Sore ini, setelah lima hari di Australia, akhirnya aku kembali ke rumah. Bukan tanpa alasan ke sana. Aku bersama dua temanku, mempunyai YouTube channel yang kami bangun bersama sejak kuliah S1. Berkat usaha dan doa kami, channel ini makin berkembang dan kami bisa mendapatkan uang dari konten yang kami buat. Kami membuat konten travelling karena kami memiliki hobi yang sama yaitu, travelling.
“Hentikan keluyuran ke luar negeri, memangnya apa untungnya buatmu!” Ibu mengoceh sedari tadi yang melihatku pulang travelling dari Australia. Apakah ini cara menyambut dari mereka? Apa aku salah mempunyai hobi seperti ini? Mereka berisik sekali. Menuntutku ini itu. “Bu, aku capek. Perjalanan pulang lumayan lama, aku mau istirahat dulu.” Aku mencoba bersabar menghadapi mereka dan moodku hancur seketika. “Cuma dapet capek aja, kan. Ayolah, cari pekerjaan utama juga. Jangan hanya buat konten YouTube, manfaatkan gelar S1 mu!” Ayah tak mau kalah menyambutku, dia datang dari arah dapur. “Iya, nanti aku pikirin,” jawabku santai. “Berhenti travelling! Kalau tidak, Ibu akan blokir channelmu! Dari dulu kamu sibuk dengan travelling, tapi gak ada kerjaan tetap!” bentak Ibu.
Aku mendelik. “Aku udah berjuang sama temenku untuk buat konten dan sekarang dapat uang yang lumayan. Jangan seenaknya memblokir!” Kini aku merasa sudah tak tahan lagi mendengar kalimat-kalimat mereka yang bagaikan pisau menusukku. “Aku tahu rasanya kurang baik menggantungkan dari YouTube. Aku harus cari pekerjaan tetap, aku tahu itu.” “Berani kau dengan kami! Kalau tidak mau diblokir, keluar saja dari timmu, biar temanmu yang melanjutkan!” “Oke, aku turuti permintaan kalian, aku keluar dari tim. Tapi, ada syaratnya, biarkan aku sendiri yang menentukan arah jalan hidupku.”
Aku kembali berjalan menuju kamarku di lantai dua. Membawa koper saja lumayan berat, apalagi ditambah pikiran-pikiran yang lekat dengan desakan orangtuaku. Akhirnya keputusan itu yang aku ambil karena bukan hari ini saja mereka mendesakku berhenti travelling. Setiap hari selalu mendesakku dan membandingkanku dengan orang lain.
Aku, Bagas Alivio, umur 22 tahun. Setelah lulus S1, aku tetap melanjutkan channel YouTube bersama Ben dan Rio. Setelah lulus S1, Ben dan Rio menjadi karyawan di perusahaan yang sama. Itulah mengapa aku juga disuruh mencari kerja tetap. Ditambah dengan hiruk pikuk cerita kesuksesan anak teman Ayah dan Ibu yang membuatku selalu didesak cari pekerjaan utama karena kekhawatiran mereka terhadap masa depanku.
Tepat pukul 8 pagi, aku sudah selesai mengemasi beberapa barang-barang yang perlu dibawa seperti, perlengkapan travelling, pakaian, alat elektronik, kotak pertolongan pertama, dan beberapa camilan. Aku bukan orang yang akan pergi tanpa arah dan membengong di pinggir jalan. Aku sudah memesan rumah kontrakan yang ada di sebuah desa, sangat jauh dari kota. Ya, inilah pilihan yang aku ambil dan orangtuaku tidak akan ikut campur. Aku ingin menenangkan diri di sana. Aku akan hidup dengan uang dari YouTube yang sudah kutabung, entah sampai kapan.
“Bagas, ngapain bawa koper besar? Mau ke mana?” Ibu keheranan melihatku yang tidak biasanya membawa koper sebesar ini. “Aku pamit. Aku tinggal sendiri saja,” jawabku santai. “Kenapa? Kamu gak suka tinggal di sini.” “Aku udah bilang, biarkan aku sendiri yang menentukan jalan hidupku.” “Kamu mau hidup dengan apa? Ayah gak akan kirimin kamu uang meskipun tinggal sendiri.” “Aku gak minta karena aku punya sendiri.” “Kamu mau apa? Kamu mau kerja, kan? Jangan jadi pengangguran, malu dengan orang lain.” Ayah terlihat mulai kesal yang bingung dengan pilihanku. “Jangan ragu dengan kemampuanku. Aku berangkat dulu.”
Setelah berpamitan, aku memulai perjalanan yang panjang. Menghabiskan pagi dan siang di atas kereta. Semakin lama, gedung-gedung semakin sedikit yang terlihat. Kini berganti pemandangan gunung dan sawah yang memenuhi netraku. Bukit-bukit kecil yang masih hijau dan segar. Langit lembayung yang sungguh memanjakan mataku.
Pukul 4 sore, aku tiba di sebuah desa yang terlihat asri, damai, dan tenang. Aku membuka map di handphone untuk mencari rumah yang kutuju.
