“Kakak itu yang baru pindah dari kota.” salah-satu murid teriak kegirangan. “Wah, bener! Kemarin kita bantuin kakak ini.” “Aku belum tahu Kakak ini.” “Rumahmu jauh dari rumahnya sih.” “Kakak itu punya kamera seperti di iklan TV. Terus dia punya jam tangan.” “Selamat pagi!” Seketika suasana menjadi hening. “Anggap saja aku guru. Oke, pasti bisa!” “Kakak akan mengisi materi Bahasa Indonesia. Kakak tidak tahu apa materi yang dipelajari, jadi Kakak bercerita saja.” “Wah, seru!” Semua murid tersenyum lebar, mereka suka mendengarkan cerita. “Kalau begitu, kalian mendengarkan sambil mencatat jika perlu.” Semua murid mulai membenahi posisi duduknya dan ada yang menyiapkan buku dan pensil. Mereka sangat antusias sekali.
“Pasti kalian tahu Candi Borobudur, kan. Candi yang sangat terkenal di Jawa Tengah. Sudah ada yang pernah ke Candi Borobudur?” “Aku tahu! Aku tahu!” “Aku juga! Bu Karin pernah menjelaskan Candi Borobudur.” “Tapi, belum pernah ke sana.” “Belum ada yang pernah ke sana?” Aku melontarkan pertanyaan. “Belum.” Seisi kelas kompak menjawabnya.
Aku langsung mengeluarkan laptop dan menyambungkannya dengan LCD agar seisi kelas dapat melihat pesona Candi Borobudur. Karin juga ikut bergabung bersama anak-anak untuk mendengarkan ceritaku.
“Kakak pernah ke sana bareng temen-temen Kakak waktu kuliah dulu. Liburan sambil membuat video di sana.” “Wow, Candi Borobudur!” Semua murid semakin semangat dan takjub melihat video Candi Borobudur di layar lebar. “Mungkin kalian pernah mendengar 7 Keajaiban Dunia dan Candi Borobudur termasuk di sana.” “Iya, di atlas ada,” jawab salah-satu murid.
“Sebenarnya Candi Borobudur tidak pernah masuk dalam keajaiban dunia.” “Kok bisa? Padahal Candi Borobudur bagus banget.” Seisi kelas keheranan dan penasaran. Karin terlihat senang dan puas melihat murid-muridnya aktif dan terus ingin tahu. “New Open World Corporation atau NOWC melakukan survey kepada 100 juta responden di seluruh dunia untuk memilih bangunan yang layak disebut sebagai 7 Keajaiban Dunia. NOWC tidak memasukkan Candi Borobudur ke dalam daftar survey.” Salah-satu murid mengangkat tangan. “Apa ada pertanyaan?” Murid itu mengangguk, “Survey itu apa, Kak?” “Survey itu mengumpulkan informasi agar mendapatkan hasil yang dapat dipercaya oleh banyak orang.” Murid itu mengangguk paham.
“Oke, Kakak lanjutkan. Candi Borobudur tidak pernah masuk ke dalam tujuh keajaiban literatur internasional. Tetapi, Candi Borobudur masuk ke dalam UNESCO World Heritage atau Warisan Dunia UNESCO karena untuk melindungi dan melestarikan situs warisan dunia.” “Kenapa di atlas Candi Borobudur masuk 7 Keajaiban Dunia?” Semua bertanya-tanya dan keheranan. “Indonesia menyebutkan Candi Borobudur 7 Keajaiban Dunia dalam buku-buku pelajaran versi Indonesia bukan internasional.” “Oh!” Semua membulatkan mulut pertanda mereka paham. Karin juga tampak serius mendengarkan penjelasanku.
“Keajaiban dunia yang diperkenalkan NOWC hanya beberapa tempat yang populer dan banyak diketahui oleh banyak orang. Itulah mengapa Candi Borobudur tidak dimasukkan 7 Keajaiban Dunia.” Seisi kelas mengangguk-angguk kepalanya dan ada juga yang mencatat di bukunya.
“Semoga kalian juga bisa ke Candi Borobudur, ya,” ujarku sambil memutar kembali video Candi Borobudur yang sebenarnya video ini ada di YouTube channel kami. Walaupun aku sudah tidak bergabung lagi, tetapi aku bangga dan rindu dengan masa-masa saat itu. Candi Borobudur adalah video pertama yang di upload di YouTube “Semoga kita bisa bareng-bareng ke Candi Borobudur sama Kakak dan guru-guru lain. Pasti seru!” sorak salah-satu murid. Kemudian disambut dengan sorakan murid lainnya. Aku terharu menyaksikan semangat murid yang berkobar-kobar.
Akhirnya sudah tiba di penghujung waktu. Saatnya murid-murid pulang ke rumah masing-masing. Aku pun juga pulang dengan pikiran yang campur aduk untuk memikirkan langkah yang kuambil selanjutnya.
