HIDUP itu bagaikan obat nyamuk. Yang terbakar terlebih dulu ujungnya, terus membakar hingga ke dalam dan akhirnya bagian tengah. Sama saja halnya dengan fitnah. Mulanya dari luar, kemudian merambat melalui keluarga dalam dan akhirnya membakar diri sendiri. Terbakar. Tapi kalau sudah memahami hakikat hidup, maka api bukan dari luar melainkan dari tengah. Mulai dari diri, keluarga, hingga sekitarnya. Seperti nyala lentera lilin dalam ruangan gelap. Terang.
Pagi terasa begitu hangat. Sinar metahari menyepuh pepucuk dedaunan dan pohon jambu keling, mangga dan anggur yang berrdiri di halaman rumah. Bunga mawar tersenyum riang menyambut sang mentari. Sementara bunga melati yang diam-diam menarik perhatian menari-nari dengan genitnya. Angin bersiul pelan, memainkan dedaunan pohon murbei yang kering berserakan di tanah. Tampak dua kuving belang mengejar-ngejar daun, berusaha menangkapnya namun mereka seakan dibohongi dan diejek oleh daun-daun itu.
Pada saat itu pula sepasang kupu-kupu berjingkat-jingkat di atas bunga mawar merah. Mereka tampak begitu romantis. Suasana benar-benar merasa nyaman, damai dan sejuk. Begitulah suasana yang dirasakan di desa. Berbeda dengan suasana yang ada di kota. Seperti Pekanbaru yang sekarang sedang kepanasan. Gerah karena suhu pemanasan global, kebakaran hutan dan lahan yang menjadi acara musiman, dan pemilihan calon walikota yang saling jatuh-menjatuhkan untuk mendapatkan takhta kursi kepemimpinan.
Udara di sini juga begitu bersih. Air sungai bening hingga tak jarang anak-anak mandi dan ibu-ibu mencuci pakaian di situ. Dan alas berupa hutan pinus masih perawan. Sawah dan ladang bertingkat-tingkat seperti anak tangga menuju petala langit. Jadi jangan harap di sini menemukan polusi. Di kota? Ah. Di setiap sudut kota mall-mall berdiri di atas tanah bekas sebuah hutan atau rumah-rumah kuno bersejarah. Hotel-hotel, apartemen, homestay, perumahan elit dan ruko-ruko berdiri di atas sawah yang dijual oleh petani kepada para developer karena harga gabah kering terjun bebas dan pupuk melambung naik.
Pabrik-pabrik modern menjamur di bantaran kali sehingga limbahnya menodai air dan mencemari lingkungan di sekitarnya. Ikan-ikan banyak yang mati sehingga dampaknya merugikan petani ikan sungai. Masyarakat kota juga gengsi memakai sepeda onthel. Mereka lebih suka naik sepeda motor dan mobil agar tidak disebut kampungan. Ndeso. Akibatnya jalanan menjadi macet. Kentut yang keluar dari bokong kendaraan bermotor juga meracuni kehidupan. Lapisan ozon yang selama ini melindungi manusia dan makhluk hidup yang menghuni planet bumi makin tipis karena efek rumah kaca sehingga menyebabkan pemanasan global.
Pabrikan motor Jepang makin rajin mengirimkan produksi mereka ke Indonesia. Padahal besi, timah dan plastik semuanya berasal di impor dari Indonesia. Kemudian barang jadinya dibuang hampir sembilan puluh persen kemari. Sudah 71 tahun negara ini terbebas dari penjajahan, kebodohan, dan kemiskinan! Tapi sampai detik ini masih belum mampu memproduksi motor dan mobil dari bahan-bahan mentah yang terkubur di lahannya sendiri.
Orang kota memang ingin serba cepat. Bukan urusan kerja saja. Urusan akhiratpun harus cepat. Shalat cepat tanpa tuma’ninah sehingga bermunculan para penda’i yang entah dari mana asalnya memenuhi lembaga dakwah. Kalau dulu mengirim surat atau memo via kantor pos yang ribet. Tapi sekarang mengirim surat bisa via sms, email, What’sApp, telegram, facebook dan twitter. Serba mudah dan canggih. Namun secanggih-canggihnya otak manusia dalam membuat teknologi, masih ada kekurangannya. Masih ada batasannya. Sehingga timbul suatu ketidakpuasan. Akhirnya, tiap tahun bermunculan alat-alat komunikasi seperti ponsel android, laptop dan Ipad yang semakin hari semakin dilengkapi dengan kecanggihan.
