Kecelakaan beruntun terjadi di tol arah kota B. Semua bermula dari sebuah mobil pick up pembawa galon air yang remnya mendadak blong—meluncur tak terkendali dan menghantam lima mobil di depannya. Dengan kecepatan yang nyaris tak terukur, benturan demi benturan menimbulkan kekacauan, jeritan, dan suara logam beradu. Lima belas nyawa melayang di tempat, dan satu korban lainnya ditemukan dalam keadaan luka parah.
Pengemudi mobil pick up, penyebab utama dari tragedi itu, juga tewas seketika—tubuhnya nyaris tak dikenali, menyatu dengan serpihan logam dan darah—hingga tak sempat…
Klik.
Suara televisi langsung terputus.
Nenek mematikannya. Aku yang sejak tadi hanya duduk terpaku dengan tatapan kosong, tak bergeming sedikit pun. Nenek mendekat, mengelus lembut kepalaku—satu-satunya sentuhan yang masih membuatku merasa hidup. Tapi tubuhku terlalu berat untuk mengekspresikan kesedihan ini. Rasanya seperti mati… tapi tetap bisa merasakan sakitnya.
Aku menatap tangan kecil adikku yang masih menggenggam erat, juga tubuh kakak perempuan yang dulu memelukku kuat. Semua itu terasa masih ada… masih hangat… hingga aku berpikir, mungkin ini hanya mimpi buruk karena aku lupa membaca doa sebelum tidur.
Setiap hari aku memanggil-manggil, "Mama…" berharap jawaban sarkastik yang dulu biasa kudengar, “Apa sih, manggil terus, mau nenen kah?” Tapi sekarang… hanya gema kosong. Nada suaranya menari-nari di kepalaku, dan air mata kembali mengalir tanpa bisa dicegah.
Suara langkah adikku, lincah dan riang, kini hanya kenangan. Senandung kakak saat mandi, teriakan Papa memanggil kucing kesayangan… semua hilang.lenyap dalam sekejap.
Dengan kursi roda, aku menyusuri lorong rumah sakit. Setiap roda berputar seperti menarik serpihan kenangan. Aku berhenti di taman, di bawah pohon rindang, memperhatikan anak-anak kecil yang tertawa dan berlari, seakan dunia tak pernah mengenal duka. Aku membayangkan adik kecilku ikut di antara mereka—berlari, tertawa, dijaga Mama dan Papa yang duduk tersenyum di bangku taman.
Saat aku sedang menikmati ilusi itu—tersenyum kecil, membiarkan diri hanyut dalam harapan palsu—sebuah tangan tiba-tiba menghalangi pandanganku. Aku menoleh cepat, kesal. Seorang laki-laki berdiri di sana, tersenyum. Wajahnya mengingatkanku pada Angga Yunanda, hanya saja lebih kurus dan memiliki tahi lalat di dagu kiri.
Matanya menatapku dalam, seperti mengenal. Aku segera memalingkan muka, mencoba mendorong kursi rodaku pergi. Tapi roda tersangkut… terjebak oleh batu besar yang membuatnya mustahil untuk bergerak tanpa bantuan.
Laki-laki itu berjalan pelan ke depan kursi roda, menundukkan pandangan.
"Butuh bantuan, nggak?" tanyanya, nada suaranya ringan, tapi tulus.
Aku menarik napas dalam. Mau tak mau, aku harus mengesampingkan egoku. Dengan ragu, aku mengangguk pelan. Senyumnya mengembang, seperti anak kecil yang baru saja mendapat izin bermain. Ia segera mendorong kursi rodaku, membantuku kembali ke kamar pasien.
Nenek sudah menunggu, langsung panik melihatku datang dengan orang asing.
“Jalan-jalan, Nek… terus kursi rodaku nyangkut. Untung ada dia.”
Nenek melirik ke arah yang kutunjuk. Laki-laki itu tersenyum lebar, memberi salam dengan sopan. Nenek tampak sumringah, seolah sudah mengenalnya sejak lama, dan langsung mempersilakan dia masuk.
Sikapnya hangat, obrolannya mengalir bersama teh hangat dan biskuit yang disodorkan Nenek. Hingga akhirnya, topik yang sempat aku pendam muncul dari mulut Nenek.
“Kamu kenal Tiara? Teman sekolah, ya?” tanyanya bersemangat.
Laki-laki itu mengangguk pelan, lalu mengeluarkan foto kelulusan SMP kami. Ia menunjukkannya pada Nenek, dan Nenek menyodorkannya padaku. Tapi aku hanya menggeleng perlahan—tidak ingat siapa pun di foto itu.
Hilangnya kenangan rasanya seperti kehilangan hidup itu sendiri. Tapi untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu… ada satu wajah baru yang muncul.
Sejak hari itu, Rio—laki-laki yang tiba-tiba muncul dan sok akrab denganku—perlahan menjadi bagian dari hidup kami. Ia sering mampir ke rumah Nenek, entah untuk mengantar makanan, meminjam buku, atau sekadar menyapa. Tak hanya itu, keluarganya pun kerap makan malam bersama kami—kadang merayakan sesuatu, kadang hanya untuk duduk satu meja dan tertawa sejenak, seolah luka yang pernah ada tak pernah benar-benar ada.
