“Ananda Aulia Anastasya, putri dari Bapak Sujono. Lulus dengan IPK 3.98 Cumlaude.” Suara panggilan tersebut mengawali langkah gemetarku menuju ke podium kehormatan wisudawan, cukup mendebarkan bagiku untuk naik ke podium sekaligus diberi sebuah kesempatan untuk memberikan sambutan mewakili ratusan wisudawan saat itu.
Sepatah dua patah kata mulai terucap dari lisanku yang tentunya sangat kaku. Diawali dengan ucapan puji syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah, kemudian tak lupa juga ucapan terima kasih kepada kedua orangtua yang telah membimbing dan mengantarkanku sampai kepada nikmat ini. Sampai pada akhirnya air mata saksi itu tidak bisa terbendung untuk keluar kala lisan mulai memaksakan bercerita tentang kisah haru bagaimana orangtua saya mati-matian mencari biaya untuk bisa membayarkan SPP semester terakhir saya, karena saat itu memang bersamaan dengan jatuhnya bisnis yang biasa bapak tekuni.
“Mungkin jika anda mencari contoh anak yang kurang berbakti kepada orangtua, saya adalah contoh tersebut. Dan jika anda bertanya siapa orang yang paling hebat di dunia ini, maka izinkan saya untuk menempatkan bapak saya diurutan teratas orang itu.”
Dengan sangat terbata kalimat tersebut berhasil saya ucapkan, walaupun dengan air mata yang sudah membanjiri pipi saya. Saya sama sekali tidak peduli tentang hal tersebut, dan saya juga telah menentang pesan bapak kepada saya. Bapak sangat melarang saya sebagai putri satu-satunya untuk menampilkan kesedihan saya didepan orang lain. Bapak selalu berpesan kepada saya bahwasannya wanita adalah perhiasan, jangan sampai air matamu merusak keindahan orang melihat perhiasan tersebut.
“Kepada semua anak yang seperjuangan di bangku kuliah bersama saya, jangan menjadi kepala yang lupa akan telinga dan mata akan perjuangan orangtua, jangan menjadi hati yang mati rasa akan kasih sayang mereka.” Sontak kalimat penutup tersebut menjadikan semua audience banjir air mata dalam satu ruangan.
Benar sekali, kenangan 4 tahun yang lalu itu tidak akan pernah saya lupakan, disaat saya untuk kali pertama mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dengan predikat cumlaude. Tentu masih belum terbayarkan semua yang sudah bapak berikan kepada saya. Adik masih butuh perjalanan yang panjang, dia harus merasakan pendidikan seperti yang bapak berikan kepada saya.
Genap 2 tahun sudah bapak mengidap penyakit stroke. Tentu menjadikan diri saya semakin terjatuh ketika tahu bahwa ternyata bapak menderita penyakit tersebut. Kini saya hanya berjuang sendirian, tanpa ada yang menemani. Ingin sekali rasanya untuk menyerah dan meninggalkan kehidupan yang terjal ini. Tapi, beruntung saya masih memiliki teman-teman yang selalu mengingatkan saya, bahwasannya hal tersebut tidak akan menjadi solusi terbaik untuk kehidupan saya, adik bahkan bapak.
Setiap kali saya bercerita semua hal tidak pernah ada balasan ucapan dari bapak, sekujur tubuhnya kaku tampak sudah tidak berfungsi lagi, ketika saya becerita tentang kebahagiaan wajahnya seolah menampakkan senyuman yang tersirat. Namun, ketika saya bercerita tentang sebuah kesedihan yang sedang saya alami, wajah bapak tidak sedikitpun menandakan kesedihan. Benar, bapak memang sudah beda secara fisik akan tetapi secara psikis bapak tetap mengajarkan bagaimana untuk menjadi seorang putri sulung yang kuat dan tegar dalam mengarungi kehidupan.
Hari-hari saya dipenuhi dengan kesibukan yang saya jalani sebagai seorang penjaga toko kain di sebuah bedak pasar. Ternyata semua yang dikatakan teman-teman dulu benar, bahwasannya ketika sudah lulus nanti ijazah tidak menentukan nasib kita. Seorang sarjana ekonomi yang harus rela untuk bekerja sebagai buruh pasar dengan gaji yang seadanya, dan dengan tuntutan yang berlipat ganda. Saya tahu betul bahwasannya mengeluh tidak akan menjadikan semuanya semakin membaik, jadi dengan sebuah paksaan semua akan menjadi kebiasaan juga nanti pada akhirnya.
Sore yang nampak begitu indah, langit biru terhias manis merah senja. Saya harus segera sampai ke rumah seusai membereskan barang-barang bedak. Bapak harus segera makan, Putra juga harus siap-siap untuk berangkat mengaji. Hari-hari yang selalu terasa melelahkan memang. Sekali lagi, saya harus tetap semangat menjalani ini semua. Tanpa mempedulikan rasa letih yang baru saja saya rasakan, diri ini langsung menuju tempat parkir pasar untuk mengambil motor dan sesegera mungkin pulang ke rumah.
Pintu rumah nampak terbuka, biasanya Putra baru saja pulang bermain bersama teman-temannya. Semakin dekat rumah tak ada rasa penasaran dengan pintu terbuka itu. Namun saya harus dikagetkan karena Putra telah siap untuk berangkat mengaji, wajahnya nampak ketakutan, bola matanya menatap acak seolah sedang merangkai kata. Karena saya penasaran maka saya tanyakan langsung apa yang sedang dia lakukan. Tiba-tiba dengan terbata dia menyampaikan sesuatu kepada saya. “Kak, sepatu aku udah bolong kak. Terus kata ibu guru pembayaran uang bulanannya diberi tenggat sampai tanggal 17 besok soalnya udah 3 bulan belum bayar kak.”
Mendengar kalimat ini menjadi suatu tamparan untuk keberadaanku sebagai seorang kakak yang menggantikan peran orangtua untuk adikku. Menjadi sebuah keharusan untuk masa bodoh dengan apa yang sedang aku alami saat ini, semua hanya demi kebahagiaan untuknya dan bapak.
Setelah aku jawab dengan kata iya permintaan adikku kemudian aku bergegas menuju kamar bapak untuk melihat keadaannya, saat melihatnya hatiku kembali tergores, terbuka bagaimana perjuangannya untukku belum sempat aku membalasnya dengan memberikan fasilitas terbaik untuknya, terlebih saat dia sedang sakit. Niatan awal hanya ingin menengok bapak dan kemudian menyiapkan makan untuknya. Akan tetapi sejak kurun waktu 2 tahun terakhir bapak tidak bisa bergerak sama sekali sungguh keindahan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Bapak menarik tanganku sambil meneteskan air mata, sontak mataku berkaca-kaca melihat hal itu. Seperti ada pesan batin yang bapak sampaikan kepadaku, sungguh aku merasakan hal itu.
“Pak. Aulia rindu ibuk.” Nampak begitu memaksakan untuk berkata demikian, bibirku gemetar sambil pipiku sudah banjir air mata. Badan seolah tak kuat bergerak lagi. Pandanganku hanya terpusat pada bola mata bapak yang tiba-tiba air matanya berhenti. Bapak sudah menghentikan tangisan itu, sungguh aneh sekali karena sekarang dari wajahnya begitu sumringah haru ketika aku menyamapaikan kerinduan untuk ibu. Benar sekali, ketika membahas kehidupan bapak sangat tidak ingin jika kehidupan hanya diratapi, karena kehidupan ada untuk dijalani.
Cerpen Karangan: Muhammad Nur Khofik Blog / Facebook: Nur Khofik Muhammad
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 September 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com