Dalam hidup terkadang kita dihadapi dua pilihan. Ada kalanya kita diharuskan untuk secepatnya mengutarakan pilihan itu, sehingga pada akhirnya kita sering kali menjatuhkan pilihan yang salah, yang pada akhirnya pilihan itu menjatuhkan diri sendiri, terlebih jika dalam pilihan itu ada hal yang harus dipertahankan, yang entah sampai kapan harus bertahan dan harus dipertahankan.
Sebut saja dia Vita seorang wanita yang memiliki dua anak. Kehidupannya yang sangat bahagia, harus berakhir karna kepergian suami yang dicintai menghadap sang khalik. Sejak itu dia harus mencari nafkah seorang diri untuk menghidupi diri serta Milky dan RIzki. Terlebih si sulung Milky ditakdirkan Tuhan menderita kanker otak. Dia diharuskan untuk melakukan kemoterapi, yang tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit. Berbagai cara Vita lakukan demi kesembuhan si sulung. Sampai-sampai dia rela dijodohkan oleh ibunya pada seorang pria kaya, yang istrinya tlah tiada.
Dua tahun sebelumnya… Pagi ini seperti biasa aku menyiapkan keperluan Mas Adit dan kedua anakku. Dan hari ini aku akan coba membuat makanan dengan menu baru, yang resepnya kudapat dari internet, yakni Sup Makaroni Kornet. Perlahan-lahan kuracik semua bumbu, kumasak Kornet dan Makaroni dalam wajan hingga setengah matang, lalu setelah itu kumasukan bumbu racikan tadi ke dalamnya, kemudian aduk rata. Setelah Makaroni dan Kornet matang, aku merebus setengah air yang sudah digarami, untuk dijadikan kuahnya.
Dua jam kemudian Kini Sup Makaroni Kornet siap untuk dihidangkan. Dengan penuh cinta kusajikan bersama satu teko jus jeruk serta air mineral, tak lupa piring, sendok dan garpu di atas meja. Hingga tak lama Mas Adit serta kedua anakku datang menghampiri dengan pakaian rapi sesuai profesi
“Pagi Sayang, masak apa hari ini? sepertinya enak, nih.” kata suamiku seraya mencium kening. “Ehh Mas, ini aku coba masakin kalian menu makanan baru. Mudah-mudahan kalian suka yaa.” “Wahh, apa ini Bun? Sepertinya enak nih,” ucap si sulung dengan mata membulat. “iya, nih Kak, kayanya enak, kita sikat yuu!” si bungsu bergegas mengambil piring serta sendok hendak mengambilnya. Aku senang melihatnya, telebih melihat Mas Adit yang juga begitu lahap menikmati menu baru dari makananku, entah mengapa aku ingin mengabadikannya di ponselku.
“Sayang, ini adalah makanan terenak yang sangat kusuka” ujarnya dengan mata berbinar “Masa sih Mas, padahal aku tadi ragu loh, saat ingin membuatnya. Karna ini kan resep baru, takutnya nggak ada yang suka.” Ujarku dengan raut wajah tak percaya “Kita suka, kok Bun” “Tuh, kamu dengar kan, sayang, mereka juga suka. Apalagi aku” mengedipkan sebelah mata kepadaku. “Syukurlah, aku senang mendengarnya, lain kali aku masakin lagi deh, bahkan akan kubuat dengan porsi yang lebih banyak.” “Wahh, beneran, Bun. Makasih, yaa.” Ucap Rizki “Sama-sama, Dek” ucapku seraya tersenyuman padanya.
Aku mengantar kepergian mereka sampai depan pagar. Setelah mereka pergi, aku bergegas masuk ke dalam untuk membereskan rumah. Huhh… senang sekali rasanya, ternyata mereka menyukai makananku, meski memang mereka selalu menyukai apapun yang kuhidangkan, tetapi kali ini entah mengapa kok rasanya berebeda. Huhh, semoga tidak terjadi apa-apa deh.
Tak terasa hari sudah siang. Perutku sudah dangdutan. Kulangkahkan kakiku tuk menuju meja makan. Tetapi saat baru saja melangkah, tiba-tiba ponselku berdering, sigap kuambil ponsel yang ada di saku bajuku, dan segera kuangkat. Tertera nama Pak Tedy sopir pribadi kami.
