Sepi.
Hampir setengah tahun belakangan ini, rumah sederhana itu selalu tampak sepi. Begitulah yang Dhee rasakan, khususnya setiap kali ia pulang dari sekolah. Biasanya sang ibu akan menyambut kedatangannya dengan senyum sumringah lalu menawari Dhee masakan sederhana, tetapi lezat buatannya.
Namun, semenjak sang ayah tiba-tiba pergi meninggalkan mereka di suatu hari, suasana rumah mendadak berubah. Ritual rutin itu terhenti begitu saja dilakukan oleh ibunya. Tak ada lagi senyum sumringah menyambut kepulangan Dhee, tak ada lagi masakan yang dimasak penuh cinta dan menggugah selera.
Hari-hari Dhee terasa sunyi dan hampa karena ibunya lebih sering menyendiri. Lebih sering duduk menatap layar televisi, menonton acara berita yang bagi Dhee sama sekali tidak menarik.
“Bu, aku pulang.” Dhee mencoba menyapa kala ia melewati sebuah ruang keluarga berukuran kecil. Digamitnya punggung tangan wanita itu dan menciumnya seperti biasa. Sang ibu masih saja serius menatap televisi, tak mengucap sepatah katapun sebagai balasannya.
Dhee menghela napas panjang. Sudah biasa. Ia tidak lagi merasa kecewa saat ibu kian mengabaikannya.
Langkah kaki Dhee buru-buru berlanjut menuju meja makan yang letaknya bersebelahan dengan ruang keluarga. Ia merasa sangat lapar karena seharian ini perutnya belum terisi makanan. Tadi pagi ia hanya meminum segelas susu yang beberapa waktu lalu dibeli oleh ibunya—itu pun hanya tinggal tersisa sedikit dan sudah hampir basi—sedangkan di sekolah, ia juga harus menahan keinginannya untuk jajan karena ibunya tak lagi memberi uang saku.
Dhee membuka tudung saji dan melihat hanya ada semangkuk nasi di sana, tanpa ada sayur atau lauk satu pun. Tak apa. Setidaknya di rak kabinet masih tersedia beberapa bungkus mie instant untuk dimasak.
“Aku kangen sekali masakan Ibu. Aku bosan makan mie instant terus-terusan.” Dhee berbicara dengan dirinya sendiri, tetapi ia berharap ucapannya tersebut terdengar sampai ke telinga ibunya, menembus sela-sela riuhnya suara televisi yang masih sibuk menyala.
Sudahlah, Dhee. Jangan terlalu banyak berharap. Mari kita masak mie instant saja. Ia lantas menghibur dirinya sendiri. Lagipula perutnya juga sedari tadi keroncongan dan minta diisi.
Menjelang pukul sembilan malam, akhirnya Dhee sudah menyelesaikan seluruh tugas matematika yang kemarin diberikan oleh gurunya. Biasanya ayahnya-lah yang sering mengajarinya mengerjakan PR matematika, tetapi setelah ayah pergi, Dhee harus berjuang sendiri menyelesaikan salah satu mata pelajaran yang paling ia benci tersebut.
Dhee sebenarnya sangat berharap kepintaran ayah menurun padanya, karena ayah selalu bisa membantu Dhee di saat putri satu-satunya itu mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah. Meskipun ayahnya hanya sebatas lulusan SMA.
Dhee memandangi telepon genggam miliknya. Telepon genggam yang dua tahun lalu dibelikan oleh ayah pada hari ulangtahun Dhee yang kedua belas, bertepatan pula dengan masuknya ia ke sekolah menengah pertama.
Tangan Dhee membuka aplikasi pesan di ponselnya. Sudah banyak sekali pesan yang ia kirimkan ke nomor sang ayah, yang sayangnya selalu gagal terkirim karena tampaknya nomor tersebut kini sudah tidak aktif lagi. Akibatnya, tak pernah ada satu pun pesan balasan.
[ Ayah di mana? Kapan pulang? ] [ Ayah kenapa pergi? Jangan tinggalkan Dhee, Yah. ] [ Ayah, tolong ajari Dhee matematika lagi …. ] [ Kenapa handphone ayah tidak aktif? Apa ayah tidak kangen sama Dhee? ] [ Ayah pulang … Dhee kangen … Dhee janji, Yah, akan jadi anak yang baik … ]
Itu adalah serangkaian pesan yang selama ini ia kirimkan. Berulangkali menanyakan pertanyaan yang sama ‘ayah di mana’ dan ‘kapan ayah pulang’. Meskipun sadar nomor ayahnya sudah tidak aktif sejak lama, terkadang Dhee tetap berusaha menelepon hanya untuk sekadar menenangkan debaran rindu di hatinya. Ia benar-benar berharap suatu saat nanti ayahnya pulang untuk kembali melengkapi kebahagiaan keluarga mereka.
