Dulu, aku sangat ingin merasakan bagaimana rasanya hidup sendirian. Punya rumah sendiri, bekerja dengan nyaman, melakukan semuanya tanpa mengandalkan orang lain. Lalu aku juga gak perlu mendengarkan omelan Ayah dan Mamah kalau aku pulang kerja terlambat. Aku gak perlu diteriakin mamah kalau aku bangun kerja, aku bisa menghabiskan libur tanpa harus disuruh ini dan itu sama ayah dan mamahku. Aku juga gak akan memberi uang gajiku sepenuhnya ke mamah dan membuat mamah mengatur keuanganku.
Ketika aku membayangkan menjadi seseorang yang mandiri, rasanya sangat menyenangkan.
Aku mulai mengambil langkah untuk mewujudkan impianku, awalnya aku menaruh beberapa lamaran kerja di tempat yang lumayan jauh dari rumahku. Ayahku suka mengantarku, bahkan saat aku wawancara kerja, ayah menungguku sampai selesai. Fyi, sebelumnya aku juga sudah memiliki pekerjaan sebagai admin.
Tapi setiap hari aku pulang, aku selalu curhat sama mamah dan menangis. Mamah yang menenangkanku, memang lucu, umurku hampir menginjak kepala dua tapi aku masih sering menangis saat diterpa masalah. Aku yang paling cengeng diantara saudara-saudaraku padahal aku anak pertama.
“Gimana nih mah? Hiks…” “Yaudah Vina, kalau kamu udah gak nyaman, ya resign aja.” Ucap mamah memberiku solusi paling mudah, tapi entah mengapa, setiap mamah membahas resign, aku selalu berhenti menangis dan mulai berpikir. Overthinking untuk ke depannya. Jika aku resign saat belum menemukan pekerjaan baru, aku bisa gigit jari selama menganganggur. Aku gak biasa gak pegang uang, mana bisa aku hidup tanpa jajan.
Aku terus mencari pekerjaan yang menurutku cocok untukku. Sampai suatu hari, aku benar-benar lulus tes dan interview di sebuah kafe yang cukup besar… Bisa dibilang, ini semi resto, gajinya juga lumayan.
Setelah aku bekerja di kafe, kehidupanku berubah tiga ratus enam puluh derajat. Aku tinggal sendirian di sebuah kontrakan, membiasakan diri untuk beberes rumah, mencuci dan menyiapkan makan juga seragam kerja sendiri. Kupikir itu menyenangkan, tapi nyatanya sulit sekali bertahan seperti itu.
Sebulan pertama lancar, aku senang melakukannya. Lalu bulan berikutnya, aku mulai malas, dan seterusnya aku jadi bosan. Gak ada tempat curhat, gak ada tempat untuk tertawa lepas dan aku mulai merindukan ayah dan mamah.
Memandangi jalanan yang ramai kendaraan motor dan mobil.
“Yah, kakak baru tau kalo harga evaporator AC mahal banget.” “Gak semuanya kak, tergantung merk dan type mobilnya kali…” “Itu loh, avanza harganya satu juga dua ratus, yah. Harga partnya doang, belum termasuk service.” “Avanza memang mahal, kan.”
Bibirku tersenyum kecil. Aku jadi flashback. Soalnya biasanya, aku pulang kerja dijemput ayah dan kita mengobrol dengan pembahasan yang random. Lalu sampai di rumah, aku juga mengobrol sama mamah tentang masalah di tempat kerja atau sesuatu yang menurutku berkesan, juga adik-adikku yang menyebalkan sesekali mengganggu waktu istirahatku dan merebut handphoneku untuk main game.
“Ayah, mamah, kakak kangen.” Gumamku begitu saja kala melihat jalanan, aku sedang duduk di bangku taman.
Mencari suasana yang dapat meredakan rasa hampaku, tapi gak berhasil. Hidupku memang hampa, aku gak senang tapi juga gak sedih. Aku gak bisa ketawa tapi juga gak bisa menangis. Seperti robot, mukaku kaku dan datar, gak ada emosi atau perasaan yang dapat di tunjukkan.
Jangan tanya soal pacar, aku benci harus membahas cowok. Aku udah ditinggal nikah sekali, lalu pacaran dengan cowok yang angkuh, setelahnya aku berusaha buka hati tapi malah kali ini aku kehilangan sahabatku karena pacar baruku. Aku memutuskan untuk menyendiri, gak bersahabat lagi, gak pacaran dulu, dan aku rasa aku cuma perlu menyesuaikan diri untuk hidup tanpa orangtuaku. Aku sudah dewasa, aku bisa melakukan semuanya sendiri.
Aku akan bekerja keras dan menghasilkan uang untuk membahagiakan orangtuaku, membeli rumah untuk masa depanku, juga membiayai uang sekolah adik-adikku agar mereka bisa lulus sekolah sesuai keinginan orangtuaku. Aku hidup untuk bekerja, bukankah seharusnya sesimple itu?
Aku membuang napasku yang terdengar berat. “Terkadang, tiba-tiba terbesit keinginan menikah, tapi aku juga memikirkan calon suamiku. Siapa? Aku bahkan gak punya pacar. Aneh sekali.”
Aku juga kadang berpikir untuk menghabiskan masa tuaku sendirian, tapi ketika aku melihat pelangganku di kafe yang membawa keluarga mereka. “Aku ingin punya anak yang lucu dan suami yang menyayangiku, memiliki keluarga yang hangat, menjadi istri dan ibu… Itu kodrat perempuan, kan?”
Aku menertawakan diriku sendiri dalam hati. “Aku lucu, banyak sekali yang kuinginkan. Tapi, gak ada satupun yang kulakukan kecuali memaksakan diri untuk menikmati pilihanku sendiri yang dulu adalah impianku.” Aku menatap langit, lagi lagi aku tertawa, kali ini tawaku dengan muka yang muram.
Aku memandang sendu langit bertabur bintang, “Bahkan bintang pun memiliki keluarga.” Tuturku mengerucutkan bibir.
Aku ingin pulang, tapi… Uang gajiku menipis sementara aku masih harus menunggu gaji bulan depan turun dua minggu lagi.
Aku benar-benar tersiksa, bahkan untuk menelpon saja aku gak bisa. Aku takut, aku membuat mamah dan ayah sedih karena aku dapat libur tapi gak pulang. Alhasil, aku hanya berjalan perlahan menuju rumah kontrakan. Enggan pulang, tapi waktu makin larut dan aku harus tiba di rumah sebelum tengah malam. Itu peraturan yang kubuat sendiri saat aku mulai tinggal sendirian.
“Ayah, mamah, kakak kangen.” Sekarang aku cuma bisa mengatakan itu dalam hatiku. Aku sadar, keberadaan ayah dan mamah sangat berharga, sangat berarti, ini baru aku tinggal agak jauh dari orangtuaku. Aku gak bisa bayangin kalau harus ditinggal ayah dan mamah selamanya.
End.
Cerpen Karangan: Xiuzeen
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 Maret 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com