"Yang Pernah Tenang"
Malam itu, langit mendung menggantung di atas kota. Di sudut jalan yang remang, Tegar duduk di atas motor bututnya, mengisap rokok sambil memandangi keramaian dari kejauhan. Suara tawa dan obrolan dari sebuah kafe kecil terdengar samar di telinganya. Ia memperhatikan seorang perempuan yang baru saja keluar dari kafe itu—Veny.
Ia mengenalnya bahkan sebelum wajah itu terlihat jelas. Veny tidak banyak berubah. Cara dia berjalan, cara dia menyibakkan rambut yang tertiup angin, semuanya masih sama seperti dulu. Tapi kini, ada sesuatu yang lain. Senyum itu. Senyum yang dulu sering ia lihat, kini terasa jauh lebih tulus, lebih damai.
“Gila, masih cantik aja lu, Ven,” gumam Tegar, sambil membuang puntung rokoknya ke tanah.
Tegar tidak pernah menyangka akan melihat Veny lagi setelah lima tahun berlalu. Lima tahun tanpa kabar, tanpa jejak, seolah-olah Veny benar-benar menghilang dari hidupnya. Dan sejujurnya, mungkin itu lebih baik. Mereka berpisah dengan cara yang tidak indah—bertengkar hebat di malam ulang tahun Veny yang terakhir mereka rayakan bersama. Kata-kata kasar dan kemarahan Tegar menghancurkan hubungan mereka dalam semalam.
Kenangan yang Datang
Melihat Veny dari kejauhan, Tegar merasakan dadanya sesak. Ia ingat bagaimana mereka dulu saling melengkapi. Tegar yang keras kepala, kasar, dan sering bertindak tanpa berpikir, selalu dilunakkan oleh Veny yang lembut dan sabar. Tapi kesabaran Veny pun punya batas. Dan malam itu, Tegar melewati batas itu.
“Lo pikir gue ini apaan, Gar? Boneka lo yang bisa lo marahin kapan aja? Gue capek!” suara Veny waktu itu masih terngiang di telinganya.
“Lo capek? Gue yang capek, Ven! Lo tuh banyak maunya! Gak bisa ngertiin gue sama sekali!” balas Tegar waktu itu, dengan nada yang jauh lebih tinggi.
Pertengkaran itu tidak pernah menemukan ujung. Setelah malam itu, Veny pergi dan tidak pernah kembali.
Rencana Kejutan
Tegar memandangi Veny sampai dia masuk ke sebuah taksi dan menghilang di tikungan jalan. Di kepalanya, tiba-tiba muncul sebuah ide. Seminggu lagi ulang tahun Veny. Ia tahu tanggal itu karena tidak pernah bisa melupakannya. Itu adalah hari yang selalu ia tunggu-tunggu, sampai hari itu menjadi momen yang menghancurkan segalanya.
“Kali ini beda, Ven,” gumam Tegar sambil menyalakan motor. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia ingin mencoba. Setidaknya, ia ingin meminta maaf—walaupun hanya dari jauh.
Persiapan yang Rumit
Selama beberapa hari berikutnya, Tegar sibuk mempersiapkan sesuatu untuk Veny. Ia mengumpulkan uang dari pekerjaannya sebagai mekanik bengkel, mencoba mencari hadiah yang menurutnya cocok. Tapi setiap kali ia melihat sesuatu, ia ragu. Apa Veny masih suka hal-hal yang dia suka dulu? Apa dia masih suka cokelat? Apa dia masih menyukai bunga mawar putih?
Di tengah keraguannya, Tegar teringat sebuah benda yang pernah mereka bicarakan dulu—kotak musik. Veny pernah berkata, “Aku suka banget kotak musik. Itu kayak ngasih kita momen tenang di tengah berisiknya dunia.”
Kotak musik. Itu yang ia cari.
Hari Ulang Tahun
Hari itu akhirnya tiba. Tegar berdiri di depan rumah kecil yang ia yakini adalah rumah Veny, berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari seorang teman lama mereka. Ia memegang sebuah kotak musik kecil yang dibungkus rapi dengan kertas cokelat. Tangannya berkeringat, meskipun cuaca sedang dingin.
Ia tidak berniat bertemu langsung dengan Veny. Ia hanya ingin meninggalkan kotak itu di depan pintu, lalu pergi. Tapi saat ia hendak menaruh kotak itu, pintu terbuka.
Veny berdiri di sana, mengenakan kaus santai dan celana panjang. Ia terlihat terkejut melihat Tegar berdiri di depannya.
“Tegar?” tanyanya pelan.
Tegar kaku, tidak tahu harus berkata apa. “Eh, gue... ini...” Ia mengangkat kotak musik itu, seperti bocah kecil yang ketahuan berbuat salah. “Selamat ulang tahun, Ven.”
Percakapan yang Lama Terpendam
Veny tidak langsung merespons. Ia memandang Tegar, lalu kotak musik itu. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia tersenyum kecil. “Masuk dulu, Gar.”
Tegar mengikuti Veny masuk ke rumahnya. Ruangan itu sederhana, dengan dekorasi yang mencerminkan kepribadian Veny—tenang dan hangat. Mereka duduk di ruang tamu, dengan kotak musik itu di atas meja di antara mereka.
“Gimana kabar lo, Gar?” tanya Veny, memulai percakapan.
“Ya, begitulah,” jawab Tegar singkat. Ia masih merasa canggung. “Gue cuma mau ngucapin selamat ulang tahun. Itu aja.”
Veny memandang Tegar dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. “Terima kasih. Tapi kenapa tiba-tiba?”
Tegar menghela napas panjang. Ia tahu, ini adalah saatnya untuk berkata jujur. “Gue cuma... gue cuma pengen minta maaf, Ven. Gue nyesel banget sama apa yang gue lakuin dulu. Gue tau gue banyak salah, dan gue gak pantes dapetin lo. Tapi gue pengen lo tau, gue selalu inget lo. Dan gue pengen lo bahagia.”
Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutnya, sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan.
Penutup yang Tenang
Veny terdiam lama. Ia menatap kotak musik itu, lalu membuka bungkusnya dengan hati-hati. Saat ia memutar kunci kotak musik itu, melodi lembut memenuhi ruangan.
“Ini indah, Gar,” katanya pelan.
Tegar tersenyum kecil. “Gue cuma pengen kasih sesuatu yang bikin lo tenang. Karena gue tau, gue adalah alasan kenapa hidup lo dulu jadi ribut.”
Veny menatap Tegar, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Gar. Aku sudah memaafkanmu sejak lama. Aku juga berharap kamu bahagia.”
Mereka tidak berbicara banyak lagi setelah itu. Tegar pamit, meninggalkan rumah Veny dengan perasaan lega yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hujan mulai turun saat ia menyalakan motornya. Tapi kali ini, hujan tidak terasa menyedihkan. Bagi Tegar, ini adalah penutup yang sempurna—perpisahan yang tenang, seperti melodi dari sebuah kotak musik.
.
.
.
.
.
.
Brooo.... Support aku terus ya, wajar pemula masih banyak salah. wajarlah manusia bukan nabi boyy. 😁