“Haloo, ada apa, Pak, tumben telepone?” ujarku sambil melangkahkan kaki ke meja makan. “Begini, Non. Sekarang kami sedang ada di klinik, saat diperjalanan jatung tuan kesakitan. Apa non Vita bisa segera kemari?” ujarnya. “Astagfirullah, Mas. Baik, Pak, saya akan segera ke sana, bapak tolong jaga suami saya ya” Mas. Semoga tidak terjadi apa-apa ya, denganmu. Lagian kamu, sih. Pake ketinggalan segala obatnya. Ya, sejak kecil Mas Adit menderita sakit jantung, tak heran jika dia harus membawa obat kemana pun dia pergi.
Aku pun bergegas menyiapkan semua keperluan yang akan kubawa, kuraih obat jantung Mas Adit yang ada di meja riasku. Kupacu mobil merahku lebih cepat. Hingga dalam hitungan menit akhirnya aku tiba di klinik yang dialamatkan Pak Tedy. Kupercepat langkahku, hingga tak lama kemudian aku tiba di ruang observasi tempat suamiku terbaring. Kulihat wajahnya yang dipasangkan oksigen, serta tubuh bidangnya yang dipenuhi alat bantu. Aku pun tak kuasa mebahan air mataku.
Hingga tiba-seorang dokter menghampiri. “Maaf, apa ibu keluarga pasien? Ujarnya seraya menepuk bahu “Ya, Dok. Saya istrinya. Apa suami saya bisa segera siuman?” ucapku seraya menghapus air mata. “Hmms, ibu tenang dulu ya, insyaallah suami ibu akan segera siuman, ibu berdoa saja ya, saya sudah memasukkan obat melalui infusnya, kalau begitu saya permisi dulu, ya” ujarnya berlalu.
Waktu terus berlalu, tetapi Mas Adit belum sadar juga. Kulantunkan doa-doa yang kubisa, hingga tiba-tiba aku melihat pergerakan darinya, aku pun segera memanggil dokter. Hingga tak lama dokter pun datang.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan suamiku, aku menyuruh Pak Tedy untuk menjemput anak-anak. Hingga tak berapa lama dokter keluar, menghampiriku dan mengatakan jika suamiku sudah siuaman. Kupercepat langkahku tuk bertemu suamiku. Saat aku sudah bertemu dengannya kugenggam tangannya dengan derayan air mata, kukecup keningnya, seraya berkata “Mas, aku senang kamu sudah siuman, aku harap kejadian seperti ini tidak terjadi lagi ya” “iya, sayang. Aku minta maaf ya, udah buat kamu khawatir, tadi aku buru-buru. Bos menghubungiku, beliau mengatakan jika rapat akan segera dimulai, sementara file nya ada di Hardisku” ucapnya terbata. “Oh, begitu ya. Ya sudah kali ini aku maafin”, ujarku seraya tersenyum “Makasih, ya sayang. Aku janji akan lebih waspada lagi” ujarnya membalas senyumanku.
Hari ini Mas Adit sudah diperbolehkan pulang. Aku dan anak-anak membereskan barang Mas Adit, sementara adrimistrasi diurus ibu mertuaku. Setelah semua beres kami pulang, dengan Pak Tedy yang mengemudi, ibu dan bapak mengiringi dari belakang dengan mobilnya.
“Mas, aku senang deh, akhirnya kamu pulang” ujarku tersenyum. “iya, Yah, aku seneng banget ayah hari ini pulang, aku harap ini kejadian pertama dan terakhir ya, aku tak mau semua ini terulang kembali” ucap Milky Mas Adit mengangguk seraya tersenyum. Kami pun larut dalam obrolan dan tawa. Tetapi saat kami sedang asyik tertawa, tiba-tiba tanpa disadari mobil yang kami tumpangi entah mengapa tak dapat dikendalikan. Sekuat tenaga pak Tedy mengendalikan mobil, namun naas, mobil yang kami tumpangi sulit dikendalikan. Hingga pada akhirnya mobil pun menabrak tihang penyangga CCTV jalan, mobil pun hancur, menewaskan Pak Tedy bahkan Mas Adit.
