Aku baru saja pulang dari warungnya Bu Ti untuk sekedar minum kopi dan membeli pisang goreng. Setibanya di rumah entah kenapa istriku tersenyum. Sambutannya juga hangat.
“Ada apa, Dik?” tanyaku pada istriku, Maemunah. “Mas tahu gak?” ia malah balik tanya. “Kalau ndak dikasih tahu, yaa …. ndak tahu.” Jawabku mengguyon. “Tadi ada Mbak Ajeng datang ke sini.” Katanya dengan muka cerah. “Mbak Ajeng? Mbak Ajeng dari penerbit yang rumahnya di perumahan dekat dengan lapangan bola itu?” tanyaku menegaskan. Istriku mengangguk seraya mengulum senyum. “Ada kabar apa dari dia?” tanyaku lagi. “Dia nitip ini!” Istriku mengeluarkan selembar amplop tebal. “Apa?” Aku melihat ke arah amplop warna cokelat yang dipegang oleh tangan istriku. “Royalti.” “Berapa?” “Lima juta,” istriku tampak semakin senang. “Alhamdulillah, lumayanlah buat beli beras dua puluh kilo, bayar SPP anak-anak dan bayar ini-itu,” kataku.
Aku menerima berapapun rizki yang diberikan oleh Allah. Karena manusia memang harus menerima dengan ikhlas apapun yang diberi-Nya. Dan itulah janji-Nya yang akan menolong hamba-Nya yang menerima dengan sabar dan ikhlas, menerima apa adanya. Terkadang banyak manusia mengatakan seperti itu. Namun ketika mereka sedang diuji, hatinya melenceng dari apa yang diucapkan oleh mulutnya. Kalau Tuhan pasti tidak pernah ingkar janji. Semua ditepati. Beda dengan manusia yang selalu ingkar janji tiada habisnya.
“Akhirnya musim paceklik di keluarga kita berlalu, Dik.” “Iya, Mas. Nanti kita akan sambangi ibu. Sebab tanpa usaha beliau yang menghadiahkan mesin tik, mustahil tulisan Mas akan terbit,” ujar istriku. Memang dia sangat mencintai ibuku. Tidak seperti kebanyakan istri teman-temanku yang hanya mencintai suaminya, sementara ibu suami mereka disia-siakan layaknya seorang madu yang merebut suaminya.
Tiba-tiba …. “Lagi ada apa kok kelihatan senang banget?” Tanya bapak mertuaku masuk ke dalam rumah sambil melepas asap rokok klobot yang dihujamkannya ke mulutnya. Asap tebal membenamkan mukanya untuk sesaat. Lalu asap itu menghilang ke tempat asalnya..” “Mas Toha dapat uang royalti dari penerbit, Pak.” Sahut istriku dengan muka berseri-seri. “Bapak mau saya belikan apa?” “Ndak. Ndak usah. Bapak ndak usah dibelikan apa-apa,” timpalnya dengan nada sewot. “Coba suamimu itu disuruh cari kerja yang lain. Jangan di depan mesin tik thok!. Kerja bangunan, tha? Buruh pabrik di Klaten, tha? Nguli di pasar Niaga sama China, tha? Jangan ngetik terus berhari-hari dan berjam-jam!.”
Aku diam saja mendengar ucapan bapak mertuaku. Aku tahu bahwa aku memang menjadi khalifah di muka bumi ini untuk dihina. Aku diciptakan dari alat reproduksi yang hina. Aku dibuat dari dua alat keluarnya kencing. Tempat keluarnya kotoran. Dan aku ada karena bertemunya dua air kotor. Lalu aku dikeluarkan dari sebuah lobang tempat keluarnya kencing. Aku hanyalah pipis. Tempatnya yang hina. Dan aku mau menyombongkan diri. Ini Aku!. Cuih!. Aku penulis hebat!. Kencing!. Pipis!. Dan aku tahu yang menghinaku bukan bapak mertuaku. Sebab manusia tua di depanku kini bukanlah asli bapak mertuaku. Yang ada berdiri di hadapanku kini hanyalah bangkai mati. Jasad mati.
