“Farah, beliau sudah tiada,” sebuah pesan singkat Whatsapp dari ibu yang muncul di layar notifikasi. Menunjukkan pesan tersebut tiba pada pukul delapan malam, sedangkan sekarang sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Sepertinya aku terlalu sibuk dengan layar laptopku sampai-sampai berita mengejutkan ini berhasil terabaikan olehku.
Perlu beberapa menit untukku memahami isi pesan ini. Tapi tidak dengan tangisku yang begitu luruh segera. Perasaan hancur dengan semakin kerasnya tangisan menjadi tandaku menolak kenyataan ini. Sambil berkali-kali memandangi pesan singkat itu, kemudian ku menyadari adanya rentetan telepon keluar yang tidak kuangkat. Lalu kembali kutelepon si pemilik panggilan keluar ini.
“Baik, ibu. Aku segera pulang.” Pulang. Kembali ke tempat asalku tentunya. Selama ini aku memang tinggal jauh dari tempat asalku. Merantau lima tahun lamanya. Akan tetapi, masa pandemi memaksaku untuk tetap tinggal di kota rantauan ini dan aku tidak bisa pulang ke rumah dengan leluasa karena pekerjaanku yang selalu menumpuk.
Selama di kereta, tak henti-hentinya aku membaca ulang buku pemberian seseorang yang menginspirasiku untuk menjadi sosok diriku yang saat ini. Banyak pembelajaran menarik didalamnya yang menjadi bekalku di masa selanjutnya. Hingga buku ini membuatku teringat dengan kenangan masa kecil. Aku dan beliau dulu memang sering menghabiskan waktu untuk membaca koleksi buku miliknya. Baik yang bergambar kesukaan anak-anak, hingga buku-buku tebal yang berhasil ia ceritakan kembali dengan menarik. Lelaki tua ini dulunya seorang jurnalis hebat sekaligus penulis buku yang juga jago menjadi pendongeng. Tak heran jika aku sangat lengket dengan beliau.
Perasaan emosional ini masih terus menghinggapi setiap kali ku melihat catatan-catatan kecil dengan tulisan tangannya di sudut buku. Walaupun kereta malam selalu sepi penumpang, tapi sungguh tidak lucu jika aku tiba-tiba menangis di kereta saat ini.
Sampai di penghujung buku, ku kembali menemukan bekas sobekan di halaman terakhir. Bekas itu memang sudah ada semenjak pertama kali aku menjadi empu terbaru dari buku ini. Tapi sampai sekarang, belum sempat aku tanyakan alasan jelas mengapa halaman ini disobek.
Waktu menunjukkan pukul dua pagi saat aku sampai di Stasiun Lempuyangan. Beberapa warung dan angkringan ada yang masih buka ternyata. Jalanan nampak basah akibat gerimis yang saat itu turun di Kota Jogja. Langsung ku cek hp untuk sekalian menghubungi orang rumah. Duh sial, hp ku mati.
Celingak celinguk melihat sekitar, barangkali masih ada persewaan motor yang masih buka di jam segini. Merasa tidak menemukannya, akhirnya aku mampir sebentar untuk bertanya ke salah satu penjual angkringan. Ternyata benar, dibalik kesialan pasti ada keberuntungan. Si penjual angkringan ini ternyata juga memiliki persewaan motor yang ada disamping gerobaknya itu.
Semua persyaratan sudah lengkap, surat lengkap, mesin terkendali, dan uang beserta perjanjian sudah lunas. Langsung aku gas motorku untuk pulang ke rumah.
Jalan ini, jalan yang sering aku lalui untuk menemui beliau. Muncul kembali ingatan masa kecilku, dimana aku yang selalu cerewet ketika akan bertemu beliau. Terlampau senang karena sudah tidak sabar untuk bertemu. Padahal, setiap minggu kami selalu berkunjung.
Duduk di jok motor paling depan, yang jika aku berdiri akan menghalangi ayah yang tengah mengendarainya. Menyapa rumput-rumput di pinggir jalan dan berlagak menjadi seorang idol yang tengah menyalami fans-nya. Dan akan tertunduk tidur ketika bosan dengan pemandangan sepanjang jalan. Sungguh Farah kecil yang menyusahkan. Bahkan, saking seringnya melewati jalanan ini, Farah kecil yang sombong ini melabeli sepanjang jalanan yang ia pandangi itu sebagai jalanan miliknya. “Semua jalanan ini punyaku!” serunya.
Dan sekarang, Farah dewasa masih membawa label tersebut, Farah dewasa kembali menguasai jalanan ini, jalanan yang Farah kecil miliki. Berteriak sepuasnya, menangis sekencang-kencangnya ia di jalanan miliknya sendiri, karena apa salahnya melakukan hal yang kita sukai di tempat milik kita sendiri? Mengabaikan sekitar yang mungkin akan menganggapku bodoh dan gila karena teriak-teriak ditengah jalan. Persetan dengan itu semua, karena hal gila ini bisa membawa perasaanku menjadi lebih lega.
Tenda-tenda yang sudah berdiri di depan rumah beliau, dengan kursi-kursi plastik yang tertata rapi, tidak sebanyak pada saat acara lelayu biasanya, mengingat kondisi saat ini yang masih dalam masa pandemi. Beberapa warga yang masih tinggal disitu setengah kaget melihatku yang sesenggukan dan terus memanggil ayah. Ibuku yang dari dapur langsung menghampiriku dan menghantarkanku ke dalam rumah untuk menemui ayah.
Aku berdiri mematung, masih sulit percaya dengan semua ini padahal aku sudah melihat faktanya dengan mata kepalaku sendiri. Tangisku kembali pecah dan menghampiri ayah. “Ayaahh!!” Ayah yang tengah membacakan bacaan Yasiin di dalam rumah seorang diri pun terkejut. Nampak raut wajahnya yang sepertinya habis menangis. Segera aku memeluknya, dan kami berdua menangis. Perasaan tak rela akan kepergian lelaki tua ini menyatu kembali.
Ayah mencoba menstabilkan diri, menghentikan tangisnya karena memang tidak baik jika terlalu sering menangis di pemakaman seseorang. “Bapakku udah ga ada, nak. Bapakku, Mbah Kakungmu. Mbah Kakungmu sudah pulang, Farah,” ucap Ayah. Aku hanya menanggapinya sambil mengangguk.
Ia kemudian mengeluarkan selembar kertas dari saku kemeja hitamnya. Selembar kertas yang merupakan sobekan lembar terakhir dari buku pemberian Mbah Kakung. Ternyata beliau menuliskan sesuatu disana.
Lagi-lagi aku menangis saat membaca tulisan yang bisa dibilang surat atau pesan dari Mbah Kakung. Tulisan dengan warna tinta yang memudar, sama dengan catatan-catatan kecil dalam buku. Ungkapan perasaan beliau saat pertama kali diriku lahir di dunia, hingga harapan-harapan kecil beliau untuk diriku di masa depan tertulis dengan rapi dan menyentuh lubuk hati ini. Sungguh, lelaki tua ini ternyata sangat istimewa bagiku.
Surat ini diakhiri dengan tulisan yang memiliki warna tinta lebih hitam, yang sepertinya memang belum lama ini ia tuliskan. Dan ia berkata, “Aku pulang dulu ya, nduk. –Mbah Kung”
Cerpen Karangan: Fatika F Blog: fatikaa.wordpress.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com