Namun meski begitu tetaplah tidak sempurna. Kesempurnaan akan diraih bila manusia memahami hakikat manusia itu sendiri. Kesempurnaan akan mengenal diri bahwa diri ini sangatlah kecil seperti titik yang mengikuti arus zaman yang bergerak cepat dan mengenal Tuhan bahwa tidak ada yang lebih luas ilmunya kecuali ilmunya Tuhan. Jadi dengan alat komunikasi yang lebih canggih itu mereka tidak perlu menunggu surat sampai dalam jangka waktu tiga hari namun satu detik. Dunia seolah seperti dilipat. Dulu kalau mengetik naskah memakai mesin tik, sekarang sangat mudah dengan menggunakan laptop yang bisa dibawa kemana-mana.
—
Aku? Aku yang biasa dipanggil Toha oleh orang-orang di sekitar rumahku. Aku tetap enjoy dan istiqamah mengetik naskah dengan menggunakan mesin tik tua peninggalan sekaligus kado dari ibu saat aku lolos ujian masuk kampus di Jogja dulu. Mesin tua itu pula yang menemani hariku menulis skripsi saat kuliah. Dan sampai saat ini aku masih menggunakannya untuk mengetik naskah-naskah cerpen yang kukirim ke surat kabar yang berada di Jakarta dan majalah sastra yang melambungkan namaku. Tapi meski aku dikenal sebagai cerpenis, aku tetaplah Toha, pemuda kampung yang bodoh. Itu hanyalah pekerjaanku untuk memperoleh uang.
Entah betapa aku sangat sayang pada mesin tik tua itu, serasa istri pertama. Padahal anak-anakku telah menyuruh untuk menjualnya saja pada pedagang di pasar loak. Lalu mereka membelikan sebuah laptop yang tipis dan bermerk untukku. Tapi aku tidak mau menjualnya. Sebab mesin tik tua itu menyimpan kenangan yang mendalam bagiku. Mesin tik tua itu saksi sejarahku. Mesin tik tua itu pemberian ibu disaat-saat susah dulu. Sebab beliau harus membanting tulang dengan menjual kain batik milik juragannya yang uangnya dikumpulkan untuk dibelikan mesin tik itu.
Dan mesin tik itu pula yang merubah hidupku hingga aku bukan lagi Toha yang dulu, namun aku Toha yang tulisannya mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak menyentuh rakyat, memengaruhi cara berpikir mahasiswa, menjadi bahan riset untuk skripsi, tesis dan disertasi, dan menggaung hingga ke negeri yang bernama Eropa dan Amerika laksana auman seekor macan Asia.
Serta mesin tik tua itu pula aku, Toha meraih hadiah sastra di bidang kesusastraan dan bisa berkeliling dunia. Dan dengan mesin tik tua itu aku bisa menaklukkan hati seorang perempuan yang aku cintai dengan sebuah tulisan yang melambungkan hatinya ke angkasa. Ah kalau bukan karena jasa ibuku maka mesin tik tua itu, tulisan, dan hadiah sastra itu mustahil kudapatkan. Tetapi kalian tidak tahu sejarah hidupku yang penuh liku. Dan kalian berpikir aku langsung menjadi orang tanpa harus memakan asam-garam kehidupan. Tidak. Baiklah, dengarkan baik-baik ceritaku.
—
“Grooookk!!!”. Perutku keroncongan. “Grooookk!!! Grooookk!!!”. Cacing-cacing di dalam perut melakukan aksi demo menuntut makan, bak aksi mahasiswa yang lagi mendemo Habib Brizik bim Salabim agar membubarkan ormasnya yang kelewatan anarkis, hipokrit dan diskriminatif. Sebab sudah tiga hari ini perutku belum kuisi dengan sebutir nasipun. Lebih baik aku yang kelaparan daripada istri dan anak-anakku. Sebagai seorang kepala rumah tangga aku lebih banyak mengalah. Sebab aku bisa menahan rasa lapar.
