Suasana rumah panti jompo itu terlihat sunyi. Pohon-pohon berjajar rapi di sisi kanan dan kiri. Ada pagar dari besi mengelilingi rumah panti sederhana mirip bangun belanda tempo dulu. Matahari perlahan-lahan merangkak naik ke permukaan. Kakek-kakek tua berbaju kaos coklat sambil menteng keresek hitam.
“Kakek Supriadi! Ayo masuk ke dalam. Kita makan bersama yang lain,” ajak salah satu petugas panti bernama Astrid. Dia sudah 10 tahun lebih bekerja di panti itu. “Bentar, anak saya mau datang. Nanti kalau saya masuk, dia enggak tahu kalau saya di sini.” “Nanti, saya gantiin ya Kek. Nunggu di sini?” “Enggak mau!” ujar Kakek dengan suara parau, tidak terlalu jelas karena faktor usia. “Nanti, Anak kakek Supriadi khawatir dan sedih loh, kalau kakek enggak makan nanti sakit.” “Ah, anak saya sedih. Saya enggak mau buat anak saya sedih dan bisa ngerayain anak hari raya.”
Hari-hari terus berlalu di panti jompo. Tidak terasa sudah dua minggu berlalu. Semua warga berbondong-bondong menjalankan sholat terawih. Kakek Supriadi tiba-tiba keluar dari asrama. Berniat bergabung dengan warga untuk ikut sholat terawih berjama’ah. Namun, pertugas panti mengejarnya dan melarang keluar dari panti.
Suatu hari, ada kunjungan dari aktivis-aktivis ke panti untuk menyelenggarakan kegiatan sosial di panti sekalian bagi-bagi takjil. Salah satu panitia bernama Asep, dia datang bersama anaknya berusia 7 tahun.
Setelah melakukan kegiatan sosial di sana, Asep kebingungan saat anaknya tidak ada di antara para audiens lainnya. “Gus! Kamu tahu enggak si Rendi di mana?” “Duh, enggak tahu aku sep.” Wajah Asep semakin panik, dia harus mencari Rendi sesegera mungkin. Dia takut, anak itu tersesat di bangunan panti.
Dibantu oleh petugas panti, dia menyusuri seluruh bangunan. “Arghh! Dimana anak itu. Selalu mencari masalah. Seharunya aku tadi tidak mengajaknya.” “Enggak ada Pak Di mana-mana.” “Apa enggak ada tempat lain?” “Coba taman depan.”
Sesuai intruksi petugas panti. Asep melangkah ke taman depan. Namun, saat sesampai di sana. Lelaki itu tidak menemukan Rendi sama sekali. “Di mana anak itu?” Asep menekan pinggulnya. Tiba-tiba terdengar suara anak kecil sangat riang di dekat pohon. Buru-buru Asep menghampiri sumber suara itu. Terlihat Rendi sangat riang bermain dengan seorang kakek-kakek.
“Rendi, kamu dicariin dari tadi ke mana aja?” “Ayah!” teriak Rendi sambil memeluk Ayahnya. “Tadi, Rendi hampir aja ke sesat di panti. Untung ada kakek ini yang menemin Rendi.” Asep melirik pria tua yang dikatakan Rendi. “Udah, kita kembali ke dalam!” “Tapi Yah!” Pria itu menghampiri Asep. “Anakku! Akhirnya kamu dateng juga.” Memeluk Asep erat dan menciumi wajah pria tua itu. “Maaf Kek, saya bukan anak Bapak!” “Nak! Bapak udah beliin baju hari raya buat kamu.”
“Maaf Pak Asep. Ini kakek Supriadi, dia agak pikun. Dan tiap hari selalu seperti ini, mengira semua pengunjung panti sebagai anaknya,” timpal pelayan panti itu. “Emang anaknya enggak pernah ke sini?” “Sejak awal kakek Supriadi di sini, tidak ada satupun sanak keluarga menjenguknya.”