—
“Apa kau pikir lembaran uang ini cukup untuk membayar sekolah Dhee?!” Raungan teriakan itu terdengar hingga keluar teras rumah. “Aku malu selalu ditagih bayaran oleh pihak sekolah!”
Dhee yang kala itu baru saja pulang dari sekolah, seketika menghentikan langkah kakinya dalam radius sekitar lima meter dari pintu rumah. Mendengar ucapan ibu, ia teringat kalau sudah dua bulan ini menunggak pembayaran SPP. Untung saja lokasi rumah mereka agak jauh dari rumah tetangga sekitar. Begitulah tipikal rumah di desa, yang kerap kali letaknya saling berjauhan antara satu dengan lainnya. Kalau saja tempat tinggal mereka masih seperti di kota dulu—yang berdampingan dekat rumah tetangga—mungkin Dhee akan merasa malu jika mereka mendengar teriakan ibunya.
“Aku muak hidup susah, Kris! Kalau saja kau tidak cacat, kita pasti masih bisa hidup nyaman di kota!” Ibunya kembali berteriak menumpahkan kekesalannya.
Dhee tahu betul bagaimana selama ini ibunya berhasil memendam segala kegamangan di hatinya. Keluarga mereka kini jatuh terpuruk setelah sebelumnya kehidupan mereka mapan dan nyaman. Hal ini dikarenakan ayah di-PHK setelah mengalami kecelakaan kerja yang kemudian merenggut lengan kanannya. Ayah yang cacat berusaha kesana kemari mencari pekerjaan baru, tetapi tak satu pun berhasil ia dapatkan. Mereka semua menolak dengan alasan yang sama ‘ayah cacat’.
Barang-barang di rumah pun satu demi satu mulai dijual demi menyambung hidup dan keperluan sehari-hari mereka. Sampai rumah yang bahkan masih belum lunas cicilannya pun, terpaksa harus disita oleh pihak bank lantaran ayah tidak mampu lagi melunasi tagihan perbulannya.
Di tengah keputusasaan, nenek tiba-tiba menghubungi ayah dan mengajaknya kembali tinggal bersama di kampung halaman. Entahlah, apa mungkin nenek memang memiliki firasat mengenai kondisi ayah, atau mungkin pula nenek menyadari bahwa usianya sudah tidak akan lama lagi.
Beberapa hari kemudian keluarga Dhee memutuskan pindah ke desa tempat di mana nenek tinggal. Rumah nenek tidak terlalu besar. Bentuknya sangat sederhana. Ukurannya juga hanya seperempat dari ukuran rumah mereka di kota. Walaupun demikian, hidup di sana terasa nyaman karena suasana pedesaan yang masih kental. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, mereka memanfaatkan sedikit lahan depan rumah untuk ditanami sayuran, buah dan umbi-umbian.
Sayangnya, nenek wafat dua minggu kemudian. Rumah tersebut lantas menjadi milik ayah karena saudara yang lain tidak tertarik memilikinya.
Dhee tersadar mungkin ibunya mulai jenuh dengan kehidupan mereka di sini. Ibu yang terkadang jalan-jalan ke mall sebagai healing pelepas penat, sekarang hanya bisa terkungkung di rumah karena memang tidak mungkin ada mall di desa terpencil seperti ini. Kalau ada pun tentu percuma. Mereka tak punya cukup uang untuk pergi ke sana.
“Aku minta cerai sekarang juga, Kris!!!” Teriakan ibu seketika menyadarkan Dhee dari lamunannya. “Sabar dulu, Lin! Kau harus tenang dulu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Ayah berusaha meredam kemarahan ibu. “Tidak ada lagi yang bisa dibicarakan!” “Aku tidak bisa menceraikanmu. Bagaimana nanti dengan Dhee?” “Dhee akan kubawa ke rumah orangtuaku! Agar ia tidak perlu lagi hidup menyedihkan seperti ini!” “Kau tidak bisa membawa Dhee! Ia putriku!!!” “Lepaskan aku, Kris!!!” “Tidak akan!” “Lepas!!!” “Tidak! Arrrgghhh!!!”
Dhee sontak berlari begitu mendengar teriakan kesakitan ayahnya. Begitu membuka pintu, ia hanya bisa berdiri mematung kala dilihatnya sang ayah sudah tergeletak bersimbah darah di lantai. Sedangkan ibunya yang tengah bersiap menghuj4mkan lagi pisau ke arah suaminya, menengok dengan panik ketika menyadari kehadiran Dhee di sana.
—
Dhee terbangun dari mimpi buruknya dalam kondisi keringat bercucuran hingga membasahi baju yang ia kenakan. Ia menggigil, tak menyangka tadi malam akan mengalami mimpi seburuk itu. Namun, ia bersyukur semua itu hanyalah sebatas mimpi. Tetapi anehnya mimpi itu tampak begitu nyata.