Tapi aku tidak tahan bila melihat keluargaku yang kelaparan. Aku tidak tahan bila anak-anakku merengek karena lapar. Dan aku tidak ingin istriku mengomel karena tidak ada beras yang akan ditanak. Bagaimana aku bisa memberinya uang sementara honor tulisanku dari koran belum dicairkan, dan uang royalti dari penerbit masih menunggu dua minggu lagi. Padahal sudah sebulan lalu aku menandatangani surat kontrak pencetakan bukuku yang pertama kali terbit.
Selain prosedur pencairan royalti yang berbelit-belit, monoton, dan bertele-tele layaknya sebuah telenovela, penerbit juga meminta tema naskah yang aneh-aneh. Bahasanya juga diminta yang aneh. Bahasa Melayu tidak lagi diminati hingga lenyap seperti asap rokok yang ditelan hembusan angin.
Novel sekarang bahasanya aneh-aneh dan banyak meniru bahasa orang-orang Jakarta. Bahasa Inggris, dan bahasa asing yang dicampur aduk dengan bahasa Indonesia. Tema humanisme dan religiuisme sudah tidak menarik para pembaca muda. Mereka lebih suka kepada tema-tema sains, teknologi. Sungguh ini merupakan tema yang samasekali bukan masaku untuk ukuran zaman kini. Nah, sementara aku lebih memilih tema perjuangan hidup dan sosial masyarakat di desa.
Berkali-kali aku mengirimkan naskahku pada penerbit bertemakan politik dan sosial, ditolak! Sebab naskahku tidak memenuhi standard pasar. Aku mulai merasa bahwa penerbit dan penulis bukan menghasilkan karya untuk pengembangan dan pembaharuan sastra. Tapi mereka lebih memikirkan bisnis. Keuntungan.
Ada segelintir penulis seangkatan denganku yang kini masih eksis menulis. Mereka menulis naskah baik itu cerpen atau puisi atau novel yang bahasanya begitu sastrawi. Namun ketika dikirim ke penerbit, ternyata novel mereka ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan selera pasar. Ada pula novel-novel lama karangan sastrawan zaman keemasan dulu yang diterbitkan, namun buku-buku mereka hanya menjadi pelengkap penderita disamping novel-novel karangan novelis masa kini.
Untuk menyiasati hal itu dan agar novelnya dapat diterbitkan, maka mau tidak mau mereka harus merangkap menjadi penulis, penerbit, pemodal dan penjual seperti yang dilakukan oleh teman-teman di Palembang dan Batam. Mereka betul-betul sastrawan sejati yang tahan banting. Mereka rela menggelontorkan uang pribadi demi melestarikan karya-karya sastra berbahasa Melayu agar tidak hilang tertelan di bumi sendiri.
Sungguh miris memang jika kita tahu nasib para penulis di negeri ini. Dan meskipun begitu, mereka masih aktif menghasilkan sebuah karya berbeda denganku. Meskipub novelku ada yang akan diterbitkan oleh salah satu penerbit yang paling berani mencetak novel-novel genre jadul seperti novelku, mereka hanya bersedia membayar 10 % dari hasil penjualan buku. Bila bukuku seharga Rp. 40.000,- dan dicetak empat ribu eksemplar, maka setelah dipotong ini-itu, maka aku hanya mendapatkan royalti 16 juta rupiah. Dan itupun tidak dibayar langsung melainkan dicicil seperti membayar kredit sepeda motor. Aku hanya mendapat 2 juta dimuka. Sisanya dibayar kemudian.
Mungkin bagi yang tidak mempunyai kepandaian menulis, mereka menganggapku sudah enak. Bah. Kata siapa? Bila tidak punya istri dan anak rewel tidaklah mengapa. Tapi, apakah aku tega membiarkan istri dan anakku terus mendapat subsidi dari mertuaku? Apakah aku akan diam saja dan ikut menikmati makanan yang diberi oleh mertuaku? Tentu saja tidak. Mau disurukkan kemana mukaku? Sama saja halnya aku tidak punya rasa malu. Lha wong aku menikahi putri mereka dulu bukan untuk disengsarakan seperti ini. tapi komitmenku adalah membahagiakan dan mencukupi nafkah untuknya.
