“Dek…” Ayah menggoyang-goyangkan kakiku dengan pelan. “Dek… ayo bangun, udah pagi…!!!” “Masih pagi, Yah…” Mataku memohon untuk tetap dipejamkan. “Baru hari kedua masuk SMP. Kok udah nggak semangat, Dek?” “Iya, iya… Lima menit lagi…” Aku menutup wajahku dengan selimut, lalu membalikkan badan membelakangi Ayah. “Yakin nggak mau bangun? Ayah punya hadiah loh buat kamu…” Hadiah…?
Aku membuka selimut yang menutupi wajahku, lalu menatap Ayah dengan mata menyipit. “Hadiah apa?” Ayah tersenyum dengan sangat lebar sampai muncul garis-garis di sudut matanya. “Dengar hadiah baru tertarik ya?” “Ah… bohong ternyata…” Aku kembali membungkus diriku dengan selimut karena kecewa. “Eh, Ayah serius!” Ayah menarik selimutku. “Ayo, duduk dulu!” Dengan malas, aku memaksa diriku untuk duduk. “Nah, sekarang, tutup mata kamu.” “Tutup mata? Maksud Ayah balik tidur lagi?” tanyaku sambil menguap. Ayah tertawa. “Ayo, ikuti saja.” “Baiklah…” Aku memejamkan mata.
Terdengar suara langkah kaki menjauh dan pintu kamar dibuka, lalu kembali ditutup. Aku sempat tergoda untuk membuka mata, tapi aku tidak ingin mengecewakan Ayah. Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu dibuka dan napas terengah-engah. “Nah… sekarang… buka mata!” Di hadapanku, sudah ada sebuah bungkusan kado berwarna biru muda dengan pita merah muda di atasnya. Melihat bentuknya, aku langsung melotot. “Ini… ini… nggak mungkin itu kan…?” Masih ngos-ngosan, Ayah hanya menatapku sambil tersenyum. “Aku boleh buka…???” Ayah mengangguk.
Aku merobek bungkusan kado itu sampai aku memandang jawaban dari doaku selama enam bulan ini: HP BARU!!! Aku langsung loncat ke pelukan Ayah seperti anak kecil. “AYAH!!! TERIMA KASIH!!! AYAH MEMANG TERBAIK!!! TERBAIK BANGET, NGET, NGET, NGET!!!” Ayah mengelus-elus rambutku. “Iya, iya. Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Dek…” “SUKA BANGET!!! INI HARI TERBAIK DALAM HIDUPKU!!! AKU NGGAK SABAR CERITA SAMA LEILA NANTI. DIA PASTI KAGET!” Ayah tertawa, lalu berkata, “Ayah senang kalau kamu suka. Tapi, main HP-nya nanti aja ya habis pulang sekolah. Sekarang kamu beres-beres.” “Wah? Kok beres-beres sekarang sih, Yah? Kan baru jam setengah enam!?” “Soalnya habis antar kamu, Ayah masih mau pergi ke makam untuk ganti bunga.” Senyuman Ayah langsung memudar. Mata Ayah memancarkan kesedihan yang hanya muncul setiap kali Ayah sedang teringat Kakak.
Kakak meninggal lima tahun yang lalu setelah menghadapi perjuangan berat melawan kanker payudara. Ayah terus berpikir bahwa Kakak seharusnya bisa sembuh apabila saat itu Ayah bekerja lebih keras dan memiliki banyak uang sehingga Kakak bisa mendapatkan pengobatan yang paling maksimal. Padahal, dokter sudah menjelaskan bahwa penyakit ini memang seharusnya bisa diatasi jika sudah terdeteksi ketika masih stadium awal, tetapi sayangnya, Kakak terlambat menyadari gejalanya.
Aku selalu berusaha meyakinkan Ayah bahwa semua ini bukan salahnya. Namun, Ayah tetap saja tidak percaya. Ayah terus menyalahkan diri dengan berpikir bahwa ia seharusnya bisa mencegah penyakit ini, terutama karena Ibu juga meninggal karena kanker payudara ketika aku masih kecil. Sebenarnya, aku bisa sedikit memahami perasaan Ayah. Pertama-tama, Ayah merasa dirinya gagal sebagai seorang suami. Setelah kepergian Kakak, Ayah merasa dirinya gagal sebagai seorang ayah. Bagaimana pun juga, kalah dalam pertandingan yang sama dua kali pasti sangat menyakitkan.
