Belum genap satu bulan sejak kepergian Mas Kemi, rumah ini sudah terasa begitu sepi. Tak ada lagi lawakan garing, atau sekadar tawanya yang terdengar agak nyaring. Senyap, tak ada riuh walau hanya sekejap, bahkan suara cecak ikut terdengar jelas saat mereka tengah merayap.
Kupegang erat mukena yang menjadi kado terakhirnya, barang yang diberi seminggu tepat sebelum ia pergi untuk selamanya. Belum sebulan, tapi rasa rindu itu sudah tak mampu lagi tertahan.
—
Aku tak kuasa lagi menahan tangis kala jasad itu dimasukkan ke dalam liang kuburnya. Lututku lemas, seluruh persendian pun rasanya ikut terlepas saat tanah itu berhasil membentuk sebuah gundukan baru di hadapanku.
Kutepuk kedua pipi berulang kali, kucubit tangan kanan dan kiri, dengan harapan bahwa ini hanya sebuah mimpi. Hingga akhirnya aku tak bisa memungkiri, bahwa ini benar-benar terjadi, dia sudah pergi.
Dengan tangan bergetar, kupaksa diri memegang nisan bertuliskan ‘Kemi Fatahillah’—suamiku— lengkap dengan tanggal lahir dan wafatnya.
Ucapan bela sungkawa masih terdengar silih berganti, sebelum akhirnya hening kembali menyelimuti. Mereka semua telah kembali; pulang, termasuk keempat orangtuaku. Dan kini, hanya tersisa aku bersama air mata yang tengah kupaksa untuk berhenti.
“Mas, salahkah jika aku menyesal?” Kuhapus tangis yang masih tersisa di sudut mataku. “Sepertinya aku sudah terlambat, ya?” lanjutku kembali mengusap nisan dengan perasaan pilu.
“Mas, kau tahu? Aku sungguh menyesal tak mengatakannya sejak saat itu! A-aku sangat mencintaimu, Mas.”
Air mataku kembali luruh saat memori itu tiba-tiba berputar di ingatanku. Perjalanan cinta yang bermula dari perjodohan orangtua, tetapi hanya bercagak dengan satu hati saja, miliknya. Hingga tiba-tiba maut berhasil memisahkan kami berdua, tepat di saat aku mulai membuat tiang yang akan menyeimbangkan rumah tangga nantinya.
Lagi-lagi karena kata ‘gengsi’ semata, ia berhasil membuat semuanya rusak tak bersisa. Lengkaplah dengan aku yang begitu malu untuk sekadar mengungkapkan apa yang kurasa. Ah, andai saja bisa memutar waktu, mungkin akan kugunakan itu untuk membenahi diriku. Dan tentunya aku tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu.
“Bubu.” Suara cempreng khas anak kecil berhasil membuyarkan lamunanku. Kuseka buru-buru air mata yang tersisa di pelupuk mataku.
Kutatap lekat dia yang telah berdiri dengan senyum manisnya, ia Zaka, buah hati kami berdua. Putra pertamaku yang harus kehilangan figur sang ayah di usia yang baru menginjak 1,5 bulannya. Bagiku, belum mencintai bukan berarti aku harus lalai. Sebagai wanita beragama, aku juga berusaha untuk mengumpulkan banyak pahala, seperti halnya menjadi istri seutuhnya.
Rasa syukur tak henti-henti kupanjatkan pada Sang Pencipta, saat Zaka menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak kecil seumurannya. Putraku itu berhasil berjalan meski belum seimbang sepenuhnya.
Kupeluk Zaka dengan erat, sembari menguatkan hati agar bisa tegar menjadi ‘single parent’ untuk dirinya. Meski rasa sesak terkadang menghimpit dada, serta kepedihan masih menyelimuti atma. Kini harus kukuatkan diri, demi putraku, Zaki.
Cerpen Karangan: Elin Maissa Anggraeni Blog / Facebook: Elin Maisa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com