Istriku sejak dulu mengatakan kepadaku akan menerima dan mendukung pekerjaanku. Dia berjanji akan selalu di belakang dan menkritisi apa yang aku tulis. Termasuk nafkah yang diterimanya dariku. Ia tidak memandang nominalnya. Duh, luruh hatiku ketika mendengar ucapannya saat itu. Ia selalu membelaku bila ayah dan ibunya mencelaku. Kata mertuaku aku telah membuang-buang waktu dan menghambur-hamburkan kertas untuk sebuah pekerjaan yang tidak ada hasilnya. Bahkan ia menyindir membanding-bandingkanku dengan anak bungsunya yang bekerja sebagai PNS di salah satu kantor dinas di kabupaten.
“Akhirnya usaha Bapak tidak sia-sia dalam menyekolahkan Arif hingga ke Perguruan Tinggi,” katanya pada istriku. Istriku merupakan anak pertama. Adiknya yang nomor dua kini bekerja di pabrik stainless stell di Klaten. “Kalau dulu kamu tidak keburu nikah sama si Toha, mungkin kini kamu sudah jadi PNS juga.”
Bagi mertuaku dan mungkin kebanyakan orang, PNS merupakan sebuah pekerjaan yang paling tinggi dan terhormat. Dihargai orang karena berpakaian dinas, memakai sepatu kulit, dan memakai sepeda motor plat merah. Bila dibanding aku, gaji tak jelas, dan pekerjaan tak kasat mata. Hanya orang-orang yang sepaham saja yang tahu. Dan menurut mereka berkhayal dan berpuisi merupakan kegilaan yang jaya.
Entah ia tidak tahu atau tidak mau tahu, bahwa pekerjaan PNS itu berarti menjadi kacungnya pemerintah. Sampai kapanpun bila punya motornya, motor pemerintah. Punya rumah. rumah pemerintah. Hidup diatur-atur pemerintah. Rezeki diatur pemerintah. Kalau mau dapat lebih, harus berani korupsi. Berani manipulasi. Berani terima suap. Berani masuk penjara kalau ketahuan. Bahkan harus berani masuk neraka kalau sudah mati!
Jabatan tidak naik begitu saja, harus menunggu promosi dari atasan. Kalau tidak, ya… begitu-begitu saja selama puluhan tahun jadi PNS. Akibatnya, mau membeli apapun harus mengutang. Ini fakta! Buktinya, Arif, yang selalu dibangga-banggakan oleh mertuaku itupun pernah mengutang pada istriku saat royalti bukuku turun.
Ia bilang ingin membayar tagihan kredit laptopnya. Dan kebetulan gajinya tidak turun selama hampir tiga bulan karena uangnya ditahan oleh pemerintah propinsi, akibat adanya sengkarut dalam proses pembahasan APBD dengan anggota dewan. Ia merengek-rengek pada istriku agar dipinjami uang. Padahal istriku akan memakainya untuk melunasi uang SPP dan biaya semester kedua anakku yang mau naik kelas. Dan sisanya untuk membeli beras. Untunglah, saat itu aku dapat tambahan pemasukan lain dari uang honor cerpen dari koran mingguan dan majalah sastra. Sehingga bisa menolong adik iparku itu.
—
Aku baru saja pulang dari warungnya Bu Ti untuk sekedar minum kopi dan membeli pisang goreng. Setibanya di rumah entah kenapa istriku tersenyum. Sambutannya juga hangat. “Ada apa, Dik?” tanyaku pada istriku, Maemunah. “Mas tahu gak?” ia malah balik tanya. “Kalau ndak dikasih tahu, yaa …. ndak tahu.” Jawabku mengguyon. “Tadi ada Mbak Ajeng datang ke sini.” Katanya dengan muka cerah. “Mbak Ajeng? Mbak Ajeng dari penerbit yang rumahnya di perumahan dekat dengan lapangan bola itu?” tanyaku menegaskan. Istriku mengangguk seraya mengulum senyum. “Ada kabar apa dari dia?” tanyaku lagi. “Dia nitip ini!” Istriku mengeluarkan selembar amplop tebal. “Apa?” Aku melihat ke arah amplop warna cokelat yang dipegang oleh tangan istriku. “Royalti.” “Berapa?” “Lima juta,” istriku tampak semakin senang. “Alhamdulillah, lumayanlah buat beli beras dua puluh kilo, bayar SPP anak-anak dan bayar ini-itu,” kataku.
