Pernahkah kamu merasa bahwa segenap semesta tidak kunjung berpihak pada diri? Semesta dengan segala kisah yang ditawarkannya, penuh dengan kejutan, baik yang buruk maupun yang menyenangkan. Namun, bagi Michael semesta tampaknya hanya memberikan kejutan buruk bagi hidupnya. Di usia Michael yang telah menginjak 23 tahun ini, ia sedang mengalami apa yang dikatakan orang sebagai “quarter life crisis” meskipun ia tidak tahu pasti arti frasa itu sebenarnya. Ia hanya tahu bahwa seseorang yang sedang mengalami fase tersebut akan merasa murung terus menerus yang diikuti dengan rasa bingung yang berkepanjangan mengenai hidupnya. Namun, Michael sendiri merasa hidupnya selama 23 tahun ini selalu berada dalam fase life crisis. Hal tersebut membuat Michael merasa bahwa semesta tidak kunjung berpihak untuknya.
Sudah lima tahun ini, Michael harus berjibaku dengan tantangan hidup mulai ayahnya yang pergi kabur meninggalkan dirinya dan ibunya berdua saja, ibunya yang jatuh sakit karena merindukan ayahnya terus menerus, hingga ia harus bekerja sambil berkuliah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Michael mengalami fase life crisis tidak hanya dalam lima tahun ini saja, namun sejak ia lahir. Ia pernah mengalami perundungan semasa sekolah, melihat ayah dan ibunya yang tidak kunjung usai bertengkar, dan kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik.
Michael kini harus bekerja, berkuliah, dan juga mengurus ibunya yang sakit. Bahkan ia tak kunjung menyelesaikan tugas akhirnya karena kondisi tersebut membuat ia tidak bisa fokus mengerjakan skripsi tersebut. Tanpa asuransi kesehatan, biaya ibunya untuk berobat sangat membengkak. Ia tidak bisa hanya mengandalkan BPJS semata. Uang asuransi jiwa ayahnya tidak bisa dicairkan karena ayahnya kabur dari rumah bukan meninggal dunia, terkadang Michael berharap ayahnya itu mati saja, setidaknya ayahnya memberikan hal baik untuk kehidupan Michael dan ibunya. Oleh karena itu, ia harus banting tulang siang dan malam untuk membiayai uang kuliah, uang berobat ibunya, kontrakan rumah, dan makan sehari-hari. Kondisi yang sangat membuat frustasi bagi Michael.
Sore itu, Michael baru saja selesai melakukan bimbingan dengan dosen pengampu tugas akhirnya dan sedang menunggu bus di depan gerbang masuk kampus. Seperti biasa, ia menunggu bus sembari mendengarkan lagu dan melihat kendaraan yang berlalu lalang di sore hari. Ia melihat rombongan mahasiswa yang keluar kampus untuk nongkrong sebentar sebelum pulang ke indekos masing-masing, mahasiswa yang dimabuk cinta sedang berboncengan keluar kampus, dan beberapa mahasiswa yang seperti Michael, sendiri menunggu angkutan umum/jemputan.
Michael yang kini duduk di bangku perkuliahan semester kesebelas sudah tidak lagi memiliki banyak teman, walaupun memang lingkar pertemanannya tidak pernah besar sejak dulu. Merenung seorang diri sembari mendengarkan lagu adalah pertahanan utama Michael agar tak didekati orang lain, entah karena Michael yang malas bersosialisasi atau tidak ada yang memang bersosialisasi dengannya sejak dulu. Sore itu, merupakan sore yang ternyata berbeda bagi Michael, tiba-tiba ada seorang perempuan yang duduk di bangku dekat Michael berdiri menunggu bus. Perempuan itu berkata, “Mas, kelihatannya seru, yah, mengamati orang lain?”.
Michael yang saat itu sedang tidak memutar lagu dengan volume kencang, sayup-sayup mendengar suara perempuan yang rasanya berbicara dengannya. Namun, karena tak ingin terlalu pede, Michael hanya menggerakan kepalanya sedikit sebagai refleks mencari sumber suara perempuan itu namun tidak ingin terlalu kentara.
Perempuan itu berkata lagi, “Nengok aja kali, Mas. Saya ngomong sama kamu, kok.” Michael kemudian menoleh ke arah perempuan muda berambut hitam panjang yang sedang memeluk buku di lengan kirinya sedangkan tangan kanannya memegang apel malang hijau yang sudah tergigit seperempat. Michael kemudian berkata sambil terkekeh karena merasa tertangkap basah, “Eeh… iya, kenapa, Mbak?”