Selama beberapa bulan setelah kematian Kakak, Ayah mengalami masa-masa terberat dalam hidupnya. Ayah sering sekali mengurung diri di kamar Kakak dan baru keluar beberapa jam kemudian dengan mata yang sembab. Aku masih ingat aku sering mondar-mandir di depan kamar Ayah sambil mempertimbangkan apakah aku harus masuk. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang benar untuk dilakukan. Pada akhirnya, aku tidak pernah masuk karena aku pikir Ayah sedang ingin sendirian. Bodohnya aku.
Meskipun begitu, setiap kali keluar dari kamar, Ayah selalu berusaha memasang senyuman pada wajahnya. Jadi, aku juga pura-pura tidak menyadari mata Ayah yang sembab dan berusaha untuk mendistraksi Ayah. Setiap makan malam, aku selalu bercerita panjang lebar tentang teman-teman di sekolah dengan harapan Ayah tidak teringat Kakak. Sepertinya usahaku ini cukup berhasil karena setelah beberapa bulan, Ayah mulai kembali bersemangat.
Setahun lalu, Ayah memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Dengan modal yang berasal dari pinjaman, Ayah mulai membuka toko online. Meskipun saudara-saudara Ayah menentang rencana ini, Ayah tetap teguh pada pendiriannya. Ayah berkata kepadaku kalau langkah ini ia ambil sebagai gebrakan untuk mengubah nasib dan menjadi bos atas diri sendiri. Ayah berkata kalau ia sudah lelah hidup dengan standar yang rendah. Ayah optimis bisa menjadi pengusaha sukses dan terbebas dari hambatan ekonomi. Sejujurnya, aku tidak tahu apakah keputusan Ayah untuk keluar dari pekerjaannya adalah keputusan yang tepat, tetapi aku tidak pernah berpikir untuk tidak mendukungnya.
Perjalanan bisnis toko online Ayah penuh lika-liku. Pada bulan pertama, Ayah bisa saja tidak menerima satu pesanan pun dalam satu minggu. Hal ini sempat membuat Ayah stres dan tidak mau makan dengan alasan sudah kenyang. Namun, Ayah tidak menyerah. Akhir-akhir ini, usaha Ayah tiba-tiba meningkat drastis. Aku menyadari hal ini karena dua bulan belakangan, Ayah sering memberiku hadiah padahal aku sedang tidak berulang tahun. Ayah juga sering mengajakku pergi makan ke restoran yang kelihatan cukup mahal. Aku sendiri tidak tahu bagaimana Ayah bisa mengurus semua ini sendirian. Setiap kali aku bertanya apakah Ayah ingin dibantu, Ayah selalu menolak dan mengatakan kalau ia tidak mau merepotkan diriku.
Perubahan ini membuat saudara-saudara Ayah tercengang dan terus bertanya kepada Ayah mengenai kunci kesuksesannya. Jawaban Ayah selalu sama. “Aku hanya ingin membahagiakan anakku.” Mengingat semua ini, aku jadi emosional.
“Ayah…” Ayah yang sedang berjalan keluar kamar menoleh ke arahku. “Ya?” Aku memeluk Ayah dari belakang dengan sangat erat. “Terima kasih ya, Yah…” “Buat apa?” “Buat… semuanya…” Suaraku agak bergetar. Ayah menghadapkan diriku untuk menatapnya, lalu mengelus kepalaku sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
Ketika sampai di sekolah, aku langsung berlari ke kelas karena sudah tidak sabar ingin bercerita kepada Leila tentang HP baruku. Meskipun hari masih pagi, aku yakin Leila sudah ada di dalam kelas karena ia selalu datang pagi supaya bisa membaca buku dengan tenang. Tapi, saat sampai di kelas, aku melihat hal yang janggal. Tidak seperti biasanya, hari ini Leila sedang tidur dengan melipat tangan di atas meja sebagai bantalan kepala.