Aku menerima berapapun rizki yang diberikan oleh Allah. Karena manusia memang harus menerima dengan ikhlas apapun yang diberi-Nya. Dan itulah janji-Nya yang akan menolong hamba-Nya yang menerima dengan sabar dan ikhlas, menerima apa adanya. Terkadang banyak manusia mengatakan seperti itu. Namun ketika mereka sedang diuji, hatinya melenceng dari apa yang diucapkan oleh mulutnya. Kalau Tuhan pasti tidak pernah ingkar janji. Semua ditepati. Beda dengan manusia yang selalu ingkar janji tiada habisnya.
“Akhirnya musim paceklik di keluarga kita berlalu, Dik.” “Iya, Mas. Nanti kita akan sambangi ibu. Sebab tanpa usaha beliau yang menghadiahkan mesin tik, mustahil tulisan Mas akan terbit,” ujar istriku. Memang dia sangat mencintai ibuku. Tidak seperti kebanyakan istri teman-temanku yang hanya mencintai suaminya, sementara ibu suami mereka disia-siakan layaknya seorang madu yang merebut suaminya.
Tiba-tiba … “Lagi ada apa kok kelihatan senang banget?” Tanya bapak mertuaku masuk ke dalam rumah sambil melepas asap rokok klobot yang dihujamkannya ke mulutnya. Asap tebal membenamkan mukanya untuk sesaat. Lalu asap itu menghilang ke tempat asalnya.. “Mas Toha dapat uang royalti dari penerbit, Pak.” Sahut istriku dengan muka berseri-seri. “Bapak mau saya belikan apa?” “Ndak. Ndak usah. Bapak ndak usah dibelikan apa-apa,” timpalnya dengan nada sewot. “Coba suamimu itu disuruh cari kerja yang lain. Jangan di depan mesin tik thok! Kerja bangunan, tha? Buruh pabrik di Klaten, tha? Nguli di pasar Niaga sama China, tha? Jangan ngetik terus berhari-hari dan berjam-jam!”
Aku diam saja mendengar omelan bapak mertuaku. Aku tahu bahwa aku memang menjadi khalifah di muka bumi ini untuk dihina. Aku diciptakan dari alat reproduksi yang hina. Aku dibuat dari dua alat keluarnya kencing. Tempat keluarnya kotoran. Dan aku ada karena bertemunya dua air kotor. Lalu aku dikeluarkan dari sebuah lobang tempat keluarnya kencing. Aku hanyalah pipis. Tempatnya yang hina. Dan aku mau menyombongkan diri. Ini Aku!. Cuih!. Aku penulis hebat!. Kencing!. Pipis!. Dan aku tahu yang menghinaku bukan bapak mertuaku. Sebab manusia tua di depanku kini bukanlah asli bapak mertuaku. Yang ada berdiri di hadapanku kini hanyalah bangkai mati. Jasad mati.
Coba bayangkan, apakah jasad tanpa ruh akan hidup? Lalu ruh dari mana asalnya? Ruh Tuhan. Jadi aku tahu bahwa yang menghinaku bukan bapak mertuaku melainkan Tuhan. Jika aku marah berarti aku marah kepada Tuhan. Jika aku melawan berarti aku melawan Tuhan. Semua makhluk hidup yang ada di alam ini ada ruh Tuhan. Semuanya berasal dari Tuhan. Dan tanpa ruh Tuhan, tidak ada kehidupan. Jadi apa yang aku punya? Tidak ada. Jika tidak memiliki apa-apa, apa yang patut aku sombongkan? Apa yang membuatku angkuh dan congkak? Aku hanyalah titik kecil. Tanpa titik yang lebih besar aku tidak akan ada.
