Sejak pembicaraan tadi pagi sikap ibu jadi dingin padaku. Apa salah jika aku menolak keinginannya, aku tahu pasti setiap ibu ingin melihat anaknya hidup mapan, bahagia dan sehat. Tapi masa iya sih ibu tega membiarkanku menikah dengan seorang pembunuh. Ah, sudahlah lebih baik aku biarkan saja dulu sikapnya seperti itu, toh nanti juga baik lagi.
Pagi ini seperti biasa aku bersiap pergi ke kantor, sebelum ke kantor aku mengantar anak-anak ke sekolah. Tetapi saat beberapa langkah aku berjalan. Tiba-tiba Rizki berteriak dan mengatakan, “Bundaa, kakak kesakitan lagi Bundaa” ujarnya sembari memapah Milky yang sedang memegang kepalanya. Saat itu juga aku yang sedang memoleskan make up ke wajahku menghentikannya, dan mempercepat langkahku menemui mereka yang kini ada di kamar ibu. Saat di ambang pintu aku lihat ibu sedang mencari obat yang biasa Milky minum saat sakitnya kambuh. Namun naas obat yang biasa Milky minum sudah habis. Ibu pun menyuruhku agar segera membawa Milky ke rumah sakit.
Kini Milky sedang ditangani dokter. Aku dan Rizki duduk di ruang tunggu, sambil melantunkan doa. Hingga tak lama datanglah dokter Gita yang mengatakan jika Milky harus segera dioperasi.
“Dok. Bagaimana keadaan anak saya, mengapa Milky harus segera dioperasi? Kataku “Iya, Bu. Kanker yang menyerang anak ibu sudah sangat parah. Obat yang kami berikan selalu dimuntahkan, bahkan kini anak ibu tidak sadarkan diri.” Ujarnya “Apa obatnya tidak bisa diberikan lewat infus saja, Dok?” ujarku “Bisa saja Bu, tapi saat ini alat infus yang digunakan untuk memasukan obat pada pasien di rumah sakit kami sedang kosong. Kalau mau anak ibu akan saya rujuk ke rumah sakit lain. Maklumlah Bu, rumah sakit ini belum lama didirikan, jadi alat medisnya pun masih terbatas.” Ujarnya “Baik Dok, tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya” ujarku “Baiklah akan saya lakukan, tapi sebelum itu ibu bereskan administrasinya dulu, ya.” “Hmm, kira-kira berapa biayanya ya, Dok?” kataku “Untuk biayanya ibu bisa tanyakan ke bagian administrasi, ini saya berikan surat rujukannya ya, Bu” Ujarnya menyerahkan selembar kertas. Kuambil kertas itu lalu kumasukan pada tas selempang yang kukenakan, lalu aku pun beranjak dari tempat dudukku dan bergegas ke bagian administrasi.
Sesampainya di sana aku langsung menanyakan biaya yang harus aku keluarkan untuk pengobatan Milky saat ini. Hingga jawaban mengejutkan kudapat. Ya, biaya yang harus kukeluarkan sekarang sangat besar, kartu kesehatan yang kupunya sudah mencapai batas belum sempat kuperpanjang, maklumlah aku dan almarhum suamiku hanya berstatus karyawan biasa, terlebih belum lama ini aku menggantikan posisinya. Pada akhirnya aku menyerahkan ktp dan beberapa lembar uang pada petugas di sana, aku mengatakan akan kembali dan menjemput Milky.
Aku pun mempercepat laju mobilku tuk kembali ke rumah, sementara Rizki kutinggal bersama Milky di rumah sakit. Setelah aku tiba di rumah, aku mengutarakan niatku untuk menyetujui saran yang ibu berikan. Meski berat tapi aku nggak punya pilihan lain, yang ada di pikiranku saat ini hanyalah kesembuhan Milky.
Kupercepat langkahku menyusuri setiap inci rumahku. Hingga langkahku terhenti di Musala, kudapati ibu sedang membaca ayat suci. Sambil mengucap salam kuhampiri ibu, hingga ibu menoleh dan berucap. “Vit. Sudah pulang kamu! bagaimana keadaan Milky?” ujarnya datar “Milky harus segera dioprasi, Bu.” Ujarku dengan air mata yang mesih membasahi pipi “Apa, sekarang kalau sudah seperti ini. Gimana coba?” ujarnya ibu sambil mempercepat langkah menyimpan kitab suci. “Aku bersedia dengan usulanmu, Bu.” Ucapku bergetar. “Serius kamu, VIt.” Ucap ibu seraya mempercepat langkah, menghampiriku yang sedang duduk di karpet. “Iya, Bu. Masa aku bohong sama ibu” ujarku
Tiga hari kemudian Hari ini pernikahanku dengan Tuan Dimas. Pernikahan kedua kami degelar sederhana di KUA, hanya dihadiri oleh ketiga anak Tuan Dimas serta orangtua kami. Tak ada resepsi. Sesudah akad aku dan suami baruku langsung bergegas ke rumah sakit tempat Milky dirawat. Saat tiba di sana kulihat Milky yang masih tergolek lemah tak sadarkan diri. Hingga tiba Rizki menghampiriku dan menguraikan pelukan.