Kakek Supriadi mengajak Asep duduk bersama anaknya. “Ya Allah, jadi cucuku sudah sebesar ini.” Menangkup kepala Rendi. “Akhirnya Nak, kamu datang juga. Pasti kamu mau jemput Bapak kan?” “Maaf Kek, saya bukan anak kakek.” “Duh, Gusti… kamu tega banget sama Bapakmu ini.” “Mbaknya tahu siapa anak kakek-kakek ini?” “Dia itu Juragan sawit.”
Setelah bertanya cukup banyak tentang informasi kakek Supriadi. Membuat hati Asep terketuk, saat dirinya sibuk mengejar pendidikannya di negeri orang. Saat sebuah telepon menghubunginya dan mengatakan Bapaknya sakit. Dengan tegas, pria itu menolak pulang ke rumah karena ada ujian di kampus. Namun, setelah wisuda dia baru tahu bahwa Bapaknya meninggal. Sepanjang hiduo Asep, dia selalu marah pada dirinya. Andai dia waktu itu menemui bapaknya, mungkin dia bisa bertemu untuk terakhir kali.
“Mbak! Saya boleh enggak ngajak bapaknya pulang ke rumah saya. Seminggu aja!” “Nanti saya bilang ketua yayasan.” “Baik, Mbak terimakasih.” Asep hanya ingin membawa bapak ini ke anaknya. Melihat pria tua itu, membuatnya mengingat pada dosanya yang telah lalu.
“Siapa Dia Mas?” “Dia salah satu penghuni panti jompo.” “Kenapa kamu bawa pulang?” “Aku hanya ingin mengajaknya menginap berberapa hari di sini. Dan berniat mengantarkan pada anaknya.” “Tapi Mas!” “Insya’Allah Allah akan membalas niat baik kita di bulan Ramandan.” “Kita rawat kakek dengan baik, seperti mana orangtua kita. Aku ke dalam dulu, menyiapkan kamar untuk Sang kakek.” Istrinya masuk ke dalam kamar. Asep hanya mampu mengelus dadanya agar semakin lapang.
Di malam hari, suara Adzan Isya’ Menggema. Asep dan Rendi berniat menunaikan sholat isya’dan terawih di masjid. “Kakek mau ikut?” ajak Asep. “Mau.” Pria tua itu langsung mengambil sarung dan menyusul Asep.
Mereka bertiga pergi ke masjid beriringan. Seperti keluarga sesungguhnya. Rendi bahkan tidak melepas cengkraman tangan kakek. Setelah menunaikan sholat isya’ suara takbir menggema. Mereka pun melanjutkan sholat terawih berjamaah. Hati Supriadi sangat senang, akhirnya setelah bertahun-tahun bisa menunaikan sholat Tarawih bersama.
“Alhamdulilah.” Setelah membaca doa-doa. Supriadi turun dari masji dengan tertatih-tatih. Apalagi kondisinya lanjut usia membuatnya kesulitan menuruni tangga. Asep memegangi tangan Supriadi agar bisa turun dari tangga masjid. Mereka berjalan di jalan beraspal sambil melihat bintang-bintang bertebaran di langit. Suara Tadarus terdengar dari atas toa masjid. Membuat suasana malam ini menjadi tentram.
“Terimakasih ya Nak, kamu sangat baik.” “Sudah semestinya Kek. Suara anak pada orang tua.” “Aku tahu, kamu bukan anakku.” “Maksud Kakek?” “Anakku tidak mungkin sholat ataupun mengajak sholat seperti kamu. Makasih banyak.”
Sambil memegang baju koko yang selalu dimasukkan ke kresek. Pak Supriadi turun dari motor bersama Asep. “Ini rumah anak Kakek?” “Iya. Ini rumah anak kakek.”
Asep dan Kakek supriadi menunggu kakek supriadi di depan gerbang karena tidak diijinkan masuk. Pria berseragam itu baru tiga tahun bekerja di rumah itu dan tidak tahu bahwa Supriadi adalah anak majikkannya.