“Inggih, pak. Saya tahu,” jawabku. Lalu aku melanjutkan dalam hatiku, “Ketika dipuji senang, saat keinginan terpenuhi puas. Ketika difitnah marah, saat mengalami kegagalan mengeluh. Ya, Allah, ini Diriku apa Hawa Nafsuku? Semoga Engkau berikan kemudahan untuk membedakannya, agar hamba senantiasa ber-Tuhan Kepada-Mu, bukan pada hawa nafsuku.” “Iyo. Ngono. Nggolek kerjo sing laen. Ojo nulis thok ben anak-bojomu iso mangan,” sahutnya dengan penuh kemenangan. “Duh, Gusti,” ucapku kembali membatin sembari tersenyum. “Aku tahu bahwa yang menghinaku bukan bapak mertuaku. Tapi Engkau, Ya, Allah. Engkau sedang menguji hamba-Mu.”
Istriku malah yang menyahut, “Pak, Mas Toha itu menulis cerita yang menghasilkan uang!” bela istriku dengan nada meninggi. Aku diam saja. “Bapak kan tidak pernah tanya tulisan apa yang ditulis oleh Mas Toha. Bapak hanya berprasangka buruk lalu menghukumi Mas Toha dengan mengatakan bahwa tulisan Mas Toha tidak ada gunanya. Bapak juga tidak pernah tahu bahwa tulisan Mas Toha sering dimuat di koran. Di majalah. Karena Bapak tidak pernah membeli atau membaca koran apalagi majalah!. Dan Bapak tidak pernah mau tahu soal tulisan yang Mas Toha tulis!” “Dinasihati sama orang tua, kok malah melawan!” Bapak mertuaku merasa jengkel dan kesal pada istriku. Ia menggebrak meja yang samasekali tidak punya salah apa-apa. Kucing yang duduk di tanah pun melihat bapak mertuaku dengan tatapan mata tajam. Lalu ia pergi tanpa permisi. Dan pada saat yang sama ibu mertuaku datang sambil membawa sebuah rantang berisi bubur kacang ijo.
“Lho, kok Bapak sudah mau pulang?” Tanya ibu mertuaku melihat suaminya pulang dengan muka cemberut dan berjalan dengan tergesa-gesa persis kucing betina hendak beranak. Suaminya tidak menjawab pertanyaan istrinya. Merasa tidak diperhatikan, ibu mertua berjalan ke dalam rumah. Sementara istriku menitikkan airmata. Aku tahu bahwa ia menangis bukan karena terlanjur melawan pada bapaknya sendiri. Ia menangis bukan karena telah berbuat durhaka pada orangtua. Tapi ia menangisi kejahilan orangtuanya. Ia ingin membela suaminya. Ayah dari anak-anaknya. Demi bakti kepada suami sebagaimana yang diperintahkan oleh agama. “Ridho Tuhan tergantung ridho suami”.
Hmmm. Aku sering betanya-tanya sendiri. Mengapa ‘orang baik’ sering ‘tersakiti?’ Ada temanku yang menjawab, Karena ‘orang baik’ selalu mendahulukan orang lain dalam ‘ruang kebahagiaannya’. Dia tidak menyediakan untuk dirinya sendiri, kecuali hanya sedikit.
Beberapa bulan kemudian …. “Kriiing!!!” suara dering telpon berbunyi. “Kriiing!!!” Segera kuangkat dan kutanya si penelepon, “Halo!?” “Maaf, benarkah ini Pak Ahmad?” si penelepon yang berada di ujung telepon malah balik tanya. “Benar. Maaf, ini siapa?” aku balas bertanya lagi. “Oh, saya Ronny, pak. Pimpred penerbit GPU.” “Oh, Mas Ronny!. Ada apa ya, Mas?” “Begini, pak. Naskah kumpulan cerpen Anda yang selama ini terbit di koran Pedoman yang kami beri judul “Senyuman Kucing yang Mengumpat”, “Nasib Paimin” dan “Lintang di Pulau Angsa” best seller!” terdengar kabar gembira dari kalimat yang dikatakan oleh Ronny, dan seketika menyeruak ke dalam hatiku. “Betulkah?!” aku setengah tak percaya. Sebab mengumpulkan cerpen yang terbit dari bulan ke bulan di koran tidaklah mudah. Menulisnya pun tidak instan. “Jadi bagaimana dengan royaltinya?” “Iya, pak. Iya, pak. Akan kami buat MoU lagi,” katanya dengan nada terburu-buru.