Kerongkongan Dhee tiba-tiba saja terasa kering. Ia ingin sekali minum. Ia pun memaksa tubuhnya yang masih gemetaran untuk bangun dari tempat tidur dan bergerak menuju dapur.
Ketika baru saja hendak mengangkat gelasnya, telinga Dhee menangkap kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh pembawa acara berita di televisi yang sedang ditonton oleh ibunya.
‘Dua hari lalu polisi kembali menemukan sebuah tengkorak yang merupakan bagian dari jasad yang sebelumnya telah ditemukan enam bulan lalu di tepi Sungai Derawan. Dari penemuan tersebut akhirnya polisi berhasil mengidentifikasi identitas jasad tersebut. Berdasarkan hasil forensik, diketahui korban bernama Krisnan Antara yang bertempat tinggal di desa-—”
PRAANNNGGG!!! Gelas dalam genggaman Dhee pecah seketika membentur lantai, membuat sang ibu yang tengah serius menonton langsung menoleh ke arahnya dengan raut wajah pucat pasi.
Belum sempat ibunya mendekati Dhee, mendadak pintu rumah digedor oleh seseorang. Makin lama gedoran itu semakin kencang terdengar. Ibu memilih bergegas membuka pintu guna memastikan siapa tamu yang datang.
Begitu pintu terbuka lebar, terlihat beberapa pria berseragam polisi berdiri di hadapan ibu. Sedangkan tak jauh dari belakang mereka, warga telah berkumpul karena merasa penasaran, ingin tahu alasan para petugas polisi mendatangi rumah Dhee.
Dhee yang masih terperangah di dapur, mendadak merasa gemetar mengetahui para petugas polisi mendatangi rumahnya. Seumur hidup, Dhee memang belum pernah sekalipun berurusan dengan mereka. Ada apa ini sebenarnya? Dhee bertanya-tanya dalam hati.
“Apakah Saudari yang bernama Lina Nadia?” tanya salah seorang petugas kepada ibu. Tunggu, mengapa mereka mencari ibunya? Wanita itu pun merespon dengan perlahan menganggukkan kepala. “Kalau begitu Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan suami Anda, Saudara Krisnan Antara. Untuk itu sekarang juga Anda harus ikut kami ke kantor polisi guna dimintai keterangan lebih lanjut. Kami juga telah mendapat surat perintah untuk menggeledah rumah ini,” lanjut petugas itu seraya menunjukkan surat perintah penggeledahan. Sementara rekannya yang lain memborgol kedua tangan ibu tanpa ada sedikitpun perlawanan, dan sisanya menghambur masuk ke dalam rumah untuk menggeledah ruangan satu persatu, mencari barang bukti.
Dhee yang melihat adegan tersebut tidak bisa berkata-kata lagi. Tubuhnya kaku, begitupula bibirnya seakan membeku tak mampu bergerak mengeluarkan suara.
Lalu tiba-tiba pria berbaju putih muncul di antara keramaian dan mendekat ke arah Dhee. Sesosok pria yang sangat Dhee kenal. Pria itu tersenyum. Senyuman menenangkan yang juga amat Dhee rindukan. Dhee tersentak ketika dilihatnya tubuh pria itu dapat ditembus oleh petugas kepolisian yang tengah sibuk mondar-mandir menggeledah seluruh isi ruangan.
“Kapten!!! Ternyata di dalam sini juga terdapat jas4d lainnya!!!” teriak petugas yang berdiri di depan lemari es usang—yang sudah tidak lagi terpakai—di sudut dapur tak jauh dari Dhee.
Petugas lainnya segera menghampiri lemari es sambil membawa sebuah kantung jenazah. Mereka kemudian mengeluarkan potongan demi potongan tubuh seorang anak perempuan yang sudah lama membusuk dari dalam lemari es.
Tubuh Dhee.
Ah, ya, Dhee ingat. Saat itu ibu panik melihat kehadiran Dhee yang sedang menekan tombol ponsel, berniat memanggil ambulans guna menyelamatkan nyawa sang ayah. Ibu yang merasa ketakutan—salah mengira Dhee hendak menelepon polisi—akhirnya kalap dan bertindak nekat dengan turut serta menghabisi nyawa putri satu-satunya.
Dhee merasakan pria berbaju putih itu mendekapnya erat seakan berusaha melindungi pandangan mata gadis itu dari pemandangan yang cukup mengerikan untuk dilihat oleh seorang anak kecil.
Seketika itu juga Dhee merasa aman. Pelukan itu kembali membuatnya nyaman.
“Dhee, akhirnya ayah pulang.”
Cerpen Karangan: Hz_Aoru Blog: facebook.com/fiana.hikaru Seorang pecinta kucing yang memiliki banyak hobi dan impian.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 17 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com