Dua minggu kemudian Begitu cepat waktu berlalu. Hal ini pun sudah nyaman kulakan. Ya, pekerjaan Mas Adit yang awalnya tak kupahami, perlahan kini mulai kupahami. Aku pun sudah bisa membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan. Pagi ini setelah urusan rumah selesai aku pergi ke kantor dibarengi anak-anak yang pergi ke sekolah.
Melewati hari tanpa adanya sang suami terasa berat bagiku. Aku harus menjalini dua peran sekaligus. Menjadi ibu yang menjaga, mendidik dan memperhatikan tubuh kembang mereka, serta menjadi tulang punggung untuk menafkahi diri dan juga mereka. Terlebih tiga hari setelah kepergiaan suamiku, si sulung sempat mengalami demam tinggi, sakit kepala hingga muntah darah, hingga aku putuskan tuk membawanya ke ke rumah sakit. Setelah Milky diperiksa jawaban yang mengejutkan kudapat. Dokter mengatakan Milky terkena kanker otak. Bagaikan petir di siang bolong aku pun semakin hancur dibuatnya. Terlebih biaya yang dibutuhan untuk kesembuhan Milky sangat banyak, melebihi gajiku, belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari.
Aku pun menceritakan apa yang kualami pada ibu yang tinggal di kampung. Hingga tiga hari kemudian ibu memutuskan tuk tinggal bersamaku di kota. Senang rasanya akhirnya ibu mau tinggal bersamaku, lumayan kan ada yang menemani anak-anak saat aku kerja. Maklumlah sejak aku bekerja anak-anak juga harus terbiasa di tinggal berdua di rumah, meski ada tetangga kompleks yang mengawasi.
Sebulan kemudian Saat aku selesai memasak tiba-tiba ibu menghampiriku dan berkata, “Vit, ada yang ingin ibu katakan.” Ujarnya sembari menuntunku berjalan ke kursi yang jaraknya berdekatan dengan dapur “Hmm, apa bu, ada yang bisa aku bantu, atau ibu membutuhkan sesuatu?” cercaku dengan beribu pertanyaan. “Tidak, Vit. Ibu tak butuh apapun. Ibu hanya ingin memberimu solusi”. Ujarnya “Solusi. Apa Bu, katakan padaku, apapun akan aku lakukan. Asalkan Milky bisa sehat kaya dulu” “Menikahlah, Nak” ujarnya lantang “Hmm, siapa yang mau denganku, Bu. Janda anak dua, belum lagi yang satunya berpenyakit, nanti bisa-bisa dia kira aku memanfaatkan uangnya lagi” ujarku sembari menghela napas. “Hmm, jangan berpikir seperti itu, dong Nak. Tidak semua lelaki seperti itu. Apalagi tuan Dimas” ucap ibu “Apa… Tuan Dimas, Bu. Nggak salah, Bu.” Aku terkejut mendengarnya, bola mataku seakan ingin loncat dari tempatnya. “Iya, Nak. Meski dia duda, tapi dia baik, kok. Pasti hidupmu dan anak-anak akan terjamin, bahkan Milky bisa diterapi.” Ujar ibu
“Aku tidak mau Bu, lebih baik aku berjuang lebih extra lagi untuk pengobatan Milky, daripada harus menikah dengan tuan Dimas. Bukannya apa kata orang kan tuan Dimas orangnya kasar. Aplagi yang aku dengar istrinya meninggal bukan karna penyakit yang sudah dideritanya sejak lama, tetapi karna makanan yang segaja diracuni oleh tuan Dimas, yang bisa jadi dia sudah lelah untuk mengurus istrinya yang sakit-sakitan.” ujarku emosi “Aduhh, Vita sayang, kok kamu percaya sama omongan orang sih, Nak. Ibumu ini kan sahabat lama ibunya Tuan Dimas, yang ibu lihat sih Tuan Dimas orang baik kok. Tidak mungkinlah Tuan Dimas seperti itu, lagian kamu kan hanya mendengar omongan orang, tidak ada bukti juga kan?” ujarnya malah mencecarku dan balik bertanya. “Hmm, iya sih Bu, tapi kan.” “Alah, udah deh Vit, terserah kamu sajalah. Yang penting ibu sudah memberikan solusinya, katanya minta solusi, sudah dikasih malah nolak” ucap ibu seraya berdiri meninggalkanku.
Cerpen Karangan: Dinbel Pertiwi Facebook: facebook.com/Dinbellap7165