Siang itu matahari bersinar begitu terik. Dengan peluh yang terus menetes Kananda mengayuh sepeda kecilnya dengan penuh semangat. Seperti biasa, Kananda kini tengah mengantar kue buatan ibunya ke kampung sebelah.
Dia harus membantu ibunya yang berjuang seorang diri membesarkan kedua anaknya yang masih kecil. Kananda sendiri baru berusia 13 tahun, sedangkan adiknya Adinda berusia 7 tahun.
Setiap hari sepulang sekolah Kananda mengantarkan kue pesanan pelanggan. Seperti siang ini Kananda mengantar kue pesanan Bu Ratih dari kampung sebelah.
“Assalamualaikum”, ucap Kananda ketika sampai di rumah Bu Ratih. “Waalaikumsalam. Kananda, antar kue ya?”, Bu Ratih berkata dengan ramah. Kananda mengangguk “Sini nak masuk dulu” Kananda masuk ke dalam rumah sembari menyerahkan kue pesanan Bu Ratih. “Tunggu sebentar ya, saya ambil uang dulu” ucap Bu Ratih sambil berjalan ke belakang.
“Ini untuk kuenya, dan ini untuk kamu”, Bu Ratih menyodorkan uang ke tangan Kananda sembari tersenyum. “Tidak perlu repot-repot memberi untuk saya bu”, Kananda merasa tidak nyaman. “Tak apa nak, terima saja. Itu uang jajan buat kamu” “Terimakasih bu”
Setelah berpamitan Kananda kembali mengayuh sepedanya menuju rumah. Uang pemberian Bu Ratih disimpannya baik-baik.
Tanpa sepengetahuan ibunya, Kananda menabung. Dia ingin membelikan jilbab baru untuk ibunya. Selama ini ibunya hanya membeli baju baru untuk anak-anaknya tanpa memperdulikan jika baju dan jilbabnya sendiri telah lusuh. Sebenarnya Kananda ingin membelikan ibunya baju, tapi apalah daya baju terlalu mahal bagi anak seusianya.
Sejak kepergian sang ayah tiga tahun lalu, mereka harus hidup sangat sederhana. Bertahan hidup dari hasil penjualan kue yang tak seberapa. Namun hal aneh terjadi sejak beberapa bulan yang lalu. Setiap dua minggu sekali ada amplop berisikan uang yang diselipkan dibawah pintu. Tidak diketahui siapa pengirimnya dan tidak ada pesan apapun. Ibu Kananda menyimpan uang itu, beliau tidak berani untuk menggunakannya.
Seperti hari ini Kananda melihat amplop putih diselipkan dibawah pintu depan rumahnya. Dia bolak balik amplop itu. Tidak ada pengirimnya. “Amplop misterius lagi” pikir Kananda.
Diserahkanlah amplop itu kepada ibunya. “Bu ada amplop misterius lagi” ucap Kananda. Ibu Kananda menerima lalu membuka amplop itu. Benar saja, ada beberapa lembar uang seratus ribuan di dalamnya.
“Ibu masih belum tau siapa pengirimnya?” tanya Kananda. Ibu nya hanya menggeleng. Kananda terus penasaran siapa pengirimnya.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi ketika ibu Kananda pulang dari belanja, dia melihat seseorang membungkuk di depan pintu rumah. Dengan segera ibu Kananda mendekatinya.
“Kamu siapa?” tanya ibu Ketika orang itu membalikkan badan, ibu Kananda melihat wajahnya dan terkejut. “Ayah” ucap ibu Orang yang dipanggil ayah itu hanya menunduk. “Ayah sudah bebas?” tanya ibu lagi. “Iya sudah beberapa bulan lalu” “Berarti ayah yang selama ini mengirimkan uang untuk kami?” “Iya. Tapi aku masih belum berani untuk bertemu kalian” “Kenapa? Anak-anak pasti senang bertemu ayah nya” “Aku malu. Aku telah memberikan contoh yang buruk kepada mereka. Dipenjara karena penggunaan obat terlarang” Ayah tertunduk sedih. “Bu aku minta maaf karena telah membuat hidup kalian menderita. Ibu harus berjuang sendiri menafkahi anak-anak”. Ibu hanya mengangguk.
“Tolong rahasiakan ini dari anak-anak. Aku masih belum siap untuk bertemu mereka. Gunakan uang yang kuberikan untuk kebutuhan kalian meskipun jumlahnya tidak seberapa. Itu uang halal. Aku bekerja sebagai kuli bangunan setelah aku bebas. Terimakasih telah menjaga anak-anak dengan baik. Aku pamit”.
Kemudian ayah pergi meninggalkan ibu yang masih terdiam. Masih teringat jelas dalam ingatannya ketika ayah dijemput tiga orang polisi. Ayah diborgol di depan istri dan anak-anaknya. Ditangkap dengan tuduhan penyalahgunaan nark*ba. Kini ayah telah kembali dengan penyesalan dan rasa bersalah. Ibu hanya bisa berdoa semoga ayah bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Hanya Kananda dan Adinda semangat ibu saat ini.
Cerpen Karangan: Wiwin ernawati Blog / Facebook: Icasia Aurelio