“Tuhan tidak akan mengecewakan hambannya apabila hambanya melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.”
Seketika air mata terlinang. Inginku memiliki kedua orangtua yang bisa mengasihiku dengan baik dan mengabulkan segala permintaanku sampai bisa menggapai cita-cita yang tinggi.
Dari kecil, aku hidup bersama kedua orangtua angkatku, yang biasa kupanggil Bapak dan Ibu. Kami hidup di bangunan kecil yang terbuat dari bambu bukan tembok. Mereka mengangkatku untuk menjadi anaknya ketika aku berusia lima tahun. Setiap hari, mereka menyuruhku untuk mengamen di pinggir jalan supaya dapat bertahan hidup, karena mereka tak punya pekerjaan tetap. Bapak setiap hari bermain j*di bersama teman-temannya. Meskipun bapak bekerja sebagai supir, tetapi gaji yang dibayarkan tak seberapa. Setiap aku meminta untuk berhenti mengamen dan ingin bersekolah, mereka akan memukulku dan memarahiku. “Dasar anak kurang ajar kamu ya! Udah! Kaga ada sekolah sekolah! Pokoknya kamu kerja biar dapet duit buat makan.” Aku sedih, aku ingin pergi dari sini dan mencari kedua orangtuaku, kenapa mereka meninggalkanku di panti asuhan.
“Haris, jangan ngelamun!” kata Ridho. Kubalas dengan senyuman. Ridho adalah sahabat setiaku. Dia baik dan pintar. Orangtuanya pun baik dan ramah. Hanya saja, dia ingin membantu kedua orangtuanya untuk mencari nafkah. Setiap hari, aku dan Ridho mencari buku bacaan untuk dibaca. Karena, aku dan Ridho sadar, bahwa membaca itu penting untuk bisa mengerti dunia. “Ridho, andai aku punya orangtua yang bisa menyanyangiku dan memanjakanku, ya.” “Iya Ris, aku tau kamu, kok. Sabar ya, Ris! Tuhan pasti punya kejutan untukmu nanti, Ris. Kita sekarang berdoa dan berusaha. Usaha ngga mengkhianati hasil, yuk semangat!” kata Ridho sambil menyengir.
Apa yang dikatakan Ridho ada benarnya. Tuhan pasti punya jalan untuk hambanya dan punya kejutan yang tidak bisa disangka oleh hambanya. “Yuk, kita ngamen lagi.” kata Ridho sambil mengulurkan tangan. “Yuk” kuraih tangan Ridho dan ya, saatnya kembali mencari uang. Suatu hari nanti aku berjanji aku akan menjadi orang yang sukses dan membahagiakan negara. Aku ingin pergi dari sini meninggalkan orangtua angkatku.
Matahari mulai turun. Dan saatnya aku bersama Ridho kembali pulang untuk istirahat. Akan tetapi, saat berjalan menyusuri trotoar, tiba-tiba nafasku sesak, kepalaku pusing, dan badanku lemas. “Ridho, Ridho, tolong aku?” “Haris, Haris, kamu kenapa? Tolonggg tolonggg.” Ridho teriak mencari bantuan untukku. “Ya Allah, Dek, ayo kakak bantu, pak tolong masukan anak ini di mobil saya, ya!” samar-samar aku melihat seorang wanita yang menolongku.
“Haris, anakku sayang, maafkan Bapak Ibumu yang sudah meninggalkanmu di panti asuhan ya, nak. Dulu Ibu takut kamu ngga bisa makan karena Ibu sama Bapak ngga punya uang buat beli makan.” kata Ibu sambil mengusap pipiku. Aku melihat Ibu dengan tatapan iba. “Tak apa, Bu! yang penting sekarang Haris hidup bersama ibu lagi.” Lalu, Ayah Ibuku memelukku dengan erat. Aku rindu dengan suasana hangat ini, aku tak mau lagi hidup bersama orangtua angkatku sekarang. Ya Tuhan, terima kasih telah memberikanku orangtua sebaik ini.
Tiba-tiba Ayah dan Ibu melepaskan pelukanku “Hati-hati ya nak. Jaga diri baik-baik!” sambil melambaikan tangan dan meninggalkanku. Aku ingin lari, tapi tak bisa. Badanku kaku dan lemas. Aku menangis sejadi-jadinya, dan aku langsung teriak “Ibuuuuuuu!!” Tiba-tiba mataku terbuka, nafasku tak beraturan.
