Senja menjelang ketika ombak menyentuh kakikku, angin sore berembus, menerbangkan rambut panjangku. Betapa aku menyukai sore di pinggir pantai seperti ini. Kini aku melihatnya kak, keindahan jingga menyepuh biru laut yang selalu kakak ceritakan padaku. Perasaanku bercampur antara haru, sedih dan juga rindu. Suara debur ombak seolah menemaniku, memanggil namamu.
Bertahun-tahun lalu, kakak mengajakku kesini, duduk diatas pasir putih dan menceritakan tentang eloknya laut biru, menceritakan bisingnya suara ombak dan menggambarkan putihnya awan yang menghiasi langit. Aku mendengar semua ceritamu dengan rasa kagum, betapa aku ingin melihat semua hal yang tampak indah di matamu saat itu, kak.
“Kakak punya dua mata yang bisa melihat dunia, jika bisa, kakak ingin memberikannya satu untukmu. Biar kamu juga melihat warna-warni kehidupan bumi.” Kata kakak yang begitu kuingat saat itu. Kakak paham betul, sebesar apa keinginanku untuk melihat warna, entah itu merah, biru, hijau, kakak juga benar-benar mengerti betapa gelapnya duniaku yang hanya berwarna hitam.
Dentingan piano yang selalu kakak mainkan, dan suara petikan gitar yang membuat tenang masih terekam jelas dalam ingatanku. Bayangan kakak yang duduk sembari bermain piano selalu membuat aku menangis, andai aku bisa melihat kakak bermain piano secara langsung, mungkin aku akan menjadi adik paling bahagia di dunia ini. Namun, Tuhan tak pernah memberikanku mata yang bisa melihat senyum kakak dengan jelas, aku hanya mampu membayangkan rupa kakak, tawa kakak dan perawakan kakak.
Kakak menceritakanku tentang langit, menunjukiku rasi bintang ketika bahkan aku tak tahu rupa bintang seperti apa. Selama delapan belas tahun hidupku dalam hitam, aku merasa beruntung memiliki seorang kakak yang begitu penyayang, kakak yang tak pernah peduli dengan kecacatanku dan memperlakukanku layaknya manusia. Setiap kali aku menangis karena cacian mama yang tak menerima cacatku, kakak selalu datang memelukku, mengatakan bahwa aku terlahir istimewa. “Mama hanya sedang lelah, dia tak bermaksud menyakitimu. Percayalah kamu adalah orang istimewa, seorang adik yang benar-benar berharga bagi kakak.” Kata kakak saat itu, andai kakak tahu, kekuatan perkataan kakak saat itu membangkitkan semangatku untuk hidup.
Aku memang tak mampu melihat, namun aku mampu merasakan hangatnya kasih sayang kakak lewat suara musik yang kakak ajarkan, dari dentingan tuts piano, petikan gitar dan lagu-lagu manis yang selalu kakak nyanyikan. Rasanya aku merasa beruntung, walaupun hidup dalam ketidak beruntungan. Ketika ada kakak, hidupku yang hanya hitam terasa berwarna, kakak selalu membagi keindahan dunia denganku, ketika bahkan aku tak tahu rasa sakit yang kakak alami saat itu.
Mama bilang, kakak sedang berlibur ke rumah nenek saat itu, namun aku merasa heran mengapa kakak berlibur begitu lama? Rasanya aku seperti ditinggal sendirian dalam gelap. Tak ada lagi suara kakak yang menceritakan birunya langit, tak ada lagi suara kakak yang membacakan novel petualangan yang begitu seru. Entahlah, aku merasa begitu kosong, tak ada kabar atau telepon dari kakak, yang bisa kulakukan hanyalah bermain piano, bahkan aku merasa mama dan papa pun jarang di rumah saat itu. Kakak harus tahu, sampai sekarang pun aku masih terus bertanya-tanya mengapa saat itu tak ada seorangpun yang memberi tahuku?
Dua bulan tanpa kehadiran kakak membuat aku merasa hidupku tak berguna, terlalu kosong, bahkan aku berpikir, jika aku mati pun rasanya tak akan ada penyesalan. Namun, mama tiba-tiba datang memelukku dengan tersedu-sedu, mengatakan bahwa aku akan bisa melihat. Aku sangat bahagia hari itu, sampai-sampai aku ingin menelepon kakak dan mengungkapkan kebahagiaanku. Hari itu tak sedikitpun aku menyangka, bahwa mata yang aku terima adalah mata milikmu, kak.