“Daripada kamu berdiri nunggu bus yang di jam segini datangnya lama, mending duduk di sini, Mas,” ujarnya sambil menunjuk ke arah ruang kosong di sampingnya yang muat untuk diduduki tiga orang.
Michael berpikir sejenak, lalu ia pun sembari sedikit menundukkan kepala, duduk di samping perempuan itu sembari memberikan senyum canggung. “Mau pergi ke arah mana, Mbak?” ujar Michael membuka percakapan basa-basi. “Hmmm, entah. Mas sendiri, gimana?” tanya balik perempuan itu sambil membalas senyum canggung Michael. “Saya mau pergi ke RSUD Pasar Minggu,” jawab Michael sedikit heran dengan jawaban perempuan tersebut perihal tujuannya. Ternyata air muka Michael menunjukkan keheranan tersebut karena perempuan itu berkata, “Saya bercanda kok, Mas. Saya searah sama, Masnya. Saya mau pergi ke daerah Ragunan.” “Oh, searah rupanya,” balas Michael sambil mengangguk-angguk samar. Perempuan itu kemudian berkata lagi, “Yap, begitu rupanya. Kalo boleh tahu, siapa yang sedang sakit, Mas?” “Hmmm, ibu saya, Mbak,” jawab Michael ragu-ragu karena merasa tidak nyaman ditanyakan mengenai perihal pribadi dan sensitif baginya. “Maaf ya, kalau saya terkesan menyinggung ranah privasi, Masnya. Semoga ibu kamu bisa segera diberikan kesehatan,” ujar perempuan itu bersimpati dan Michael hanya membalasnya dengan senyuman.
“Terkadang, hidup memang rumit untuk dipahami, Mas, meskipun kita menempatkan diri sebagai seorang pengamat dalam kehidupan ini,” ujar perempuan itu. “Maksudnya?” tanya Michael yang keheranan dan penasaran ke mana arah pembicaraan ini. “Ya, terkadang ketika kita menjadi pengamat saja dalam hidup, kita terkadang membanding-bandingkan hidup yang kita jalani dengan kehidupan orang lain yang kita amati. Manusiawi.” “Saya tidak membandingkan hidup saya dengan kehidupan orang lain,” ujar Michael yang merasa tersudutkan. “Kalau memang tidak, tatapan kosong kamu tidak bisa bohong, Mas. Saya sedari tadi melihat jasad kamu ada di sini namun pikiranmu entah ke mana ketika memandangi lingkungan sekitar.” “Maksud Mbak, saya tidak menikmati hidup saya dan malah mengimajinasikan hidup saya dengan kehidupan orang lain yang sedari tadi saya perhatikan?” kata Michael sambil mengernyit. “Kalo itu yang memang Mas lakukan, akui saja. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun berlarut dalam kekacauan pikiran tidak akan membawa kamu ke mana-mana mas. Ujung-ujungnya, kamu malah akan menyalahkan semesta. Semesta tidak akan salah dalam memberikan sekuens kehidupan pada hambanya,” kata perempuan tersebut.
Sebelum Michael sempat berkata lagi, bus menuju arah Lebak Bulus tiba dan mulai dikerubungi calon penumpang diiringi kenek bus yang tetap berusaha memanggil calon penumpang meskipun sudah dikerubungi banyak orang. Michael yang tidak ingin menunggu lebih lama lagi untuk menjenguk ibunya, segera berdiri meninggalkan perempuan itu. Sembari perasaan mengganjal di hati yang ikut serta ketika Michael menjejakkan kaki di pintu bus. Michael mengambil tempat duduk di dekat jendela seiring bus melaju perlahan. Setelah dalam posisi nyaman, Michael kemudian menoleh ke arah jendela, tempat beberapa saat lalu ia duduk bersama seorang perempuan. Namun, perempuan tersebut sudah tidak ada lagi di sana, Michael kebingungan dan menoleh mengitari isi bus, tetapi ia tidak menemukan tanda-tanda kehadiran perempuan yang tadi bilang akan naik bus yang sama dengan Michael.
Menghela napas, Michael duduk dan merenungkan pembicaraan singkatnya dengan perempuan tersebut. Apa maksud perempuan itu? Apakah Michael kurang bersyukur akan seluruh hal yang telah terjadi dalam hidupnya? Apakah salah Michael merasa ingin memiliki hidup yang tak berliku seperti saat ini? Apakah Michael seharusnya pasrah saja dengan keadaan?
Dengan beribu tanya di benaknya, Michael melaju bersama bus sambil menggenggam kuat kantong plastik berisi tiga buah apel hijau malang kesukaan ibunya. Ia pulang.
Cerpen Karangan: Lifepal
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com