Kring … Kring … Kring … “Gas, kenapa keluar dari tim? Masa kamu gak inget sama perjuangan kita. Apa kamu gak cocok lagi sama kita?” Terdengar nada emosi dari ujung sana. “Capek sama orangtuaku yang maksa banget buat aku keluar dari tim.” “Lupain itu dulu, sekarang aku tanya, sebenernya kamu masih mau gabung sama kita gak?” Suara ini tampak serius sekali. “Aku mau lanjut S2, jadi emang aku gak bisa gabung bareng kalian. Cuman mau fokus aja dulu.” “What? Gak mau balik lagi sewaktu-waktu? Terus gimana?” “Entahlah, aku mau beli rumah, jauh dari kota lagi. Mending untuk selanjutnya kita bicara bareng-bareng, mau dibawa kemana channel kita.” “Gas, kamu kabur dari rumah?” “Udah izin sama orangtua kok.” “Kirim alamat gitu kek, kita mau mampir lain kali kalo gak sibuk. Tiba-tiba ngilang, ditelpon juga susah banget.” “Iya, bentar aku kirim deh.” “Oke, lebih enak kita bicarain bareng Rio di rumahmu. Oke, bye.” “Huft, rasanya langkah yang aku ambil sudah benar.”
“Kamu mau beli rumah ini? Kamu yakin mau beli rumah kuno? Ini gak sebagus di kota.” “Iya, Bu. Saya mau tinggal di sini, jadi saya beli rumah ini. Menurut saya kalau masih layak dipakai, tidak masalah ditempati. Kalau ada beberapa perabot yang perlu diganti, biar saya yang urus itu.” Mereka menyetujui permintaanku dan aku langsung membayar lunas rumah ini.
Keesokan harinya aku mengurus beberapa surat rumah dan mengurus berkas untuk seleksi beasiswa S2 di luar negeri. Jika sudah lulus S2 disinilah tempatku pulang.
“Kalau memang itu pilihanmu, silahkan. Kami tetap mendoakan kamu. Jaga kesehatan. Sesekali Ayah dan Ibu mampir ke sana, kamu juga jangan lupa mampir ke sini.” “Iya, Yah. Terima kasih. Maaf kalo Bagas banyak salah.” “Kami juga.”
Semua berakhir dengan damai. Aku mencoba kembali memperbaiki hubunganku dengan orangtua. Ayah dan Ibu perlahan mulai paham dan percaya denganku langkahku. Kali ini suara mereka terdengar sangat lembut dan tenang. Seandainya aku dapat langsung mendengarnya tanpa perantara handphone.
Seminggu setelah pengumuman beasiswa dan aku dinyatakan lolos beasiswa ini, aku menikah dengan Karin. Tak disangka, di sini aku juga menemukan cintaku. Seorang guru sukarelawan di sekolah dasar desanya. Sebenarnya pekerjaan utama Karin adalah sebagai editor di sebuah penerbitan buku dan seorang blogger. Karin adalah wanita sederhana dan tetap menjadi dirinya sendiri meskipun dia pernah kuliah di kota. Aku merasa dia adalah wanita yang tepat untuk melengkapi hidupku. Momen itu menyatukan aku dengan Karin, keluarga besarku, teman-temanku di kota, serta keluarga besar Karin. Momen yang menciptakan kebahagiaan dan rasa syukur bagi kami.
Setelah empat bulan pernikahan, aku berangkat ke Kanada. Waktu kuliahku sudah tiba dan aku harus meninggalkan keluarga di sini. Meskipun begitu, Karin tidak menghentikan langkahku, dia mendukung pilihanku selama pilihanku tidak salah arah.
“Aku berangkat, ya. Jaga kesehatan.” Karin mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. Perasaannya senang karena aku sudah berhasil melangkah maju dan juga dia sedih karena harus ditinggal selama ini. “Aku pasti pulang kalau libur panjang di sana.” Aku menghibur. Karin mengangguk dan memelukku erat. Aku membalas pelukannya.
Saat tiba di desa ini, aku disambut dengan meriah dan ketika aku akan berangkat melancong ke negeri orang, banyak orang yang mengucapkan doa dan dukungan.
Saat dilanda kebingungan dan tekanan yang terus berlarut-larut, mencari suasana baru dapat membuka mata kita. Mencari lingkungan yang mendukung, orang-orang yang menghargai, dan suasana yang tenang. Tidak harus mencari tempat yang jauh, lihat saja di sekitarmu. Mungkin di sana ada tempat yang membuatmu terbangun dari kegundahan.
Cerpen Karangan: Felita Sukanti Blog / Facebook: TulisanTangan / Felita Sukanti Felita Sukanti kini melanjutkan studinya di Universitas Jember jurusan Kimia FMIPA. IG Felita @felita__ski