Operasi mataku lancar, dan aku bisa melihat warna-warna yang selalu kakak ceritakan. Hal pertama yang aku tanyakan ketika mataku bisa melihat sinar adalah keberadaan kakak. “Dimana kakak ma? Aku ingin melihat dia.” Kataku saat itu, mama hanya menunduk menahan tangis yang tak bisa ditahannya. Aku bingung, bertanya-tanya mengapa, kemudian semuanya diam. Papa memberitahu bahwa kakak sudah pergi ke tempat yang lebih baik, kakak sudah tak ada lagi di dunia ini.
Aku begitu hancur mendengar kabar itu, terasa menyakitkan ketika tahu bahwa aku melihat dengan mata kakak. Aku marah pada mama dan papa, mengapa mereka tak pernah memberi tahuku tentang kanker yang kakak derita? Kakak selalu menghiburku, bahkan memberikan aku penglihatan akan dunia, namun mengapa aku tak diizinkan untuk menghibur kakak juga? Mengapa hanya aku yang tidak diberitahu tentang kepergian kakak? Rasanya begitu salah, aku menerima donor mata dengan rasa bahagia, tanpa tahu bahwa kakak telah pergi.
Berbulan-bulan aku berduka, merasa begitu marah pada mama dan papa. Namun, kemudian sedikit demi sedikit harapan hidupku kembali. Aku menonton semua videomu ketika di rumah sakit kak, tubuhmu yang semakin kurus, kepalamu yang menjadi botak dan selang infus yang selalu menempel di tanganmu. Aku baru menyadari, bahwa kakak yang aku sayangi ini begitu tampan, begitu baik sampai rela membuatkanku video tentang keseharian kakak ketika dirawat di rumah sakit. Meskipun aku tak pernah melihat senyum kakak secara langsung, aku merasa begitu dekat tiap kali melihat videomu kak, tawamu tetap sama, meskipun banyak peralatan medis menempel di tubuhmu.
“Jika mungkin nanti kamu bisa melihat dengan mataku, jangan salahkan siapapun Na. Kakak yang meminta mama dan papa untuk tidak memberitahumu tentang ini, kakak benar-benar tak ingin kamu menjadi sedih. Dokter bilang hidup kakak tak akan lebih lama dari sebulan, tapi siapa yang tahu? Bisa saja kakak mati besok? Atau mungkin bertahun-tahun lagi. Hidup dan mati itu terserah Tuhan.” Kakak tersenyum, kemudian menghela napas dan menatap kamera seolah menatapku.
“Na, jika kakak pergi nanti, kakak titip kedua mata kakak di kamu ya. Jangan merasa bersalah karena ini keinginan kakak. Nanti, kamu bisa melihat laut, langit, bintang dan banyak hal. Kakak akan bahagia dan pergi dengan tenang kalo kamu juga bahagia. Teruskan mimpi kakak untuk menjadi pianis, kakak percaya kamu bisa Na. Satu hal lagi yang harus kamu tahu, kakak menyayangimu selamanya, kakak tak akan benar-benar pergi, kakak akan selalu hidup dalam ingatan dan hatimu.” Sekali lagi, kakak tersenyum, kemudian mengucapkan selamat tinggal sebelum menutup rekaman. Aku menangis, terasa begitu menyakitkan melihat kakak kesakitan begitu. Mengapa tak kakak sendiri yang meraih mimpi kakak? Mengapa harus aku?
Setelah kepergian kakak, hidupku berubah. Mama jadi lebih memperhatikanku dan menyayangiku. Papa pun begitu, selama ini papa tak pernah menganggapku, tapi sekarang dia mengajariku berpiano setiap sore. Aku memang mendapatkan apa yang aku ingin, penglihatan, kasih sayang mama dan papa, namun aku benar-benar sulit melepaskan. Begitu berat menerima kenyataan bahwa kakak telah tiada.
“Aku sudah mengejar ketinggalan pendidikanku kak, minggu depan aku akan berangkat ke Swiss, negara yang paling ingin kakak kunjungi. Aku dengan kedua mata kakak, akan meneruskan mimpimu kak, menjadi pianis hebat.” Kataku pada debur ombak yang memantulkan warna jingga matahari. Aku benar-benar berharap bahwa ombak itu menyampaikan pesan dan rinduku pada kakak.
Terima kasih kak, karena kakak aku bisa melihat dunia.
Arunika Wardani
Cerpen Karangan: Arunika Wardani