Kami hanyalah keluarga bersahaja yang tidak cukup kaya untuk membeli sebuah mobil. Jika kami ingin menonton festival di alun-alun, maka ayah akan mengantar kami bergantian sampai tiga kali dengan motornya. Jika dikatakan menderita, sebenarnya kami tak sesusah itu sampai harus mengemis pada orang-orang.
Ayah kami memang hanyalah seorang pedagang kecil yang untungnya tak seberapa, tetapi tak sedikitpun hidupku terasa kurang meskipun tidak memiliki benda bermerek. Kebanyakan barangku adalah bekas dari barang saudaraku yang jauh lebih mampu daripada kami.
Sesaat sebelum tidur, sering sekali aku teringat masa dimana aku dan adikku berjualan gorengan setiap subuh di Hari Minggu, saat itu aku masih sekitaran kelas tiga atau kelas empat SD. Aku merasa senang karena bisa berjalan-jalan dan menghirup udara sejuk perkampungan, jualan kami selalu habis dan kami selalu mendapat upah seribu rupiah. Betapa aku rindu masa itu, waktu dimana yang bisa kupikirkan hanyalah sekedar bermain, sekolah dan pr matematika.
Waktu semakin melaju, dan umurkupun bertambah. Semakin dewasa, semakin aku menyadari bahwa hidup tak segampang kelihatannya. Aku punya mimpi, tetapi rasanya mustahil bisa kuraih. Namun, ayah bilang tak perlu khawatir akan biaya, semuanya pasti ada rezekinya. Karena keyakinan itu, aku nekad masuk ke SMA swasta yang cukup mahal, setiap kali aku melihat uang bulanan, rasanya aku merasa bersalah. Aku bertanya-tanya, benarkah jalan hidupku? Salahkah jika aku inginkan yang terbaik untuk hidup? Meskipun kedua orangtuaku harus kelimpungan memikirkan uang bulananku saja?
Hal yang bisa kulakukan hanyalah belajar dengan giat, fokus pada mimpiku dan berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa membuat orangtuaku bangga. Aku ingin membalas pengorbanan mereka dengan hal yang bisa membuat mereka tak menyesal mempunyai anak sepertiku.
Hubungan kami memang tak seperti kebanyakan hubungan ibu dan anak lainnya, tak pernah ada hal yang bisa kuceritakan padanya, dia terlalu naif untuk mengerti kehidupan anak muda sepertiku. Seringkali aku tak menjawab pertanyaanya, entah karena kesal atau memang pertanyaannya terlalu bodoh. Namun, dialah orang pertama yang akan kusebut ketika merasa sakit. Diantara banyak orang yang kukenal, dialah yang akan mengobatiku dengan tulus tanpa pamrih.
Aku tidak mengenal superman ataupun batman. Aku hanya tahu bahwa ayah dan ibu adalah pahlawan hidupku. Mereka adalah orang yang tetap menyayangiku seburuk apapun perkataanku pada mereka. Ibu adalah orang yang paling sabar, ketika aku tak pernah mendengarkannya. Sedangkan ayah adalah orang yang paling kuat ketika aku terus menerus meminta banyak hal. Didepan mereka, aku tak punya keberanian untuk berkata-kata. Tak pernah sekalipun kuucapkan selamat ulang tahun dihari lahir mereka. Bahkan ketika aku disuruhpun seringkali aku menggerutu, memasang wajah kesal dan bersikap egois.
Aku tahu, mereka tidak akan membaca tulisanku ini, tetapi aku hanya ingin berbagi tentang betapa aku merasa beruntung karena menjadi bagian dari keluarga mereka.
Arunika Wardani 26 Maret 2022
Cerpen Karangan: Arunika Wardani email: arunikawardani[-at-]gmail.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 5 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com