Coba bayangkan, apakah jasad tanpa ruh akan hidup? Lalu ruh dari mana asalnya? Ruh Tuhan. Jadi aku tahu bahwa yang menghinaku bukan bapak mertuaku melainkan Tuhan. Jika aku marah berarti aku marah kepada Tuhan. Jika aku melawan berarti aku melawan Tuhan. Semua makhluk hidup yang ada di alam ini ada ruh Tuhan. Semuanya berasal dari Tuhan. Dan tanpa ruh Tuhan, tidak ada kehidupan. Jadi apa yang aku punya? Tidak ada. Jika tidak memiliki apa-apa, apa yang patut aku sombongkan? Apa yang membuatku angkuh dan congkak? Aku hanyalah titik kecil. Tanpa titik yang lebih besar aku tidak akan ada.
“Inggih, pak. Saya tahu,” jawabku. Lalu aku melanjutkan dalam hatiku, “Ketika dipuji senang, saat keinginan terpenuhi puas. Ketika difitnah marah, saat mengalami kegagalan mengeluh. Ya, Allah, ini Diriku apa Hawa Nafsuku? Semoga Engkau berikan kemudahan untuk membedakannya, agar hamba senantiasa ber-Tuhan Kepada-Mu, bukan pada hawa nafsuku.” “Iyo. Ngono. Nggolek kerjo sing laen. Ojo nulis thok ben anak-bojomu iso mangan,” sahutnya dengan penuh kemenangan. “Duh, Gusti,” ucapku kembali membatin sembari tersenyum. “Aku tahu bahwa yang menghinaku bukan bapak mertuaku. Tapi Engkau, Ya, Allah. Engkau sedang menguji hamba-Mu.”
Istriku malah yang menyahut, “Pak, Mas Toha itu menulis cerita yang menghasilkan uang!.” bela istriku dengan nada meninggi. Aku diam saja. “Bapak kan tidak pernah tanya tulisan apa yang ditulis oleh Mas Toha. Bapak hanya berprasangka buruk lalu menghukumi Mas Toha dengan mengatakan bahwa tulisan Mas Toha tidak ada gunanya. Bapak juga tidak pernah tahu bahwa tulisan Mas Toha sering dimuat di koran. Di majalah. Karena Bapak tidak pernah membeli atau membaca koran apalagi majalah!. Dan Bapak tidak pernah mau tahu soal tulisan yang Mas Toha tulis!.” “Dinasihati sama orang tua, kok malah melawan!” Bapak mertuaku merasa jengkel dan kesal pada istriku. Ia menggebrak meja yang sama sekali tidak punya salah apa-apa. Kucing yang duduk di tanah pun melihat bapak mertuaku dengan tatapan mata tajam. Lalu ia pergi tanpa permisi. Dan pada saat yang sama ibu mertuaku datang sambil membawa sebuah rantang berisi bubur kacang ijo.
“Lho, kok Bapak sudah mau pulang?” Tanya ibu mertuaku melihat suaminya pulang dengan muka cemberut dan berjalan dengan tergesa-gesa persis kucing betina hendak beranak. Suaminya tidak menjawab pertanyaan istrinya. Merasa tidak diperhatikan, ibu mertua berjalan ke dalam rumah. Sementara istriku menitikkan airmata. Aku tahu bahwa ia menangis bukan karena terlanjur melawan pada bapaknya sendiri. Ia menangis bukan karena telah berbuat durhaka pada orangtua. Tapi ia menangisi kejahilan orangtuanya. Ia ingin membela suaminya. Ayah dari anak-anaknya. Demi bakti kepada suami sebagaimana yang diperintahkan oleh agama. “Ridho Tuhan tergantung ridho suami”.
Hmmm. Aku sering betanya-tanya sendiri. Mengapa ‘orang baik’ sering ‘tersakiti?’. Ada temanku yang menjawab, Karena ‘orang baik’ selalu mendahulukan orang lain dalam ‘ruang kebahagiaannya’. Dia tidak menyediakan untuk dirinya sendiri, kecuali hanya sedikit.
