Apa kau mengingat suatu memori masa kecil? Pasti semua orang mengingatnya atau beberapa mungkin tidak. Begitupun aku. Aku hanya punya satu momen masa kecil yang selalu teringat di otakku. Tapi perlahan aku melupakannya. Yang aku ingat hanya, ada seorang perempuan yang menelepon toko rotiku. Dan, ya aku suka sekali roti krim keju!
Setelah kepergian ibu. Aku tidak bisa mengontrol diriku, emosi tidak stabil, kelelahan setiap saat dan merasa tidak ada seorangpun yang peduli, kecuali sahabatku Wiwit. Wiwit selalu menguatkanku dan menemaniku. Sampai kini aku terbiasa hidup tanpa ibu.
Aku berjalan menuju rumah, sepulang yasinan hari ke 100 ibu. mataku sembab dan bengkak karena terlalu banyak menangis. Tak berhenti aku meneteskan air mata, tapi aku tidak ada waktu untuk menangis, karena sebentar lagi akan hujan. Bahkan langit ikut sedih hari ini.
Sebuah toko antik dan aneh menjadi perhatian mataku. Tidak pernah aku lihat toko ini dibangun. Aku memang tak punya waktu untuk menangis tapi aku sangat penasaran dengan ini. Dengan keberanian yang tersisa aku masuk ke dalam dengan mengucap salam. Lonceng kuno akan berbunyi ketika pembeli masuk.
Seorang nenek pemilik toko menyapaku dengan senyum lebar dan menyipitkan matanya. Membuat suasana hatiku lebih baik “Um maaf, boleh aku lihat-lihat toko ini?” “Tentu saja, silahkan,”
Aku berjalan mengitari toko kuno yang tidak terlalu luas itu. Hanya ada barang-barang antik, 2 buah kursi juga meja dan nenek ini juga menjual donat Setelah 10 menit aku di dalam toko, aku memutuskan untuk pulang. Tapi aku merasa tidak enak dengan nenek itu. Aku memutuskan untuk membeli donatnya.
“Apakah toko ini baru saja didirikan?” “Ah tidak. Toko ini sudah ada sejak 12 tahun lalu. Tapi tidak ada orang yang berminat. Kau memiliki selera yang unik darling,” Jelas nenek itu. Aku tersenyum simpul sambil menggaruk kepala. Aku dan nenek mengobrol sambil menghabiskan donat. Nenek malah memberiku secangkir teh daun seolah menjamu saudara yang sudah lama tidak bertemu.
Ketika hendak pulang, mataku tertuju pada sebuah telepon tua di dekat pintu. Telepon ini indah sekali. Warna hitam elegan, juga ukiran-ukiran indah walau sudah sangat berdebu. “kalau kau mau, kau bisa mengambilnya gratis darling,” Nenek itu seakan bisa membaca pikiranku. Aku terkejut. Sungguh? “Ya, disini sudah banyak sekali barang antik sepertinya nanti hanya akan dibuang di Gudang. Kalau kau mau ambil saja,” Aku tersenyum senang, kemudian mengucapkan terima kasih banyak kepada nenek. Nenek bilang kalau aku rindu, aku bisa mengunjunginya lagi. Ah, sepertinya aku akan sering datang.
Aku membawanya sampai di rumah dan menaruhnya di meja kamar. Cocok sekali dengan warna kamarku. Telepon tua ini membuatku lupa kejadian sebelumnya. Dan telepon tua itu membuat hal yang sangat tak terduga.
KRIINGG Aku terlompat, kaget setengah mati. Jantungku mau copot rasanya. Bagaimana bisa, telepon kuno yang sudah berpuluh puluh tahun dan sekarang berdering lagi. Ini, telepon hantu? Aku menutup pintu kamarku, membiarkan telepon itu terus berdering. Aku segera pergi menjauh. Nafasku tersengal. Ah, sial. Aku sendiri di rumah.
Malam datang. Telepon itu sudah berhenti berdering sejak tadi. Beribu ribu pertanyaan muncul di otakku. Caraku menjawab pertanyaan dalam pikiranku yaitu hanya satu. Mengangkat telepon ‘hantu’ itu. Walau nyaliku hanya sebesar biji jagung.
