Suara ini sering terdengar dan hampir tidak pernah absen. Suara mesin pengaduk, memotong adonan empuk, oven berbunyi, ah, suara yang menemani sejak kecil. Aroma adonan matang yang membludak, bau vanili nya sangat semerbak dan menggoda. Aktivitas pagi di sebuah toko roti yang juga menjadi tempat tinggal Ana bersama keluarga tantenya.
“Te, aku siap-siap ke sekolah, ya, sudah jam setengah enam.” Ana melipat celemek dan menyimpannya di lemari kecil. “Iya, An. Sisanya biar tante sama om saja yang selesaiin,” sahut Tante sambil memindah nampan roti dari oven ke meja, “Oh, ya, Tante titip satu paket makan malam. Pulangnya jangan terlalu malam, ya.” “Oke, Te.”
Setiap hari Ana bangun jam empat pagi karena membantu tante dan om nya. Jam setengah enam, Ana mempersiapkan diri berangkat sekolah. Semenjak ibu pergi meninggalkan Ana entah ke mana, Ana tinggal bersama keluarga tante. “Hari ini adalah tujuh tahun kepergian Ibu. Sebenarnya ada di mana Ibu?” gumam Ana.
Dukkk… “Awww!” Ana mengelus bahu kirinya. “Sakit, An?!” Teman yang duduk di sampingnya, Desi, terperanjat. “Ril, tendanganmu kena Ana, tuh” Ela menunjuk ke arah Ana. “Waduh, sakit gak, ya?” Eril merasa bersalah. “Gak tau, tanya aja langsung ke Ana. Tapi, kelihatannya sakit, tendanganmu keras banget sih.” Eril menghampiri Ana, “An, maaf, ya. Gak sengaja. Sakit gak?” “Iya, santai. Ini gak begitu sakit kok, paling sakitnya cuman berapa menit,” ujar Ana masih memegang bahunya. “Tapi, kalo ada apa-apa, bilang, ya. Aku pasti tanggung jawab kok.” Lalu Eril berlari membawa bola menuju lapangan. “Nasib duduk di deket lapangan. Lagian kamu tadi bengong aja ada bola dateng, An.” “Gak papa duduk di sini kok. Akunya aja yang bengong, Des.” “Nanti kuat gak tuh pegang raket waktu ada klub?” “Em, aku nanti izin, ya. Ada acara keluarga di rumah, Des.” “Oke, sekalian sembuhin pundakmu, An.”
Kenapa Ibu pergi dari rumah? Terakhir Ana melihat Ibu di halaman depan sekolah. Ibu mengantarkan Ana sekolah dan memeluknya erat sangat erat. Ibu tersenyum lalu mencium pipi kiri kanan Ana. Seakan-akan tidak akan terjadi hal buruk. Seakan-akan dia akan bertemu Ibu lagi di halaman depan sekolah untuk menjemputnya pulang. Namun, satu jam berlalu Ana menunggu dengan rasa lapar dan tidak terlihat sosoknya. Saat itu tante yang menjemput Ana, ia berlari kecil dan menggendong Ana menuju taksi lalu memberi roti keju kesukaan Ana, seperti yang biasanya Ibu berikan, tante terlihat cemas melihat Ana. Semenjak itu tante tidak terlalu bercerita banyak tentang Ibu, dia terlihat tidak tahu apa-apa apalagi Ana yang saat itu masih berumur 10 tahun. Ana cemas dan kecewa melihat kenyataan yang terus berlangsung hingga saat ini. Ketika dia bertanya, “Di mana Ibu?”, tante mengatakan bahwa Ibu akan kembali suatu saat nanti. Tante dan om pun sudah berusaha mencari ibu, tapi hasilnya nihil. Sebenarnya apa yang terjadi pada ibu? Apakah ibu punya masalah? Apakah ibu pernah menangis sendiri di kamar? Apakah ibu merasa tertekan? Apakah ini semua salah Ana?
Malam ini mereka berkumpul makan malam bersama. Menyantap paket makan malam yang baru saja Ana beli. Tersaji tumis kangkung, udang goreng, ikan goreng, nugget, sambal ijo, buah segar, dan dessert. Cika, anak semata wayang tante yang masih berumur lima tahun sangat suka dengan nugget, Ana sengaja membeli sebungkus nugget lagi. Memang seperti ini jika tante dapat pesanan banyak, tidak sempat memasak makan malam. Om juga terlihat lelah pulang dari sekolah setelah mengajar, dia salah-satu guru di sekolah dasar.