Beberapa bulan kemudian …. “Kriiing!!!,” suara dering telpon berbunyi. “Kriiing!!!.” Segera kuangkat dan kutanya si penelpon, “Halo!?” “Maaf, benarkah ini Pak Ahmad?” si penelpon yang berada di ujung telpon malah balik tanya. “Benar. Maaf, ini siapa?” aku balas bertanya lagi. “Oh, saya Ronny, pak. Pimpred penerbit GPU.” “Oh, Mas Ronny!. Ada apa ya, Mas?” “Begini, pak. Naskah kumpulan cerpen Anda yang selama ini terbit di koran Pedoman yang kami beri judul “Senyuman Kucing yang Mengumpat”, “Nasib Paimin” dan “Lintang di Pulau Angsa” best seller!,” terdengar kabar gembira dari kalimat yang dikatakan oleh Ronny, dan seketika menyeruak ke dalam hatiku. “Betulkah?!” aku setengah tak percaya. Sebab mengumpulkan cerpen yang terbit dari bulan ke bulan di koran tidaklah mudah. Menulisnya pun tidak instan. “Jadi bagaimana dengan royaltinya?” “Iya, pak. Iya, pak. Akan kami buat MoU lagi,” katanya dengan nada terburu-buru.
Ada tambahan dari penerbit lain. Pundi-pundi pendapatanku meningkat. Paling tidak uang untuk membeli beras lebih dari cukup. Anak-anak tidak lagi merengek untuk membayar biaya sekolah mereka. Tagihan listrik untuk bulan depan tidak perlu dipusingkan lagi. Begitu juga dengan tagihan PDAM. Dan uang saldo di bank terisi. Ya, untuk jaga-jaga bila ada keperluan mendadak.
Sore harinya aku mengajak istri dan anak-anakku berbelanja ke supermarket yang menurut orang-orang di kampungku adalah sebuah mall seperti di kota-kota besar. Maklum, di kabupaten aku tinggal belum ada gedung tinggi pencakar langit. Gedung bioskopun tidak ada. Dulu pernah ada, namun satu demi satu gulung tikar lantaran yang menonton tidak ada, kalah total oleh perkembangan teknologi. Sehingga kini gedungnya menjadi sarangnya tikus. Bangunannya pun ditumbuhi tumbuhan semak belukar.
Bahkan orang di sekitar bekas bangunan bioskop pun tidak tahu atau sudah melupakan kalau di sana pernah ada gedung bioskop. Salah satu tempat jalan-jalan hanyalah sebuah jalan panjang yang di kanan-kirinya ditumbuhi toko-toko baju dan kedai pedagang kaki lima yang menjual kaset vcd bajakan. Tiap kali lewat, maka pejalan kaki akan disuguhi lagu-lagu dangdut koplo yang memang jadi primadona masyarakat kampung.
Di supermarket kami membeli bahan-bahan sembako. Beras 40 kilo, gula, minyak goreng, mie instan, sebun mandi, sabun cuci, susu, wafer kaleng, kopi, dan alat-alat dapur. Juga beberapa potong kaos oblong, kemeja, celana, dan jilbab serta sarung buat bapak mertuaku. Istriku memilihkan sendiri jilbab buat ibunya sendiri dan ibuku.
Sepulang dari supermarket, kulihat wajah anak-anak dan istriku secerah mentari pagi. Tak kulihat mendung dan hujan di wajah mereka yang sering kulihat dulu. Mereka tampak senang sekali karena musim dingin tidak lagi menyelubungi rumah tanggaku. Sebab kini berganti dengan musim semi di mana bunga-bunga kebahagiaan bermekaran. Langit tidak lagi kelam karena sinar rembulan menerangi malam. Merekalah rembulan yang menerangi malam-malamku. Tawa merekalah yang menerangi semangatku di dalam menghasilkan tulisan-tulisan selanjutnya bersama mesin tik tua hadiah dari ibuku.
Itulah kuatnya sebuah ikatan dalam keluarga. Tanpa keluarga maka yang kumiliki tidak ada apa-apanya. Maka, ketika aku menyelesaikan naskah cerpen terbaruku kuberi judul, “You Are My Moon”. Rembulan yang menerangi rumah ini ketika sayap-sayap hitam datang membawa aroma kematian untuk menghancurkan pondasi kekuatan hubungan kita. Tanpa kalian, maka aku tidak akan kuat melawan arus yang terus berusaha merontokkan pondasi rumah tangga kita.
Selepas menyusun lembaran-lembaran kertas tulisanku, aku mengistirahatkan mata. Kemudian dalam diam hatiku bergumam, “Dunia! Begitu piawainya engkau menjeratku. Sampai rela diri ini melepas nilai kebenaran yang sebenar-benarnya demi mendapatkanmu. Agar diri ini mendapat ‘pengakuan’ di mata sesama.”
Tak terasa setetes airmata jatuh di pipi.[]
Selesai Kota Pelarian, Maret 2017
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com