“Siapa? Apa kamu tersesat?” Terlihat seorang lelaki paruh baya keluar dari rumahnya. “Ee, saya mencari rumah nomor 16.” “Rumah kontrakan? Jangan-jangan kamu dari kota?” Aku mengangguk, “Iya, betul.” Sontak orang itu berjalan cepat ke arahku dan memanduku ke rumah tujuan.
“Orang dari kota sudah datang!” teriak bapak yang mengantarku. “Apa harus berteriak?” “Woah, akhirnya!” gerombolan anak kecil bersorak menyerbuku. Ditambah juga orang-orang mulai datang dari rumahnya masing-masing. “Kenapa ini, Pak?” Aku bertanya. “Mereka ingin menyambutmu, apalagi setelah perjalanan yang melelahkan.” “Aku disambut?” Mereka tersenyum padaku. Anak-anak melihatku dengan girang dari ujung rambut sampai ujung sepatu. Semua orang membantuku membawa barang dan membersihkan rumah.
“Terima kasih banyak bantuannya!” Untuk saat ini hanya itu yang dapat aku berikan. “Santai aja, kami senang ada anak muda datang ke sini, desa ini serasa hidup,” sahut kepala desa. Semua orang tersenyum dan mengangguk.
Setelah semuanya beres, semua orang berpamitan. Karena masih belum ada bahan makanan di rumah, jadi aku tidak bisa mengajak mereka makan malam bersama. “Nak, makanlah di rumah. Rumahku ada di sebelah,” ujar Bu Dwi, pemilik rumah kontrakan ini. “Maaf jadi repot, Bu. Saya belum beli bahan makanan.” Aku menerimanya dengan sungkan. Tidak mungkin menolak karena lapar. Camilan sudah aku lahap habis selama di perjalanan.
Saat makan malam aku bertemu dua anak tuan rumah. Ada Bu Dwi, Pak Sam, dan dua anaknya. Aku yakin dan ingat, anak kedua menyambutku tadi. Dia adalah Cici, umur 10 tahun. Anak pertamanya adalah Karin, umur 21 tahun. Ternyata Karin menamatkan studi S1 nya di kota. Setelah lulus, dia membantu mengajar di sekolah dasar desa ini. Melihat mereka yang antusias ingin mengenalku lebih banyak. Aku menceritakan masalahku dan mengapa sampai ada di desa ini. Bahkan mereka terkejut jika aku sudah beberapa kali ke luar negeri. Besok Karin berencana mengajakku berkunjung ke sekolahnya untuk ikut mengajar juga. Karin berharap aku menemukan solusi ketika ikut ke sekolah. Aku memang bingung, dimana jalan yang harus kupilih?
Aku telah tiba di sebuah sekolah dasar, berjarak 200 meter dari tempat tinggalku. Para guru termasuk Karin menyambutku dan kami diajak berkeliling sekolah kecil ini. Memang bukan sekolah bertingkat seperti di kota. Namun, nyaman, bersih, dan damai melihatnya. Para murid banyak yang mengintip dari jendela dan pintu kelas. Mereka ribut dengan keberadaanku. Apa karena penampilanku?
Setelah berkeliling, aku bersantai sebentar di taman depan ruang guru. “Apa sudah punya jawabannya?” Seperti semilir angin yang tidak diketahui arahnya, Karin sudah duduk di kursi hadapanku. “Aku ingin melakukan sesuatu yang besar. Apa aku bisa?” Aku melirik Karin yang tengah membersihkan noda di kacamatanya. “Ternyata kau masih bingung, ya.” Karin memakai kembali kacamatanya.
“Identitas apa yang kamu inginkan?” “Identitas? Seperti guru? dokter” Karin mengangguk. “Mungkin guru atau dosen karena aku ingin bercerita banyak hal tentang dunia ini yang luas” “Itu yang kamu inginkan?” Aku mengangguk. “Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” “Coba mengajar, tapi sebelumnya aku belum pernah mengajar.” Aku ragu untuk menjawabnya. “Itu langkah kecil yang bagus! Hasil yang besar dimulai dari langkah-langkah kecil. Walau sekecil debu, tetapi terus dilakukan tiap hari.” Aku tersenyum bahagia. Di sini ada orang yang mempercayaiku dan menghargai keputusan yang aku buat walau awalnya aku terlihat ragu.
“Bagaimana kalau sudah mencoba? Kau pasti akan suka dan terus mengajar kalau itu memang cocok denganmu. Ayo, ikut ke kelas!” “Apa yang akan aku ajarkan? Aku lulusan S1 Ilmu Sejarah. Tapi, apa itu yang aku ajarkan?” “Aku wali kelas dua, sekarang jam Bahasa Indonesia. Kau boleh isi materi.” Aku mengangguk dan masuk ke ruang kelas dua. Sebuah ruang kelas yang berisi 20 siswa.
Cerpen Karangan: Felita Sukanti Blog / Facebook: TulisanTangan / Felita Sukanti Felita Sukanti kini melanjutkan studinya di Universitas Jember jurusan Kimia FMIPA. IG Felita @felita__ski