Ana tiba di rumah sakit. “Permisi, di sini ada pasien atas nama Ibu Enggar?” tanya Ana pada perawat di meja administrasi. Perawat itu mengetik sesuatu. “Pasien atas nama Enggar, tidak ada, Dik.” “Eh? Gak ada.” Ana bingung. Mungkin karena amnesia, Ibunya lupa dengan nama sendiri. Tapi, siapa nama baru ibu Ana, ya? “Ibu saya masuk rumah sakit tiga hari yang lalu dan dibawa ke ruang UGD.” Perawat itu mengetik sesuatu. “Tiga hari yang lalu ada satu pasien yang masuk ruang UGD. Namanya Ibu Rani Cantika.” “Oh, Ibu Rani, ya. Terima kasih.” “Sama-sama.”
Ana berlari tergesa-gesa mencari kamar pasien. Rasa rindu sudah tak bisa terbendung. Sayangnya, Ana lupa bertanya di mana keberadaan kamar ibunya. “Waktu Ayah masuk rumah sakit, kamar pasien ada di sini. Sangking tergesanya, aku lupa nanya nomor berapa kamar Ibu. Ceroboh banget aku,” celetuk Ana.
Ana kembali berlari menuju meja administrasi. “Maaf sebelumnya. Nomor kamar Ibu Rani berapa, ya?” “Ibu Rani siapa, ya, Dik? Banyak pasien yang namanya Rani. Sebutkan nama panjangnya, Dik.” “Rani Cantika.” Perawat itu kembali mengetik. “Pasien atas nama Rani Cantika ada di kamar nomor 39.” “Terima kasih banyak, Mbak. Permisi.” Kini Ana tidak bingung lagi harus ke mana. Dia berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar 39. Sungguh tidak sabar Ana menanti momen ini.
Terlihat anak kecil tengah kebingungan, kepalanya tak henti menengok kanan kiri. Mungkin anak ini terpisah dengan orangtuanya. “Dik, lagi nyari siapa?” Ana memberanikan diri bertanya. “Mbak, aku terpisah sama Mama aku. Tadi Mama ada di samping Tia. Mama mana, ya? hiks hiks.” Matanya mulai mengeluarkan butiran air. “Waduh, kok bisa padahal gak begitu ramai di sini. Tia mau menjenguk, ya? Tadi Tia gak gandeng tangan Mama?” “Iya, Mbak. Kita mau jenguk kakek. Mama Tia bawak banyak paper bag. Jadi, gak bisa gandeng tangan Mama.” Ana beranggapan kalau Tia terpisah dengan Ibunya di sekitar pintu masuk atau sekitar meja administrasi karena cukup ramai di sana.
“Berapa nomor kamarnya?” “Nomor 5, Mbak.” “Ya ampun, di sini sudah nomor 30. Kenapa kamu kesasar sampai sini, Dik?” “Tadi Tia asal ngikutin orang yang pake baju kuning soalnya baju Mama juga kuning. Persis banget, tapi itu bukan Mama.” “Ini sudah lumayan jauh. Aku sudah hampir sampai kamar Ibu. Tapi, kasihan Tia, dia juga pengen ketemu Mamanya.” “Ya udah, Mbak anter, yuk!” Ana menggandeng erat tangan Cika. Tangan mungil itu sedikit basah karena tadi mengusap air mata. Kami berjalan sambil bercengkrama tentang sekolah Tia dan kakek Tia.
Brakkk… Tepat di depan kamar 15. Seorang perawat terjatuh karena berjalan tertalah-talah. Lembaran kertas berhambur di lantai. Orang-orang membantu perawat untuk berdiri. “Mbak, sini saya bantu.” Ana berhenti untuk mengambil kertas yang berserakan. Deg… “Data Ibu Rani Cantika… pasien mengalami sakit jantung… Tanggal 14/2, hasil pemeriksaan tidak memuaskan.” “Ibu,” gumam Ana.
“Terima kasih banyak sudah membereskan, ya, Dik.” Perawat dengan cepat mengambil lembaran itu dari genggaman Ana. Terlihat perawat itu berpapasan dengan perawat lainnya. “Langsung ke kamar jenazah.” Mereka berdua berjalan cepat. “Perawat tadi cuman bawa data Ibu. Apa iya ibu sudah, gak mungkin. Aku harus positive thinking.”
Ana tergopoh-gopoh mendekati mereka dan memberanikan diri bertanya. “Maaf mengganggu. Apakah pasien atas nama Ibu Rani Cantika ada?” “Adik ini anaknya, ya?” tanya perawat yang tadi terjatuh. “Iya.” “Dik, Ibumu meninggal dunia baru saja. Kami harus segera mengurus ibumu. Permisi, ya,” jawabnya lalu berjalan dengan cepat meninggalkan Ana.
“Ibu! Ibu! Ibu!” Ana menjerit keras dalam hati. Air mata berlinang deras. Tia yang melihat dari jauh langsung menghampiri Ana.
