dan menghilang. Dan ketika Ayah sudah pulang bekerja, aku mengikutinya hingga ke rumahnya. Aku datang menjumpai gambaran yang mengesankan suatu ujian cobaan yang pernah dialami orangtua yakni moral anaknya yang berubah mulai pernah rusak, dan sering keluar rumah tanpa pamitan, perubahan sikap anaknya yang kurang baik kepada orangtua saat anaknya bertambah umur di usia sembilan tahun ke atas. Entah, kenapa? gerangan apa yang menimpa itu?. Mungkin akibat pertemanan kurang sehat, atau sikap anak yang kurang berbakti kepada orangtua entah mungkin karena terlalu ingin mendapat teman atau sependapat dengan teman yang moralnya kurang baik saat itu. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh anak itu, yang pernah tak hendak berbuat baik dan berbakti kepada kedua orangtua. Dan aku melihat mata Ayah berlinang. Aku jadi kasihan kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Jeyon yang begitu memukuli hati Ayah. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir. Dan akhirnya aku kembali naik kelangit.
Pada suatu malam, aku memulai perjalanan ke bumi, di atas langit tadi aku menerima pesan Tuhan, dan malamnya aku menjumpai Jeyon yang sedang tidur di kamarnya, dan aku memeriksa amalan yang sudah di kerjakan. Aku bertugas dan masuk di alam mimpinya. Di tanganku tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak yang aku periksa. seorang yang di dunia bernama Jeyon. Di alam mimpinya Jeyon itu tersenyum-senyum saja, karena ia melihatku begitu yakin akan cahaya diriku di ciptakan. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk.
Sambil tersenyum bangga ia menyambutku. Lalu aku menyodorkan amal perbuatannya dan ayat-ayat dari Tuhan dan kubacakan dengan dalam dan mengenai hati anak itu. “Sesungguhnya engkau sekarang beruntung tak yatim, engkau punya Ayah yang baik, kedua orangtuamu masih ada. Dengarkan hatimu. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” Maka Taubatlah, dan berbuat amal baik …”. Alangkah tercengang Jeyon, karena di dunia itu ia dulu tak mengerti dengan keadaan orangtua, bahkan durhaka. “Bagaimana ini …?” “kalau begitu berbuatlah amal baik, berbakti pada orangtua.” Lalu aku langsung pergi dari mimpi anak itu. Ia menjadi pucat pasi. Tahulah ia sekarang apa jalan yang diridai Tuhan di dunia. Demikianlah Jeyon sebelumnya terhadap orangtua.
Dan besoknya, ketika aku turun ke bumi. Ya, tadi subuh Jeyon bertaubat, ia ingat kebaikan Ayahnya dan Ibu, dan berkata pada diri. “Ayahku bersikap sabar dan baik hati mengajari kami, membangunkan tidur pagi kami, mengantarkan kami ke sekolah mencari ilmu, menuntun dan mendidik kebaikan pada kami, dulu sering keluar dan keluar rumah lagi untuk berjuang dan lain-lain demi kami agar semoga anak hidupnya bisa lebih baik lagi dan menjadi sukses dunia akhirat, menyelimuti kami selimut tidur saat aku tidur, pernah bilang. “lanjutkan belajarmu kamu ada tugas, biar aku yang bekerja,”, Ayah pernah mengambilkan kami pula dan menyodorkan makan. “ayo makan yang kenyang,” sehingga aku jadi sungkan, pernah menyembunyikan aib kami, mendoakan yang terbaik pada kami, memberikan saran yang baik pada kami, mengajarkan kami berbuat amal baik, terkadang Ayah pulang kerja sering membagikan hasil kerjanya pada kami, memberi kami ide untuk masa depan yang cerah dan bermanfaat, dan lain-lain, banyak kebaikan Ayah pada keluarga. Ya Ghaffar, ALLAHUMMAGHFIRLI DZUNUBI WALIWALIDAYYA WARHAMHUMA KAMA ROBBAYANI SOGHIRO.”
Lalu ia sholat berjamaah dengan keluarganya yang diimami sang Ayah. Dan ia bertaubat dan meminta maaf pada kedua orangtua.
Cerpen Karangan: Rizal Blog / Facebook: Rizal Naufal Mohon maaf apabila ada kesalahan atau kekurangan Semoga kedepannya cerpen kami terpercaya dan lebih baik.