Suara isak tangis menyambutku dari bangun tidur. Aku mengernyit, merasa tak biasa dengan suasana bising ini. Setelah keluar dari kamar, aku berjalan menuju ruang tengah di mana di sanalah sumber kebisingan paling ramai.
Netraku mengedar, berusaha memahami apa yang terjadi. Seseorang tertangkap oleh netraku. Dia menatapku. Aku mengerjab lalu tersenyum sembari melambaikan tangan.
Hei apa-apaan? Dia malah memalingkan wajah, mengacuhkan keberadaanku yang kini berdiri di sampingnya. Aku mendengus, adik tak sopan. Tunggu tunggu … sejak kemarin oh bukan sejak dia lahir dan tumbuh sebagai anak remaja dia memang tak pernah menganggapku. Jangankan berucap denganku, cuma tak sengaja bertatap saja dia langsung pergi menjauh.
Aku memutuskan meninggalkannya yang kini malah menetaskan air mata. Aku berjalan ke arah ayah yang melamun, menatap kosong ke arah depan. Aku menundukkan diri di sebelahnya, menghela napas lalu bertanya. “Ayah, kenapa rumah ini sangat ramai?”
Pertanyaanku tak dijawab oleh ayah. Aku menundukkan kepala. Walau sangat-sangat sering diacuhkan oleh ayah, aku tetap merasa sakit hati. Hatiku perih, terasa sesak saat ayah menoleh ke arahku dengan netra berkaca-kaca. Kemudian, cairan bening itu keluar dari kedua aksa ayah, meluncur lalu menetas jatuh ke sebuah buku yang sedari tadi ayah pegang. Buku yang kini ayah dekap kuat.
“Maaf … maafkan Ayah.”
Untuk kedua kalinya selama aku hidup, aku melihat ayah menangis. Pertama, saat ibu tiada dan kedua, saat ini.
“Kamu tetap gadis kecil Ayah. Sampai kapanpun akan selalu begitu. Maafkan Ayah …”
Kemudian, adikku datang, menghampiri kami dengan wajah kacaunya. Kedua lelaki itu saling berpelukan. Dari jarak sedekat ini, aku tahu bahwa ayah dan adikku sama-sama menangis. Bahu tegap itu bergetar. Aku jadi ingin pelukan juga.
“Tenang di sana Kak. Maafkan adikmu ini.”
Netraku melebar tatkala adikku, Deva mengusap wajah seseorang di foto yang dicetak. Foto itu diambil olehnya dari buku yang tadi ayah pegang. Aku menunduk, menatap kakiku yang tak lagi menapak tanah. Ah, kini aku mengerti.
Tatapanku beralih ke foto itu dan buku tadi. Foto yang diusap adikku adalah sosokku. Sedang buku yang tadi dipegang ayah adalah buku harianku. Yang kuberi judul ‘Books for Family’. Ngomong-ngomong, aku seperti melihat seseorang. Siapa dia?
Dulu, aku terlahir tak sempurna. Aku cacat dari lahir. Tak bisa berjalan. Belum lagi kondisi tubuhku yang sakit-sakitan. Daya tahan tubuhku lemah. Kehadiranku sebagai anak pertama tentu selalu dinantikan oleh orangtua. Sayangnya, aku yang tak sempurna membuat orangtuaku sering bertengkar. Sampai akhirnya, mereka bertengkar hebat. Ibu mengajakku pergi dari rumah karena sakit hati dengan ucapan ayahku yang menyuruh ibuku untuk menyerahkanku pada panti asuhan. Saat itu umurku 2 tahun.
Kondisi jalanan yang licin sebab semalaman diguyur hujan membuat kursi rodaku tergelincir. Aku terjatuh. Ibu menolongku. Saat itulah sebuah motor melaju kencang ke arah kami. Kemudian, pandanganku gelap.
Ibu tiada karena menolongku. Namun, ajaibnya bayi yang ada di perut ibu selamat. Itu adikku yang kemudian diberi nama Deva. Persis seperti namaku, Devi. Aku tahu, di akhir hayatnya, ibu masih memedulikan aku. Memohon pada ayah untuk tak memberikanku kepada panti asuhan. Memohon pada ayah untuk tetap merawatku. Tetap menganggapku putri kecilnya.
Ayah mengiyakan hanya saja sejak itu, ayah mengacuhkanku. Aku dirawat oleh bibi. Suster paruh baya yang disewa ayah untuk merawatku. Perlakuan ayah sangat berbeda terhadap Deva. Mungkin karena dari lahir, Deva tak merasakan kasih seorang ibu, ayah jadi sangat memanjakannya.
Deva tumbuh menjadi lelaki remaja nakal. Deva juga tak menganggapku. Dia ikut mengacuhkanku. Seolah-olah aku itu tiada. Telah tiada. Atau tak pernah ada. Sedih? Tentu saja. Sakit hati? Sangat. Tapi, aku tak bisa melakukan apapun. Hanya memendam. Semua yang kurasa saat itu, aku tuangkan dalam untaian huruf di buku.
‘Untuk Ayah,
Aku minta maaf tak bisa menjadi putrimu yang sempurna. Aku minta maaf karena terlahir cacat. Aku minta maaf sebab karena kehadiranku, membuat Ayah dan Ibu saat dulu bertengkar. Sampai akhirnya, Ibu pergi karena diriku. Ayah, seandainya Ayah tau bahwa aku juga tak ingin dilahirkan jika kehadiranku membuat orang di sekitarku kesusahan. Bahkan mengalami kesialan.
Untuk Deva,
Hai Adik. Kakak harap, ketika kamu membaca ini kamu menyadari bahwa Kakak itu ada. Kakak harap, kamu menjadi lelaki yang penuh tanggung jawab nantinya. Nakal boleh asal tau batas. Jangan sakiti hati perempuan karena itu artinya kamu menyakiti hati Ibu dan juga, hati Kakak. Jika kamu menemukan seseorang, ceritakan pada Kakak yaa. Kakak minta maaf karena Kakak kamu tak bisa merasakan kasih Ibu. Maaf …
Ayah, putrimu ini pamit. Jangan terlalu manjakan Deva. Sesekali, Deva harus ditegasi juga. Biar dia jadi lelaki hebat.
Deva, kakakmu ini pamit. Jaga Ayah selalu. Sayangi Ayah.
Love,
Gadis kecil Ayahku dan kakak adikku Devi’
Aku kembali membaca ulang tulisan terakhirku. Sedih. Ternyata pamitku ke alam selanjutnya. Saat aku mendongak, di depanku ada Ibu. Dengan pakaian yang sama sepertiku. Putih bersih.
“Aku memaafkan kalian. Jangan terlalu berlarut dalam kesedihan. Aku dan Ibu akan memperhatikan dan menjaga kalian dari atas sana. Bye, Ayah. Bye, Deva.” Bisikku sebelum menyambut tangan Ibu yang terjulur padaku.
Ayah dan Deva menatap ke arah kami. Aku tahu, mereka merasakan keberadaan kami. Dan untuk terakhir kalinya, aku tersenyum lalu perlahan mulai mengabur bersama cahaya. Hilang bersamaan dengan hembusan angin senja.
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Da. Dapat ditemui di Wattpad Akun pribadi: @Daa_zure Akun bersama bestie: @Filila_3