Ada tambahan dari penerbit lain. Pundi-pundi pendapatanku meningkat. Paling tidak uang untuk membeli beras lebih dari cukup. Anak-anak tidak lagi merengek untuk membayar biaya sekolah mereka. Tagihan listrik untuk bulan depan tidak perlu dipusingkan lagi. Begitu juga dengan tagihan PDAM. Dan uang saldo di bank terisi. Ya, untuk jaga-jaga bila ada keperluan mendadak.
Sore harinya aku mengajak istri dan anak-anakku berbelanja ke supermarket yang menurut orang-orang di kampungku adalah sebuah mall seperti di kota-kota besar. Maklum, di kabupaten aku tinggal belum ada gedung tinggi pencakar langit. Gedung bioskopun tidak ada. Dulu pernah ada, namun satu demi satu gulung tikar lantaran yang menonton tidak ada, kalah total oleh perkembangan teknologi. Sehingga kini gedungnya menjadi sarangnya tikus. Bangunannya pun ditumbuhi tumbuhan semak belukar.
Bahkan orang di sekitar bekas bangunan bioskop pun tidak tahu atau sudah melupakan kalau di sana pernah ada gedung bioskop. Salah satu tempat jalan-jalan hanyalah sebuah jalan panjang yang di kanan-kirinya ditumbuhi toko-toko baju dan kedai pedagang kaki lima yang menjual kaset vcd bajakan. Tiap kali lewat, maka pejalan kaki akan disuguhi lagu-lagu dangdut koplo yang memang jadi primadona masyarakat kampung.
Di supermarket kami membeli bahan-bahan sembako. Beras 40 kilo, gula, minyak goreng, mie instan, sabun mandi, sabun cuci, susu, wafer kaleng, kopi, dan alat-alat dapur. Juga beberapa potong kaos oblong, kemeja, celana dan jilbab serta sarung buat bapak mertuaku. Istriku memilihkan sendiri jilbab buat ibunya sendiri dan ibuku.
Sepulang dari supermarket, kulihat wajah anak-anak dan istriku secerah mentari pagi. Tak kulihat mendung dan hujan di wajah mereka yang sering kulihat dulu. Mereka tampak senang sekali karena musim dingin tidak lagi menyelubungi rumah tanggaku. Sebab kini berganti dengan musim semi dimana bunga-bunga kebahagiaan bermekaran. Langit tidak lagi kelam karena sinar rembulan menerangi malam. Merekalah rembulan yang menerangi malam-malamku. Tawa merekalah yang menerangi semangatku di dalam menghasilkan tulisan-tulisan selanjutnya bersama mesin tik tua hadiah dari ibuku.
Itulah kuatnya sebuah ikatan dalam keluarga. Tanpa keluarga maka yang kumiliki tidak ada apa-apanya. Maka, ketika aku menyelesaikan naskah cerpen terbaruku kuberi judul, “You Are My Moon”. Rembulan yang menerangi rumah ini ketika sayap-sayap hitam datang membawa aroma kematian untuk menghancurkan pondasi kekuatan hubungan kita. Tanpa kalian, maka aku tidak akan kuat melawan arus yang terus berusaha merontokkan pondasi rumah tangga kita.
Selepas menyusun lembaran-lembaran kertas tulisanku, aku mengistirahatkan mata. Kemudian dalam diam hatiku bergumam, “Dunia! Begitu piawainya engkau menjeratku. Sampai rela diri ini melepas nilai kebenaran yang sebenar-benarnya demi mendapatkanmu. Agar diri ini mendapat ‘pengakuan’ di mata sesama.”
Tak terasa setetes airmata jatuh di pipi.[]
Kota Pengasingan, Maret 2017 Author/ Novelis.
Cerpen Karangan: Khairul A.El Maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com