“Bun, om itu siapa?” Rizki menatapku dan Mas Dimas bergantian. “Sayang, mulai sekarang kamu panggil dia ayah ya, tadi pagi bunda sudah mengikat janji suci dengannya,” kataku tersenyum “Apa, jadi bunda mengikuti usulan nenek. Bukankah dia itu?” “Ya sayang, bunda tahu, tetapi bunda juga terpaksa, Nak. Karna bunda tidak tahu lagi bagaimana cara agar abangmu bisa sembuh, kan kamu tahu sendiri kehidupan kita sekarang, Nak.” Jelasku seraya berjalan ke belangkar. “Oh, gitu ya Bun. Kalau begitu kita doakan saja ya, semoga Om Dimas sudah berubah sekarang. Pokoknya bunda tenang saja ada aku dan kakak yang akan selalu jagain Bunda” “iya, amin. Makasih sayang” kubelai pipinya, seraya tersenyum.
Seminggu kemudian Kehidupan yang semula baik-baik saja. Kini hancur berantakan. Semua berawal dari Mas Dimas yang ditipu kliennya, padahal dia sudah mengeluarkan biaya banyak untuk proyek barunya. Sikapnya yang dulu manis kini berubah menjadi kasar. Dia selalu memaksa kami tuk selalu menuruti keinginan dan perintahnya jika ada yang menolak tak segan dia melayangkan tangannya sesuka hati.
Seperti pagi tadi saat aku sedang bebenah di dapur. Tiba-tiba “Vitaa, mana kopi?” dengan suara kencang “I..iya, Mas, sebentar, ini sedang masak airnya dulu, sembari menunggu. Bagaimana jika kamu makan Pisang gorengnya dulu!” Teriakku dari dapur “Hmm, Vita… Vita, jadi perempuan kok kerjaanmu lelet kali, pantas saja anakmu penyakitan, orang ibunya saja tak cekatan.” Ucapnya yang terdengar olehku. Hatiku serasa ditusuk jarum saat mendengarnya, bagaimana tidak almarhum Mas Adit saja tak pernah menghinaku, malah dia selalu membantu pekerjaanku. Ya Allah inikah ujian awal rumah tanggaku saat ini. Hingga tak berapa lama air untuk membuat kopi sudah mendidih, aku pun bergegas menuangkannya ke dalam cangkir yang sudah terisi kopi bubuk, kemudian setelah itu kupercepat langkahku untuk menyajikan kopi di atas meja. Tetapi, saat kopi sudah terhidang Mas Dimas enggan untuk meminumnya, dia malah memintaku untuk membuatkan susu coklat.
“Aku sudah tak ingin minum kopi, ganti saja dengan susu coklat, ya Vit,” ucapnya ketus sambil memainkan ponselnya. “Tapi, Mas, ini?” ucapku sembari melirik pada cangkir itu. “Vit, udah deh. Kamu nurut saja, bawel sekali, cepatan yaa, jangan lama lagi. Aku tunggu di teras!” ucapnya lalu pergi
Saat aku sedang menuangkan susu bubuk ke dalam cangkir, tiba-tiba aku mendengar teriakan Rizki yang mengaduh, gegas kupercepat langkah untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Hingga saat aku sampai ambang pintu, aku lihat Mas Dimas sedang melayangkan rotan panjang ke badan RIzki.
“Mas, hentikan Mas, ada apa ini?” teriakku sembari mempercepat langkah “Urus anakmu, dia menendang bola terlalu kencang, hingga ponselku satu-satunya jadi seperti ini” ucapnya seraya menunjukan layar ponselnya yang retak “Jika itu masalahnya, aku akan ganti Mas, tapi jangan kamu sakiti Rizki dong, dia juga kan tidak sengaja.” Ucapku tak kalah keras “Alah, ganti katamu, punya uang dari mana kamu, tuk membeli ponsel semahal ini, untuk kesembuhan Milky saja kau sampai rela menikah denganku. Apa jangan-jangan, kau akan mencari pria lain yang bisa kau nikahi, silakan saja. Tapi aku sebenarnya kasihan padamu, sepeninggal almarhum suamimu, kau jadi seperti.” Upps, ucapnya terhenti kemudian tertawa. “Cukup ya, Mas. Aku bukan wanita seperti itu, aku hanya ingin yang terbaik untuk anak-anakku, lagian aku menikah denganmu, karna ibuku, Mas. Aku janji akan mengganti semua biaya pengobatan Milky dan juga ponselmu yang rusak ini, kasih aku waktu dua bulan tuk melunasi semuanya!” kataku
Dua bulan kemudian Seiring berjalannya waktu akhirnya aku bisa melunasi hutangku pada Mas Dimas, atas permintaan Milky dan Rizki aku terpaksa menjual rumah peninggalan Mas Adit. Meski berat, tetapi harus kulakukan, terlebih uang hasil kerja kerasnya sebagai penjual Sup tak cukup tuk menutupi semuanya, meski sudah ditambah dengan menjual barang kenanganku bersama almarhum dulu. Aku tak ingin lagi berurusan dengannya, ingin rasanya melayangkan gugatan, sayangnya hal itu tak bisa kulakukan. Karna kini aku sedang mengandung.
Cerpen Karangan: Dinbel Pertiwi Facebook: facebook.com/Dinbellap7165