KRIINGG Aku terlompat kaget kedua kalinya. Ini telepon kedua kali. Tanganku gemetar hebat berusaha menyentuh telepon, lalu mengangkatnya dan mendekatkan ke daun telinga. Jantungku berdegup kencang. Pelan-pelan aku mendengar suara walau hanya samar samar. “Halo, Toko roti Qarla disini?” DEG. Rasanya seperti 1 detik aku tidak hidup. Ini tidak bisa dipercaya. Toko roti Qarla, toko roti yang aku dirikan saat berusia 8 tahun bersama almarhumah ibu. Dan Qarla itu namaku. Ah tidak, ini pasti hanya sebuah kebetulan. Lagipula, banyak orang bernama Qarla bukan? Bodohnya aku.
“Ya, halo.” Aku memberanikan diri untuk menjawab. “Mau pesan apa?” “Maaf, Ini siapa ya. D-dan aku tidak tau ini tiba tiba terhubung sendiri,” aku berkata jujur. “Aku Qarla Riswani, asisten toko roti Qarla! Pemiliknya yaitu ibuku sendiri. Begitukah? Kalau gitu beli lah 1 roti favoritku disini. Roti krim keju buatan Ibu! Itu enak sekali. Kau harus membelinya!” seru anak perempuan yang bernama ‘Qarla Riswani’ yang lagi lagi itu adalah nama lengkapku. Aku dilanda kebingungan yang luar biasa.
“Bolehkah aku berbicara pada ibumu?” “Ibuku? oh boleh, IBUUUU,” suara teriakan anak itu sangat familiar. Samar-samar suara anak perempuan itu hilang dan diganti oleh seorang Wanita paruh baya. “Ya, halo, toko roti Qarla disini,” Ini sangat mirip dengan suara Ibu. Suara khasnya yang selalu memberi kehangatan padaku. Hatiku bergetar rasanya. Tak kuasa menahan tangisan. Aku sangat rindu suara ibu.
“Kenapa menangis nak?” “tidak apa apa. A-aku hanya rindu pada ibuku. Ibuku orang yang hebat sekali sama sepertimu, ibuku juga membuka toko roti. Aku ha..hanya teringat padanya saja,” ujarku sambil sesegukan. “Oh begitu ya. Turut berduka nak. Kau pasti sangat merindukannya. Kalau begitu kau bisa mengobrol dengan anakku, Qarla. Aku sedang memanggang roti. Pesanan banyak sekali untuk tahun baru. Semoga tahun 2010 besok kau bisa bertemu orang baik ya. Qarla, kau mau bicara dengan kakak ini?” Anak yang bernama Qarla itu terdengar riang. Aku tersenyum kecil mendengarnya walau hanya dari telepon.
“Kak, aku bisa membuatkan roti krim keju untuk kakak. Apakah kakak mau?” Aku mengangguk, “Ya, aku mau. Aku tunggu ya,” “Oke, aku janji akan membuatnya. Oh iya nama kakak sia—” Telepon itu terputus. Suasana kembali hening. Aku menaruh kembali telepon dan menghela nafas. Tunggu, tadi Ibu itu bilang tahun 2010? Itu sudah lama sekali. Aku semakin yakin kalau itu bukan telepon biasa.
Tiba-tiba memori masa kecil itu muncul. 12 tahun lalu aku menerima telepon dari perempuan dan dia juga ingin kubuatkan roti krim keju. Apakah perempuan itu adalah ‘aku’? dan orang yang kutelpon sekarang adalah ‘ibu dan ‘aku’ disaat 12 tahun lalu? Atau mungkin hanya sebuah kebetulan.
Aku juga sempat ingin berkunjung ke toko Nenek, tapi toko itu ternyata sudah ditutup permanen dan sekarang hanyalah sebuah bangunan tua terbengkalai. Berhari-hari ku berharap deringan itu terdengar lagi. Tapi sayang, sekarang itu cuma telepon antik tua yang tidak berfungsi lagi. Tapi aku sangat lega karena aku bisa mendengar suara ‘ibu’ lagi.
Cerpen Karangan: Khalawa Imana
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com