“Tante sudah siapin 20 kotak roti di dapur toko. Tapi, Tante sama Om gak bisa nemenin kamu. Gak papa, kan?” tanya Tante. “Gak papa kok, Te. Lagian kotaknya cuman untuk orang-orang di sekitar.” “Kalo gitu Cika aja yang memenin Mbak Ana, boleh, kan?” rajuk Cika. “Boleh juga tuh. Nanti dibantuin Mbak Ana, ya.” Cika mengacungkan jempol sambil memperlihatkan gigi susunya.
“Tadi Tante dapet pesenan banyak. Setelah ini Om masih harus lembur. Maaf, ya, gak bisa bantuin,” ucap Om. “Ya Ampun, gak papa, Om. Om sama Tante selama ini selalu bantu aku dan jadi keluarga baruku.” Tante dan om tersenyum.
“Mbak Ana, berangkat, yuk!” “Aku bersihin meja makan dulu, ya.” “Udah langsung berangkat biar gak keburu malem. Biar Tante yang bersihin ini.” “Makasih ya, Te. Lain-kali aku yang masakin biar gak beli paket makan malam.” Tante tersenyum.
Setiap mengenang kepergian Ibu dari rumah, tante membuat roti yang dibungkus kotak untuk diberikan kepada orang sekitar atau orang yang membutuhkan. Tidak ada niat buruk, semua ini menjadi bentuk kepercayaan bahwa Ana akan bertemu ibunya. Menjadi salah-satu harapan di dalam rajutan do’a. Mengenang hari terakhir melihat ibunya sebelum dilahap bumi.
Mereka mengitari komplek dekat rumah, cukup banyak orang yang membutuhkan. Mereka bertemu pemulung, tukang becak, dan pengemis. Sepuluh kotak untuk orang yang membutuhkan dan sepuluh kotak lagi untuk tetangga terdekat. Mereka membagikan harapan di setiap do’a, memori lama, kesedihan, dan tentu saja kebahagiaan yang melengkapi Ana selama ini. Kebahagiaan yang menemani Ana saat ini dan kebahagiaan yang nantinya membawa Ana ke pelukan ibu.
“Akhirnya sampai rumah juga.” Ana melangkahkan kakinya memasuki dapur. “Udah selesai cuci piringnya, Te?” “Eh, udah pulang, ya. Iya udah dari tadi, ini lagi nyiapin bekal buat Cika. Besok dia les piano,” sahut Tante. “Biar aku aja yang bikinin bekalnya Cika, Te.” Ana menuang air ke gelas. “Kapan-kapan aja, tapi jangan sering-sering. Cika tanggung jawab Tante, biar dia juga bisa makan masakan Ibunya.” Tante tertawa kecil. “Aku ke kamar dulu, ya,” kata Cika seraya menenteng cemilan keripik kentang dan teh hijau. “Cika sama Ana kalo mau roti, di meja kasir ada tuh. Tadi lupa gak dibawa ke sini.” “Cika nyemil ini aja,” sahutnya lalu mengangkat kakinya dari dapur. “Aku mau, Te.” Ana bergegas ke toko. Toko dan rumah tidak jauh. Menjadi satu bangunan dan hanya dibatasi dengan pintu geser.
Ana menarik lima roti keju di meja kasir. Biasanya ini adalah roti yang tersisa di toko kami. “Eh, lampunya belum dimatiin nih.” Ana bangkit dari lendehan.
Hampir menekan tombol off, tiba-tiba ada orang mengetuk kecil pintu toko. Pintu di toko ini adalah pintu kaca. Dari dalam Ana pernah melihat orang ini, entah kapan. Dia melirik jam dinding, jam setengah sembilan, padahal sudah ada tulisan “TUTUP”.
“An, ini aku. Kamu gak lupa, kan?” Orang itu terus mengetuk kecil. “Oh!” Ana segera membuka pintu. “Maaf, aku tahu tokonya udah nutup, tapi apa ada sisa roti, An?” “Ternyata Eril.” “Em, ada, tapi adanya roti keju. Sisa lima roti, Ril,” balas Ana. “Aku beli, ya, please,” ucapnya dengan penuh harap. “Oke deh, bentar, ya.” Ana segera mengambil roti itu.