“Mbak, kenapa nangis?” Ana menangis sesenggukan. Dia hanya bisa duduk terkulai lemas di lantai. “Kenapa endingnya seperti ini? Apa tidak ada kesempatan lagi? Aku pengen lihat Ibu tersenyum, aku pengen.”
Tidak sengaja Eril melihat Ana. “Loh, An?! Kamu kenapa?” Eril duduk di hadapan Ana. Ana membisu, dia terus menangis.
“An, berhenti dulu dong nangisnya.” Eril berusaha menenangkan Ana. Tia menghapus air mata Ana.
“Mbak, kenapa? Kita jalan lagi, yuk!” Ana lupa dengan keberadaan Tia yang mencari mamanya. Tia juga ingin bertemu mamanya. “Gak papa kok.” “An?” lirih Eril. “Ril, kamu lagi nganggur gak?” “Iya, nganggur kok. Barusan dari ruangan Ibuku, dia lupa bawa handphone. Kenapa?” “Ril, aku minta tolong boleh, ya?” “Boleh kok.” “Tolong anterin Tia ke kamar nomor lima, ya. Tadi Tia terpisah sama Mamanya. Boleh, kan?” “Boleh kok. Tapi, ada syaratnya.” Ana mengernyitkan dahi. “Syarat apa?” “Nanti ceritain ke aku kenapa kamu nangis,” bisik Eril tepat di telinga kiri Ana. Ana mengangguk.
“Tia sama Mas Eril, ya. Mbak Ana mau jenguk Ibu dulu, ya.” “Ayo, aku anterin ke Mamamu, ya.” Eril menggandeng tangan Tia. Tia menurut dan mereka pergi berlalu. “Semoga lekas sembuh Ibunya, ya, Mbak. Dadah.” Tia melambaikan tangan. “Sembuh?” Hati Ana sangat tertusuk. Dia mengharapkan itu juga, tapi kenyataan berkata lain.
“Kamu Ana, ya?” Tiba-tiba seorang perempuan mendatangi Ana yang hendak membuka pintu, rasanya lebih muda dari tante. “E… Iya.” Ana terkesiap. “Nama aku Zakia Jelita Putri. Panggil aja Kia. Silahkan masuk.” Tante Kia menggiring Ana memasuki kamar. Tampak jelas kain putih menutupi badan ibu.
Tante Kia membuka kain putih, menunjukkan wajah cantik Ibu. Benar, dia adalah ibuku yang bertahun-tahun ingin Ana peluk. Wajahnya memang terlihat berbeda, tapi dia yakin inilah sosok yang dirindukan. “Ibumu meninggal dunia beberapa menit yang lalu.” Mata Tante Kia berkaca-kaca. “Ibu!” pekik Ana. Ana memeluk erat Ibunya. Ana menangis keras, sangat keras. Tante Kia juga memeluk Ana. Tante Kia sedih melihat keduanya bertemu seperti ini. Penantian yang tidak sesuai ekspektasi. Namun, inilah takdir Tuhan. Tidak ada yang tahu.
Ibu disemayamkan tepat di samping makam ayah. Kebetulan sekali di samping ayah kosong. Ana tentu saja ikut, Eril pun juga ikut menemani Ana. Setelah dihubungi, tante dan om segera mengunjungi mereka sedangkan Chika dititipkan di rumah neneknya. Setelah tante dan om tiba, mereka berkumpul bersama di ruang tengah.
“Nama asli mbak saya itu Enggar Astutiana. Dipanggil Enggar,” ujar Tante. “Oh, Enggar, ya. Oke.” Tante Kia mengangguk. “Sebelum meninggal, Mbak Enggar sempat menyebutkan nama Ana, dia bilang itu nama anaknya. Tiba-tiba nama Ana terbesit di kepalanya. Padahal sebelum-sebelumnya dia gak inget punya anak,” cerita Tante Kia. “Te, kenapa Ibu kabur? Mungkin Tante Kia tahu,” tanyaku sangat penasaran. Ini adalah pertanyaan yang jawabannya tidak akan pernah ada di mana-mana. “Begini, Ibumu kabur karena terjerat hutang. Karena Ibumu tidak mampu membayar, rumahmu yang harus diserahkan. Katanya dia menitipkan sementara anaknya di rumah tantenya karena takut kalau anaknya tidak bisa makan kalo menunggu mendapat pekerjaan. Itu cerita teman Mbak Enggar karena temen Mbak Enggar tetangga aku dan tahu tentang kehidupan Enggar. Aku denger cerita ini sebelum ketemu Mbak Enggar.” “Enggar waktu itu bilang ke saya begini, titip anakku, ya. Pasti aku jemput sewaktu-waktu, terus nanti aku gantiin pengeluaran buat Ana. Saya inget banget waktu itu dia bilang gitu,” kata Tante.
