Srek srek Gadis yang berpenampilan tak terurus itu terus menerus menarik pensil warnanya di atas lembaran kertas. Warna-warna itu muncul di atas kertas yang awal mulanya kosong, menjadi sebuah gambar yang indah.
Air matanya jatuh tanpa ia sadari, kini tangannya terlihat bergetar serta nafasnya tak beraturan. Di ruangan yang gelap itu, ia menutup mulutnya sekuat tenaga berusaha untuk tak bersuara. Tasa, begitulah orang-orang memanggilnya, bagaimana tidak. Tasa lahir tanpa diberi nama oleh orangtuanya. Karena ia lahir dari hubungan diluar nikah, saat itu orangtua Tasa masih berusia 17 Tahun. Tapi karena perbuatan senonoh, mereka terpaksa dinikahkan karena harus mempertanggung jawabkan perbuatan mereka.
Bagi mereka, si kecil Tasa adalah anak haram. Sang ibu hanya membiarkan Tasa hidup sendiri, para tetanggalah yang mengurus tasa selama ini. Mereka merasa iba karena kedua orangtuanya selalu pergi dan membiarkan dirinya sendiri. Tasa memang tak pernah bersuara, mengeluarkan suara kecil ataupun mengeluh kesakitan pun tak pernah. Ia tak ingin ibunya merasa jengkel dan terganggu, karena itulah yang dikatakan sang ibu padanya bersamaan luka besar di punggung Tasa. Orangtua Tasa benar-benar tak peduli apakah ia hidup atau tidak, pernah para tetangga ingin mengadopsinya namun tasa menggeleng dan menulis sebuah kalimat “Tolong jangan pisahkan aku dengan orangtuaku” setelah tasa belajar bagaimana caranya menulis dan membaca.
Tasa, mengangkat kertasnya. Senyum kecil terukir di wajahnya, kini coretan-coretan itu membentuk beberapa gambar. Matanya terlihat membengkak dan nafasnya masih tak beraturan, namun ia masih tidak peduli. Ia berdiri, membuka kamarnya secara perlahan. Ia sudah tau bahwa orangtuanya akan pulang besok pagi, ia pun menaruh lembaran itu di kamar mereka. Kembali menutup pintu dan berlari menuju ruangannya.
Ia melihat sebuah lembar kertas kosong yang tersisa, mengambil sebuah pensil warna hitam. Ia membuat garis lagi dan kali ini bukanlah gambar melainkan kalimat. Setelah ia selesai, ia melipat kertas itu kemudian menaruhnya di bawah tikar.
Ia tersenyum kemudian berbaring, rasa kantuknya kini terasa. Tasa kecil yang malang, rambut yang acak acakan, dan tubuhnya yang terlihat kurus tak terurus. Ia mengangkat telapak tangannya, lalu mengelus kepalanya sendiri. Disaat itu ia benar benar telah tertidur, dengan senyum yang masih terukir di wajahnya yang lugu.
Saat matahari sudah terbit, Tasa terbangun. Kali ini ia terbangun di atas hamparan bunga yang luas, bunga-bunga yang begitu indah. Ia melihat sekeliling, seorang wanita dan pria yang melambai ke arahnya. Tasa berteriak “Ayah! Ibu!” ini pertama kalinya ia mengatakan kata-kata itu. Kemudian berlari, sekuat tenaga memeluk mereka dan mereka semua berjalan ke sebuah cahaya.
—
Bendera kuning, terpasang di tembok pagar rumah Tasa. Beberapa orang berkumpul, mengelilingi seseorang yang berbaring tertutup kain kafan putih. Beberapa orang menangis, membacakan surat Yasin.
Sepasang Suami Istri datang di pagi hari, mereka hendak mengernyitkan dahi mereka melihat orang-orang berkumpul di rumah mereka. “Kenapa kalian berkumpul di rumah saya?” ucap sang pria. Semua orang menatap satu sama lain, kemudian membisikkan mereka berdua. “Pak Safrun, saya turut berduka cita” ucap ketua rt. “Berduka cita? Siapa yang tiada?” Ketus sang wanita.
Seorang laki-laki keluar dari dalam rumah, meminta persetujuan untuk segera mengangkat jenazah.
Sang wanita masuk ke dalam rumah, semua orang terdiam melihat kedatangannya. Wanita itu mendekat ke arah jenazah, duduk di sampingnya kemudian membuka kain penutup. Tasa, gadis manis itu masih tersenyum kecil meskipun ia sudah pergi dari dunia. Tangisan wanita itu pecah, ia memeluk erat sang anak. Membuat semua orang refleks memisahkan dirinya dengan Tasa.
“Lepaskan, dia anak saya!”