“Bye-bye roti keju” “Oke, makasih, ya. Ini uangnya.” Eril menyodorkan dua lembar uang sepuluh ribuan. “Uangnya pas, ya.” Aku menarik uang itu dari sentuhan jari Eril. “Tadi lampunya masih nyala, An. Jadi, aku berharap masih ada orang di toko ini.” “Pas banget. Tadi aku mau matiin lampunya, lho.” “Belum terlambat aku dong. Ibuku suka banget sama roti isi keju. Jadi, aku bawain oleh-oleh ini.” “Ibumu mau ke luar kota?” “Ibuku itu dokter, dia ada praktik di pinggir kota. Sudah tiga hari di sana, aku mutusin untuk jenguk Ibuku.” “Di-di pinggir kota?” Ana tercengang. Eril mengangguk keheranan. “Kapan? Aku ikut, please. Di sana ada keluargaku juga. Boleh, ya? Besok libur, kan.” Ana sangat berharap. “Boleh lah. Aku tunggu besok di terminal A jam delapan pagi.” Ana menganggut penuh kebahagiaan.
Pinggir kota, tempat Ana dulu tinggal bersama ibunya. Ana ingat halaman rumahnya penuh dengan berbagai ragam bunga. Dia ingat betul ketika ibunya mengajak ke taman kota, piknik bersama, dan mengunjungi makam ayah. Tiga tahun yang lalu, terakhir Ana mengunjungi kampung. Saat itu dia hanya bisa mematung di depan rumah, tidak bisa memasuki bangunan bersejarah itu karena disegel. Ana pikir ibu menunggu di sana, menunggu di sudut kota, atau makam ayah. Namun, Ana tidak melihatnya dan akhirnya dia tidak mengunjungi kampung lagi. Kini Ana ingin memastikannya sekali lagi.
Perjalanan dari pusat kota ke pinggir kota memakan waktu satu jam. Mereka turun di sebuah tempat seperti perumahan kecil, tempat itu menjadi rumah sementara bagi dokter atau perawat yang bertugas beberapa saat saja, tidak tetap. Bagi dokter atau perawat tetap di rumah sakit itu, mereka harus punya tempat tinggal di luar kawasan perumahan ini. Perumahan ini kecil, tapi cantik dan elegan. Di sini mereka beristirahat di tempat ibu Eril. Setiap rumah memiliki model yang sama dan di dalamnya terlihat modern.
Ana dan Eril duduk di sofa ruang tengah sedangkan ibu Eril, Tante Irma, menyiapkan makan siang. “Oh, iya, pundakmu masih sakit gak? Soalnya kemarin kamu gak dateng klub.” “Gak kok, Ril,” jawab Ana singkat. “Ke-kemarin gak sengaja aku liat klub bulu tangkis latihan, tapi gak ada kamu. Kirain kamu gak dateng klub gara-gara pundakmu sakit.” “Gak kok, aku memang rencanain gak dateng klub soalnya ada kesibukan mendesak di rumah.” “Oh, gitu.”
Eril merogoh dua buah cookies coklat di meja kayu depan kami. Dia menyodorkan satu cookies untuk Ana dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. “Ma-Makasih.” Ana menerimanya dengan malu-malu. “Nanti sore mau jalan-jalan bareng? Misalnya lihat matahari terbenam di bukit kecil. Gak jauh dari rumah sakit, kan.” “Pasti seru, tapi…” Ana menggantungkan katanya-katanya. “Kenapa?” “Apa nanti sore aku boleh ke rumah keluargaku sebentar saja? Aku ganti aja kita liat sunrise. Besok jam dua pagi kita ke bukit bareng. Terus pagi sampai siang, kita bisa beli jajanan karena sorenya kita pulang. Gimana?” “Boleh juga, An. Apa perlu aku antar ke rumah keluargamu?” “Gak usah, aku sendirian saja. Maaf gak bisa ngajak kamu, ya.” “Oh, gak papa. Santai aja.”
“Ana, Eril, makan dulu, yuk!” panggil Tante Irma dari dapur. Ana dan Eril bergegas ke dapur. “Maaf gak bantu masak, Te. Tadi kita asyik ngobrol. Nanti, aku aja yang bikin makan malam, ya.” “Gak papa kok soalnya Tante pengen masakin menu spesial buat kalian berdua, sup merah.”
Tentu saja masakan Tante Irma enak sekali. Jarang sekali bisa makan sup merah. Terakhir makan sup merah, tiga bulan yang lalu saat keluarga tante ada acara keluarga di luar kota dan Ana dimasakkan sup merah. Setelah merapikan meja makan, Ana dan Eril tidur siang. Ana di ranjang tempat Tante Irma tidur dan Eril di sofa sedangkan Tante Irma ke rumah sakit.