Huhh ternyata ini hanya mimpi, “Harisss! Alhamdulillah kamu sadar. Kamu pingsan sejak kemarin.” kata Ridho dengan senang, “Haris, bagaimana keadaanmu sekarang?” Kata seorang wanita yang samar-samar aku melihatnya kemarin “Eeee, iya kak, lumayan baik, tapi masih lemes.” kujawab dengan suara lirih “Kenalin dek? nama Kakak Arafah. Kamu panggil saja Kak Ara, ya!” sambal mengulurkan tanganya. “Haris, Kakak sempet dengar tentangmu dari Ridho. Mulai sekarang Kakak mau Haris sekolah dan tinggal di rumah Kakak. Kebetulan kakak di rumah banyak Adik-adik juga. Jadi, kamu bisa main sama Adik-adik Kakak.” aku memandang Kak Ara yang baik. “Sebenernya aku mau Kak, tapi aku takut kedua orangtuaku marah.” Muka Kak Ara pun berubah menjadi cemas. Aku tau, tak mudah jika sekedar izin dan pergi dari Bapak Ibu. Karena Bapak Ibu memanfaatkanku untuk mencari uang. “Ya udah Haris. Yang penting kamu ke rumah kakak dulu ya! nanti di sana belajar bareng sama Adek-adek Kakak.” tanpa pikir panjang langsung kuiyakan tawaran Kak Ara.
Esoknya, kata dokter aku sudah boleh dibawa pulang dan Kak Ara sudah membayarkan semua registrasi rumah sakit. Lalu aku memasuki mobil dan pulang ke rumah Kak Ara. Sesampainya di rumah Kak Ara, aku disambut oleh keluarga Kak Ara dengan baik. Tapi, tidak untuk seorang wanita beramput pendek yang melihatku sinis dan diam. “Selamat datang, Haris.” kata Ibu-ibu ramah yang sedikit sudah tua yang biasa dipanggil mbok Sar. Kata Kak Ara, orangtua mereka sudah meninggal sejak setahun yang lalu karena kecelakaan. Suatu malam, ada mobil yang dikendarai oleh Kakak Kak Ara yang bernama kak Ata dan kak Ata. Kalau teringat kejadian tersebut akan stress, trauma, dan membanting barang yang ada di depannya.
“Haris! ayo ke kamarku!” kata Andi dan Renan sambil menarik tanganku. “Waw, kamar kalian bagus banget.” Kataku takjub. Baru pertama kali aku melihat kamar sebagus ini. “Haris, nanti malam tidur sini aja!” kata Renan “Iya, aku mau, tapi aku takut Bapak Ibuku marah.” “Udahh ngga papa! Tidur sini aja selamannya! Biar ngga dimarahin!” kata Andi.
Setelah mengobrol dengan Andi dan Renan, mereka terlelap dan aku pun ikut terlelap sampai pagi. Ketika kita sedang sarapan dan mengobrol. Duarrr! Duuarrrr! Suara pintu rumah Kak Ara. “Woyyy! Mana Haris? Harisss, Hariss!” suara tak asing di telingaku. Aku kaget itu Bapak. Langsung aku lari sembunyi di kamar Renan dan Andi. Pintu dibukakan oleh Mbok Sar, Bapak Ibu dengan lancang langsung masuk mencari aku “Haris, Hariss! mana kamu, jangan sembunyi ye”
“Sebentar Ibu, Bapak disini saya mempunyai niat baik untuk nak Haris, kami ingin memberi dia Pendidikan yang layak dan baik untuk nak haris” kata Kak Ara dengan nada lembut. “Halahhh lu kaga usah kebanyakan ngomong, mane sekarang Haris, Haris harus dikasih hukuman karena dia kabur dari rumah.” Kata Ibu sambil mengacungkan tanganya.
Aku tidak betah dengan perdebatan ini, kasihan Kak Ara yang berniat baik menolongku tapi dia dibentak oleh Bapak Ibu. Langsung aku keluar dan menemui Bapak dan Ibu “Nah ini nih, bocah kaga ada aturan main kabur kabur aje ye” Ibu menarik telingaku “Dah, ane mau balik dulu jangan lagi-lagi ye, ambil anak orang sembarangan” kata Bapak sambil mengepalkan tangan didepan wajah Kak Ara, aku memandang Kak Ara lalu menunduk dan pulang.
Cerpen Karangan: Nadia Safira Firdaus Blog / Facebook: Nadia Safira Firdaus Nadia Safira Firdaus biasa dipanggil Nadia/Fira lahir pada tanggal 11 Juli 2003 di Purworejo. Putri dari H. Muslikhin Madiani S,Ag.M.S.I (ayah) dan Hj. Robingatul Mutmainnah M.Pd.I (ibu). Nadia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara. Anak pertama bernama Muhammad Azka Firdaus anak ke-3 bernama Daffa Nurussofa Firdaus dan anak ke-4 bernama Zuha Elysia Firdaus. Berdomisili di PPM. El-Furqon 1 Panorama dan tinggal di Jl H. Agus Salim no.56 Purworejo, Jawa Tengah. Dari kecil hingga saat ini orangtua Nadia sangat memperhatikan sekali antara ilmu dan agama. Tak hanya itu di rumah orang tua Nadia menekankan disiplin kepada empat anaknya. Pendidikan dimulai dari TK Batik Perbaik mulai pada tahun 2007, SDIT Salsabila 5 Purworejo selesai pada tahun 2015, Mts Sunan Pandanaran selesai pada tahun 2018, MA An-Nawawi diselesaikan pada tahun 2021. Dan sekarang sedang menjalani Pendidikan kuliah di UIN Saizu fakultas Tarbiyah.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 4 Juni 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com