“Aku ketemu dia waktu kecelakaan, kebetulan aku mau ke pasar. Tiba-tiba dari depan rumah denger suara tabrakan kenceng banget, dari sini perempatan kelihatan rame banget terus aku samperin. Ya ampun, darah banyak banget, aku di sana tolongin sampai juga ikut bareng ambulans. Mirisnya, dia gak bawa handphone atau identitas apa pun. Setelah diperiksa dan sadar, Enggar amnesia jangka panjang atau bisa-bisa permanen. Aku bingung banget dong karena identitasnya tidak diketahui. Jadi, aku kasih nama Rani dan aku ajak tinggal bareng. Kebetulan suami aku lagi lanjutin studinya di luar negeri dua tahun, pulangnya kalau libur panjang doang.”
“Apa Ibu operasi muka? Wajahnya berubah banget,” tanya Ana. “Iya, An. Kecelakaannya parah banget, ada pengendara yang mabuk dan kebut-kebutan motor di jalan. Kalau pagi, jalan emang masih sepi mungkin karena itu mereka mentang-mentang kebut-kebutan. Banyak darah pokoknya sampai harus dioperasi muka, aku gak kuat banyangin itu lagi.”
“Selama ini Enggar kerja di mana?” tanya Tante. “Enggar kerja di perusahaan sebagai OB. Satu perusahaan sama aku, tapi aku di bagian sekretaris. Aku kurang tahu kenapa Enggar mengalami sakit jantung, mungkin dia kecapekan, ya. Tapi, di sini Enggar banyak temennya, samping rumahku itu rumah ibu aku sama kakak aku.”
“Tapi, bener-bener keajaiban, mamamu nyebut nama Ana sebelum meninggal. Dia bilang ke aku kalo ketemu Ana, sampaikan minta maaf. Mbak Enggar juga bilang Ana adalah harta berharga miliknya dan suaminya” lanjut Tante Kia. “Ya ampun, padahal aku pengen ketemu Ibu dan ngajak tinggal bareng lagi.” Ana menangis tersedu-sedu, entah ini berapa kalinya dia menangis. Mereka saling menguatkan Ana. Tidak ada yang ingin seperti ini. Namun, Ana harus mengikhlaskannya. Perpisahan yang tidak terduga akan seperti ini. Sangat menyakitkan.
Tante dan om pulang pagi harinya. Ana dan Eril menghabiskan waktunya di bukit melihat matahari terbit seperti yang sebelumnya dijanjikan. Mereka melihat matahari datang menghapus kesedihan yang kemarin Ana alami. “An, habis sarapan, jalan-jalan, yuk. Biar kamu gak sedih lagi.” “Boleh, tuh. Lama banget gak jalan-jalan di sini. Oh, ya, sebelum pulang temenin aku ke makam, ke tetangga aku, sama ke rumah Tante Kia, ya.” “Oke, siap.” Ana tersimpul cantik. Tergambar senyuman tulus dan rasa bersyukur di sudut bibirnya. Eril sangat senang melihat Ana tersenyum.
“Ngomong-ngomong, gimana si Tia kemarin?” “Tia langsung peluk mamanya. Mamanya keliatan lega dan terharu banget. Oh, iya, ini ada titipan dari Tia dan mamanya.” Eril merogoh sebuah paper bag dari dalam tasnya. Mereka membuka bersama staples pada paper bag itu. “Wah, ini jaket yang lagi ngetren itu, kan?” Ana girang melihatnya. “Ini jaket mahal, lho. Eh, jaketnya couple, An.” Eril juga sangat senang. Ini adalah jaket yang ia impikan. Eril perlu menabung untuk membeli jaket ini. “Em, so sweet, Ril. Pake, yuk! Kebetulan lagi dingin nih.” Jaket dengan perpaduan warna abu-abu tua dan putih itu sangatlah cocok untuk mereka.
Sangat menyakitkan tidak bisa melihat senyuman terakhir ibunya sebelum meninggal dunia. Namun, saat ini dan selamanya, Ana harus mengikhlaskan kepergian ibunya. Ana merasa hidup sebentar bersama ayah dan ibunya. Namun, kenangan mereka sangatlah panjang. Banyak hal yang terjadi saat Ana masih kecil, seperti memancing bersama, pergi ke pusat bermain anak, menanam bunga di depan rumah, dan masih banyak hal seru yang mereka lakukan. Ana berharap suatu saat nanti ia bisa berkumpul kembali bersama ayah dan ibunya. Kebahagian dan kesedihan pasti akan selalu ada dalam lembaran hidup ini, mereka silih berganti menemani hidup. Kebahagiaan dan kesedihan adalah pelajaran hidup yang sangat berharga.
Cerpen Karangan: Felita Sukanti Blog / Facebook: TulisanTangan / Felita Sukanti Felita Sukanti lahir di Bondowoso, 18 Desember 2003. Kini menjalani studinya di Universitas Jember program studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Aku instagramnya @felita__ski
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 2 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com