Kami juga masuk ke SMA yang sama. Kakiku sudah pulih sepenuhnya, tak lagi membutuhkan kursi roda untuk bergerak. Tapi rasa ngilu itu masih sering datang diam-diam, seperti hantu masa lalu yang enggan pergi. Karena itu, aku diberikan izin untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga.
Namun, bukan tubuhku yang paling rusak—melainkan ekspresi wajahku.
Sejak kejadian itu, aku tak mampu menunjukkan perasaan. Wajahku beku, datar, nyaris tanpa emosi. Teman-teman menjulukiku poker face. Mereka tahu apa yang terjadi, jadi mereka diam… dan menjauh perlahan.
Tapi Rio? Dia tetap di sana. Tidak peduli seberapa datarnya aku menatapnya, seberapa dinginnya aku bersikap, ia tetap setia. Sampai-sampai teman-teman menyebutnya golden retriever penakluk poker face—julukan yang membuatku ingin tertawa, tapi tak bisa.
Aku berkali-kali mencoba mendorongnya pergi. Sikapku sengaja dibuat lebih keras, lebih kasar, berharap ia lelah dan menyerah. Tapi usahaku selalu gagal. Rio selalu kembali, seolah aku adalah rumah yang ia cari sejak lama.
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarganya, aku mengajaknya berjalan ke taman belakang rumah mereka. Udara terasa tenang, tapi jantungku tak.
Aku berjalan lebih dulu, membiarkannya menyusul dari belakang. Saat langkahku berhenti mendadak, aku berbalik. Rio menghentikan langkahnya, memandangku dengan wajah bingung, seperti tak mengerti apa yang akan aku lakukan.
“Kenapa?” tanyanya pelan, nada suaranya seperti bisikan yang takut mengganggu.
Aku menatap matanya dalam-dalam.
“Kamu… ada hutang budi ya, sama keluargaku?”
Pertanyaan itu menampar keheningan di antara kami.
Sesaat, matanya berkedip—seperti ada kenangan yang tiba-tiba menyesakkan dadanya. Wajahnya sempat menggelap, sebelum kembali memasang senyum lebar yang sudah sangat familiar bagiku. Tapi kali ini, senyum itu terasa berbeda. Seperti topeng… yang sangat mirip dengan topeng milikku.
Aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan. Reaksinya terlalu cepat berubah, terlalu dibuat-buat. Tapi aku juga tahu… ini bukan waktunya memaksanya bicara. Luka orang lain tak bisa dipaksa terbuka.
Aku menahan napas, menunduk, dan memilih diam. Kami kembali melanjutkan langkah, hingga tiba di rumah kaca milik mamanya—bangunan mungil penuh tanaman, cahaya temaram, dan aroma mawar yang menenangkan.
Dan untuk pertama kalinya malam itu, aku merasa… mungkin bukan hanya aku yang hancur.
“Boleh masuk?” tanyaku pelan, ragu menyelusup di ujung suara.
Rio hanya terkekeh, melangkah lebih dulu, lalu berdiri di depan pintu rumah kaca. Aku menyusul, dan dia langsung membukakan pintu, mempersilakan ku masuk lebih dulu dengan isyarat lembut.
Di dalam, hamparan bunga seolah menyambut. Beraneka warna dan bentuk memenuhi ruang kaca itu. Di antara semuanya, mataku terpaku pada satu jenis—bunga kesukaan mama. Bunga forget me not. Indah sekali. Bunga kecil yang terdiri dari lima kelopak bundar, biasanya berwarna biru, meski beberapa varietasnya muncul dalam warna merah muda dan putih. Di tengahnya ada titik putih atau kuning yang tampak bersinar. Bentuknya seperti bintang mungil, kelopak-kelopaknya tipis, seolah melayang di udara.
Menyadari aku terus terpaku menatap bunga itu, Rio mengajakku mendekat. Kami jongkok berdampingan, membiarkan keheningan berbicara sambil menatap bunga kecil itu dengan takzim.
“Kamu tau nggak, ada cerita menarik kenapa bunga ini dinamain forget me not?” tanyanya tiba-tiba, membuyarkan lamunanku.
“Enggak…?” sahutku pelan, penasaran.
“Jadi, nama itu diambil dari bentuk daunnya. Tapi menurut mitos Yunani, ceritanya lebih seru. Katanya, Zeus pikir dia sudah ngasih nama ke semua tanaman. Tapi tiba-tiba, ada bunga kecil berwarna biru yang teriak, ‘Jangan lupakan aku!’ Akhirnya, dewa tertinggi itu mutusin buat ngasih nama itu ke bunga ini. Biar nggak repot juga,” jelasnya dengan nada ringan.
Aku tak bisa menahan tawa. Ini… adalah tawa pertamaku sejak kejadian itu. Rasanya hangat, aneh, tapi lega. Rio tersenyum lega melihatku, lalu tanpa sadar memelukku. Hangat. Tiba-tiba.
Begitu sadar akan posisi kami, kami berdua sontak menjauh, sama-sama memerah, sama-sama canggung.
Berusaha menutupi kegugupan, aku buru-buru menunjuk ke sebuah nama yang tertulis di antara rumpun bunga forget me not. Nama itu begitu familiar.
“SARAH?” gumamku, nyaris tak terdengar.
Rio langsung menjelaskan—itu adalah nama teman mamanya. Orang yang menghadiahkan bunga itu. Katanya, bibit bunga ini berasal dari perempuan yang pernah berjasa besar dalam hidup mamanya… karena dia pernah menyelamatkan nyawa anaknya. RIO.