“Mau berangkat?” tanya Eril. “Iya.” “Jangan malem-malem kalo pulang, ya. Hati-hati di jalan. Nanti kalo ada apa-apa, telpon aku, ya.” “Oke. Aku berangkat, ya.”
Jarak rumah Ana dari rumah sakit hanya satu kilometer, tidak begitu jauh. Jalan kaki sambil memutar kembali memori lama dan mengenang jalan sejarah hidup. Ditambah lagi dengan atmosferik sore yang segar dan cerah.
“Eh? Ru-Rumahnya di mana, ya?” Ana menengok kanan kiri melihat keadaan sekitar yang tidak asing baginya. Di hadapannya hanya ada tanah kosong yang berumput. “Ana!” pekik seseorang dari rumah di sebelah tanah kosong lalu dia berlari mendekat. Ternyata dia…, “Keke!” Ana terkejut. Dia teman dekat Ana. “An, akhirnya kamu ke sini. Kamu sudah tiga tahun gak ke sini. Kamu sibuk, ya?” tanya Keke dengan penuh kecemasan. “Waktu itu aku nyerah, aku merasa semuanya sia-sia ketemu Ibuku.” “Satu tahun yang lalu, ada orang yang meratakan rumahmu. Kita gak tau siapa, mereka nyeremin banget. Waktu itu Om Ridwan, ayahnya si Remi, tanya ke mereka, tapi malah ditinggal pergi, gak dijawab.” “Di-diratakan? Rumahku diratakan. Ru-Rumahku.” Seketika Ana merinding, matanya berkaca-kaca. Seperti ada sengatan keras di badannya.
“An, kamu gak papa?” “Ibu, aku mau Ibuku. Ibuku di mana?” Ana menangis tersedu-sedu. “Ana!” Jihan berlari mendekat. “Ibuku di mana? Aku pengen banget ketemu Ibuku.” Saat ini hanya itu yang Ana pikirkan dan inginkan. Setelah rumahnya hancur, Ana berharap dapat menemukan ibunya. Dia berharap ibunya tidak menghilang.
Keke dan Jihan bertukar pandang seakan mereka menyimpan sesuatu. “Gini, An.” Jihan memulai bicara, “Sebenarnya Ibumu…” “Kenapa Ibuku? Kalian tahu kabarnya?” “Hilangnya Ibumu itu karena beberapa alasan, tapi kami hanya tahu salah-satunya. I-Ibumu terkena am-amnesia karena kecelakaan. Tapi, selama ini kita gak pernah liat Ibumu di daerah sini. Mungkin ada di luar kota,” lanjut Jihan. “Am-amnesia?” Seakan-akan kenangan mereka tidak berarti apa-apa lagi.
Ana tersengut-sengut di pelukan Keke dan Jihan. Melihat Ana, tetangga-tetangga keluar mendekati. Semua memberikan semangat, do’a, dan pelukan untuk Ana. “Tiga hari yang lalu, kami dapat kabar dari Karin, katanya dia lihat Ibumu di ruang UGD rumah sakit kota ini. Beberapa orang menjenguk Ibumu, mukanya berubah banget dan Ibumu gak inget sama kita,” cerita Keke. “Berarti Ibuku sekarang masih ada di rumah sakit?” “Mungkin aja, An. Coba tengok lagi,” ucap Tante Ira, tetangga yang dulu sering bertukar bunga dengan ibu Ana. “Aku mau ke sana. Makasih banget informasinya.” “Sama-sama, kalo ada apa-apa, cerita ke kita, jangan lupa sama temen masa kecilmu,” ujar Jihan. “Meskipun Ibumu gak ada di kampung bukan berarti tetanggamu gak ada di sini. Maen ke sini kalo liburan dong,” lanjut Sinta. “Pasti aku ke sini lagi. Kalo gitu aku berangkat, ya. Sekali lagi, makasih, ya.” Ana melambaikan tangan dan berlari kembali ke jalan yang tadi ia lewati.
Cerpen Karangan: Felita Sukanti Blog / Facebook: TulisanTangan / Felita Sukanti Felita Sukanti lahir di Bondowoso, 18 Desember 2003. Kini menjalani studinya di Universitas Jember program studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Aku instagramnya @felita__ski
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com