Semua orang tak dapat berkata-kata, mereka sudah yakin bahwa sebenci apapun wanita itu terhadap sang anak. Ia tetap memiliki kasih sayang terhadapnya, sayangnya Tasa tak dapat melihat, bahwa ibunya masih sayang terhadapnya. Sang Ayah terdiam di lantai, alih alih ia merasa tak peduli atas kematian sang anak. Bagi dirinya, hal ini tak ada kaitannya bagi kehidupannya.
“Hei, kenapa kalian masih diam. Cepat bawa jenazah itu sebelum membusuk” Ucapnya acuh tak acuh. Wanita itu berdiri, menghadap suaminya. “Lihatlah dia, apakah dirimu masih belum sadar. Aku begitu salah, tidak aku sangat salah. Aku adalah ibu yang jahat, jika seandainya yang Maha Kuasa mengambil nyawaku lebih dulu menggantikan anakku setidaknya aku bisa menebus dosaku” Ucap wanita itu. Seorang wanita tua membawanya mendekati Tasa, ia memeluk sang wanita. “Saya adalah ibu yang buruk” wanita itu kembali menangis. Ia tak dapat lagi memeluk sang anak, karena sang anak telah disucikan. Sang suami hanya berdecak, kemudian masuk ke kamarnya, dan tak lagi keluar hingga orang-orang sudah pulang dari pemakaman.
Sang istri melihat pintu rumah masih terbuka lebar, ia menghela nafas. Menghapus air matanya, dan masuk ke dalam rumah. Sesempat mungkin ia masuk ke ruangan milik tasa, aroma yang tak sedap langsung menusuk penciumannya. Ia masuk lebih dalam, tikar yang biasanya tasa gunakan untuk tidur ia rapikan. Terlihat sebuah surat kecil, di bawah tikar. Ia mengambil surat itu. Ia hendak membukanya namun ia mendengar suara barang yang pecah dari kamar tidurnya. Bergegas ia masuk, dan melihat sang suami hendak melukai tangannya menggunakan pecahan gelas. Sang istri dengan sigap, mengambil pecahan gelas itu, melemparkannya jauh-jauh.
“APA YANG KAU LAKUKAN!” Teriak sang istri.
Suaminya tak menjawab, ia hanya menyodorkan 4 lembaran kertas penuh dengan gambar. Gambar-gambar itu dibuat oleh anak mereka, sang istri teringat dengan surat yang ia temui tadi. Lekas ia membukanya, saat ia hendak membacanya. Air matanya pecah, sang suami yang melihat sang istri kembali menangis segera mengambil kertas itu. Tulisan anak-anak namun masih bisa dibaca membuat air matanya pecah.
“Ayah dan ibu, gambar-gambar itu hadiah dari tasa. Tasa gak tau cara menggambar yang benar, jadi pasti Ayah sama ibu gak ngerti dengan apa yang tasa gambar ya :(. Tasa gambar, ayah sama ibu juga tasa, lagi ngerayain ulang tahun tasa. Terus ada gambar Ayah sama ibu meluk tasa pas lagi tidur, ada gambar tasa sama Ayah dan ibu lagi makan bersama. Tasa gak pernah ngerasain masakan ibu, tapi pasti masakan ibu paling enak. Terakhir tasa gambar foto keluarga, tasa gak pernah diajak buat foto keluarga jadi tasa gambar deh, pensil warnanya dikasih sama ibu kiky yang baik hati, dia suka ngasih tasa makanan sama ngajarin tasa belajar nulis. Ibu kiky punya anak kecil perempuan, kalau tasa punya adik. Ayah sama ibu akan sayang kan sama adik tasa? Yang sehat ya Ayah, ibu. Coretan-coretan ini, tasa berharap semoga benar-benar terwujud. Sayang tasa”
Di malam yang sunyi itu, mereka berdua terus menerus menangis. Dibalik penderitaan tasa, ia masih menyayangi orangtuanya. Dibalik coretan yang ia buat sebelum ia pergi tanpa sadar membuat mereka berdua merasa kehilangan. Tak bisa memutar waktu, ataupun memeluk dan mengecup kening sebagai ucapan Selamat malam serta maaf untuk yang terakhir kalinya, karena tasa sudah kembali kepada sang Pencipta.
Sekian dari saya Fichria Ovi. Merupakan cerita hidup yang disingkatkan, semoga kalian enjoy!
Cerpen Karangan: Fichria Ovi Hai, kenalin aku Fichria. Masih baru dalam menulis, biasanya aku mencurahkan semua perasaan terhadap tulisan ku. Semua cerita fiksi dan ada yang non fiksi. Saya gabutan orangnya, kalian kalau mau tanya tentang saya atau cerita saya boleh DM di ig @Ichria.o Pls jangan steal ceritaku, kalau kalian suka boleh kirim email suara hati kalian mengenai cerita saya lewat email ini ya fichriaovitavorens[-at-]gmail.com Sekian Terimakasih selamat membaca