Sebuah Mobil Apard keluar dari gerbang. Dengan tekad yang kuat, Asep hendak menabrakkan dirinya di depan mobil agar mobil itu segera berhenti. Dan benar saja, mobil itu berhenti dan saat mengetuk-ngetuk jendela mobil. Anak Pak Supriadi keluar, bajunya bersih dan rampi. Badannya terlihat gemuk pertanda dirinya sangat sehat.
“Kamu ngapain? Mau minta sumbanngan?” “Enggak Pak! Saya Cuma mau anterin kakek supriadi.” Mata Juragan itu mendelik saat menyadari bahwa di samping lelaki itu adalah Bapaknya. “Bapak! Ngapain bapak di sini? Seharunya Bapak enggak di sini.” “Ini, Bapakmu Nak.” “Iya, Wendi tahu. Wndi mau kerja dulu, tolong Mas Anterin baoak pulang! Wendi masih sibuk!” “Mas enggak bisa gitu. Dia datang ke sini untuk menemui Anda.” “Terus kenapa? Ada masalah. Pekerjaan saya lebih penting dari pada dia.” “Wendi!” “Kenapa Bapak Protes? Dulu Bapak yang mengajariku bahwa bekerja lebih baik dari apapun termasuk keluarga.” Jantung Supriadi melenyot, membuat dia menangis dam diam. Saat Asep ingin mengejar pria itu, Supriadi mencegah. “Udah biarkan saja.”
—
“Asep!” “Iya Kek.” “Dulu, aku salah mendidik anakku. Mungkin ini udah jalan hidupku, dan aku sudah ikhlas.” “Yang sabar kakek.” “Makasih. Kau anak yang baik. Dan ingin memberi amanah padamu. Saat aku meninggal kelak, jangan beritahu pada anakku makamku di mana dan jangan sampai tangannya memegang nisanku.” Asep tidak mengerti dengan pesan yang disampaikan Kakek Supriadi sebelum sholat terawih. Namun, saat sholat terawih berlangsung di rakaat witir terakhir, ada satu orang yang berada tepat di depan Imam tidak bangun-bangun. Saat salah satu jamaah hendak membangunkan Sang Kakek, ternyata tubuhnya sudah kaku tidak bernyawa. Di saat itu pula, air mata Asep langsung menetes. Karena seluruh kenangan bersama kakek sangat berarti.
3 Minggu Kemudian Seorang Bapak-bapak berpakain lusuh datang ke rumah Asep. Dia menangis dan meminta maaf pada Asep. Dia mengatakan seluruh hartanya telah habis, istrinya selingkuh dan anaknya meninggal. Semua harta yang dibanggakan lenyap seketika. Dan dia menyadari bahwa ini semua balasan dari sikap durhakannya pada Bapaknya.
“Tolong tunjukkan makan Bapak!” “Saya tidak bisa, karena amanah dari kakek tidak boleh engkau mengetahui makam dan memegang nisan Kakek.” “Saya mohon! Saya ingin meminta maaf padanya walaupun telat.” “Udahlah Mas, kasihan. Mas Asep tunjukkin aja makam Kakek tapi jangan boleh memegang nisannya.” Karena bujuk Rayu Sang istri, lelaki itu mengantar anak kakek supriadi ke makam. Dia menangis histeris tanpa bisa memeluk nisannya. Dia hanya memeluk baju koko yang pernah akan dikasih kakek padanya. “Maafkan aku Pak! Maaf… walaupun telat. Aku tetap meminta maaf.”
TAMAT
Cerpen Karangan: Aysea Akira (Ana) Nama pena Aysea Akira, tinggal di kota patria. Suka nonton dan juga berhalu, salah satu penulis favorite habiburhaman dan tere liye. sekarang aktif di berberapa patfoam di gitial Bisa baca karya aku di Goodnovel: Judul (Ayuna My Little wife) Novelme: Bersama Sang TuanMuda Noveltoon: Brondong My husband Fizzo: Dendam Sang Tuan perkasa
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 18 Mei 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com