Saat berjalan mendekat, aku baru sadar pundak Leila sedikit bergetar. “La… ada apa…?” Leila mengangkat kepalanya. Wajahnya sudah basah dengan air mata. “Cha… Aku… habis… di… dimarahin sama Papa…” “Dimarahi karena apa…?” “Soalnya aku habis jadi korban scam, Cha…” “Kok bisa…?” “Iya… Kemarin sore habis pulang sekolah, ada yang telepon aku… katanya aku dapat kuota internet yang akan ditransfer ke akun aku… tapi aku diminta untuk kasih dia beberapa informasi yang ternyata seharusnya nggak aku kasih, termasuk kode OTP…” “Ya ampun… Terus gimana?” “Jadinya, malah saldo dompet digital aku yang disedot…”
Akhir-akhir ini, scam memang sering terjadi. Aku sudah sering mendengar tentang kerugian yang dialami oleh orang-orang yang menjadi korban scam. Tidak kusangka, sekarang sahabatku sendiri yang menjadi korbannya. Kesedihan Leila membuatku merasa marah. “Aku nggak habis pikir… Kenapa ya ada orang sejahat itu…? Mereka memanfaatkan kepercayaan antar sesama manusia sebagai senjata untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Benar-benar keterlaluan…”
“Iya, Cha… Aku dari kemarin coba hibur diri dengan mikir kalau setidaknya aku lagi bantu orang susah… Orang-orang yang kerja kayak gitu mungkin udah nggak punya cara lain untuk nafkahin keluarga… makanya tega ngelakuin hal kayak gini…” ucap Leila dengan lemas. “Ah, itu hanya alasan orang-orang lemah yang memang pada dasarnya malas, jahat, dan nggak punya hati nurani!” sanggahku. “Ayah aku juga dulu pernah kesulitan ekonomi, tapi Ayah bisa kok jadi sukses sekarang! Karena apa? Karena Ayah pekerja keras! Walaupun susah, Ayah nggak pernah punya niat ngerugiin orang lain!” “Iya, Cha… Tapi sayangnya, nggak semua orang sebaik Ayah kamu…” Tangis Leila pecah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Makanya… Papa… Papa… marah banget sama aku… Katanya… aku… bodoh banget… Tadi pagi, Papa masih marah… Papa bilang kalau dia… dia malu banget punya anak yang bodoh kayak aku…” Aku mengelus-elus punggung Leila, berusaha menenangkannya. “Aku yakin Papa kamu nggak bermaksud untuk ngomong gitu kok… Mungkin lagi emosi aja…” Leila menatapku dengan matanya yang merah dan sembab. “Nggak, Cha… Aku yakin kalau Papa aku serius sama ucapannya. Kata Papa, aku nggak punya otak… anak bodoh…” Bibirnya bergetar. “Anak sial…”
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Leila saat ini. Ia sudah cukup merasa buruk atas kesalahannya. Mengapa ayahnya masih tega melukai anaknya sendiri dengan mengeluarkan kata-kata seperti itu? Seharusnya ayahnya berefleksi! Apa yang membuat anaknya berhasil ditipu? Jangan-jangan, ayahnya yang tidak pernah memberikan edukasi mengenai hal ini kepada anaknya!
Seandainya aku yang berada di posisi Leila, Ayah tidak mungkin mengeluarkan kata-kata seperti itu. Tiba-tiba, perasaan ragu menyelimutiku. Ayah tidak mungkin seperti itu kan…? Atau jangan-jangan… aku yang terlalu optimis? Jangan-jangan, ucapan seperti itu wajar untuk dikeluarkan oleh seorang ayah yang sedang marah kepada anaknya… Jangan-jangan, seorang ayah memang bisa saja menganggap anaknya sebagai pembawa sial… Pikiranku terusik. Hatiku tidak tenang. Aku tidak sabar untuk mendengar pandangan Ayah mengenai hal ini.
Setelah pulang sekolah, aku izin untuk tidak mengikuti kegiatan kerja kelompok sehingga bisa pulang lebih cepat. Tadi pagi, aku memang meminta Ayah untuk menjemputku pukul lima sore, sementara sekarang baru pukul tiga sore. Tapi, aku tetap mencoba menelepon Ayah dengan harapan Ayah bisa menjemputku sekarang karena aku sudah tidak sabar untuk bertemu.
Setelah menelepon tiga kali dan tidak diangkat, aku menyerah. Akhirnya, aku pulang dengan naik ojek. Ketika sampai di rumah, ruang tamu kosong. Padahal biasanya sudah ada banyak paket-paket yang berserakan di lantai. Pemandangan ini membuatku bingung. Mengapa Ayah tidak membuka tokonya hari ini?
Aku berjalan menuju kamar Ayah, tapi langkahku terhenti ketika melihat lampu kamar Kakak menyala. Aku terpaku di tempat. Jelas Ayah yang ada di dalam sana. Padahal, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah melihat Ayah masuk ke dalam kamar Kakak. Apakah Ayah sedang bersedih karena kembali teringat Kakak setelah pulang dari makam tadi pagi…?
Aku berdiri di depan pintu kamar Kakak. Dulu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti. Tapi sekarang aku tahu… Ayah pasti akan merasa lebih baik jika ada yang menemaninya…
Aku memegang gagang pintu dan mendorongnya ke bawah. Pintu terbuka perlahan. Samar-samar, aku bisa mendengar suara Ayah. “Betul. Untuk melanjutkan proses pengiriman saldo, silakan bacakan dengan jelas kode yang Ibu terima.”
Cerpen Karangan: cultricoupre (Nama Pena) instagram.com/cultricoupre
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 6 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com