Suara dentuman ombak, langit gelap bertabur bintang, pasir pantai yang lembab dan dingin, suasana sunyi dan sepi, nyamuk yang menyebalkan, sungguh sebuah maha karya yang luar biasa. Mataku terus memandangi langit memfokuskan pikiran pada satu hal, membiarkan semua pikiran aneh hanyut ke tengah laut bersama ombak.
Aku penasaran Aku selalu penasaran, apakah etis yang sesungguhnya itu ada? Sebuah pertanyaan yang rasanya selama ini membelunggu separuh jiwaku. Orang-orang disekitarku selalu berbicara masalah baik dan buruk. Namun aku belum pernah mendengar satupun dari lidah mereka membahas tentang etis. Meskipun demikian, memikirkan hal-hal tersebut saat ini hampir tidak ada gunanya.
Tidak ada buku, koneksi internet buruk, dan meskipun ada buku, tidak ada penerangan yang cukup bagiku untuk membaca di pinggir pantai yang hanya bermandikan purnama. Satu-satunya yang dapat kulakukan hanyalah merebahkan punggungku di pasir yang dingin, menunggu kameraku menyelesaikan tugas rekamannya.
—
Aku mendengar suara. Suara yang memanggilku. “Arthur, oi, Arthur! Bangunlah!” Dengan nyawa yang belum sepenuhnya menyatu, aku terduduk dengan mata terbelalak, mencoba mengerti apa yang telah terjadi. Saat itulah, aku menyadari sesuatu. Disamping kananku berdiri setengah bungkuk teman sekelasku, Alicia. Tidak, mungkin lebih cocok disebut mantan teman sekelasku karena kami telah lulus dari kelas yang sama. Selang beberapa waktu, ia menatapku dengan penuh rasa penasaran
“Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?” Aku bisa saja langsung menjawab pertanyaannya. Tapi jika melihat dari cara berpakaiannya yang hanya memakai sandal, rok panjang serta kaos yang berlapis jaket, ada hal yang lebih mengundang rasa penasaranku. Namun untuk saat ini, aku menarik kesimpulan bahwa Alicia tinggal di dekat sini dari cara berpakaiannya yang sederhana.
“Jangan membalikkan pertanyaanku.” Aku meraih kameraku. Dan nice timing. Rekaman langit malam yang kuinginkan jauh lebih dari cukup. “Kau sendiri, apa yang lakukan di tempat seperti ini.” “Kalau kau mempertanyakan hal itu, kau harus sadar apa yang baru saja kau lakukan.” Alicia berdiri dan memasukkan tangangnya ke saku jaketnya, menatap ke arah laut lepas. “Kau tertidur di pinggir pantai yang gelap dan sepi disaat aku sedang menikmati jalan-jalan malamku. Tentu saja aku akan mengira kau orang yang hanyut terbawa ombak dari tengah laut. Dan juga, justru kaulah yang membalikkan pertanyaanku.”
“Maaf soal jalan-jalanmu, aku hanya sedang mengingkan beberapa rekaman dan foto langit malam tapi tanpa sadar malah tertidur di atas pasir. Ngomong-ngomong, Alicia, lihat ke sini.” Aku menyodorkan lensa kameraku ke arah Alicia. “Think fast, Chucklenuts!” Flash dari kameraku menyala dan dalam waktu sepersekian detik aku dapat melihat wajah Alicia dengan jelas. Bagian sekitar kedua bola matanya bengkak namun bukan hasil dari luka fisik. Itu cukup untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Namun tidak ada ruang bagiku untuk mengintervernsi hal itu. Alicia menggosok matanya sambil mengalihkan wajahnya. “Apa-apaan itu?!” marah Alicia. “Ah, maaf soal itu. Aku hanya memastikan kau ini Alicia yang asli atau bukan,” jawabku datar. Dan tentu saja itu hanya kedok konyolku
Alicia ikut duduk di pinggir pantai sambil memeluk lututnya. “Kau tadi melihatnya ‘kan?” “Tidak. Lagipun aku tidak mengerti apa yang kau maksud” balasku. Bohong. Aku jelas paham apa yang temanku ini maksud. Tapi sekali lagi, tidak ada hak bagiku untuk ikut campur di dalamnya. Aku harus mengalihkan pembicaraan ini. “Ngomong-ngomong, Alicia, bagaimana rencana karirmu kedepannya?” tanyaku. “Aku berencana melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi. Sangat ingin.” Aku bisa melihat Alicia memeluk lututnya semakin erat. “orangtuaku telah merencakan perjodohanku.” “Ah, selamat soal itu. Kalau kau butuh kameraman dan videographer hubungi saja ak-” Belum sempat menyelesaikan ucapan selamatku, angin membelai lembut rambut panjang Alicia, tetesan air mengalir dengan cepat melalui ekor matanya yang bercahaya ditimpa purnama. Aku sepertinya sudah sepenuhnya mengerti apa yang telah terjadi. Sejak awal ternyata aku sendiri yang menggiring masalah ini kepadaku. Nampaknya sudah menjadi takdirku untuk bertemu masalah seperti ini.
Suasana terasa sangat canggung. Tidak ada ruang bagiku untuk berbicara. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut kami selama selang beberapa saat. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah tetap diam dan menunggu.
Air mata Alicia mulai reda namun tidak etis bagiku untuk berbicara duluan, karena aku sebisa mungkin mencoba untuk tidak membawa diriku lebih dalam ke masalah ini. Aku hanya bisa berharap perempuan ini yang akan bertanya duluan.
“Orangtuaku menjodohkanku,” ucap Alicia lirih. “Tapi aku tidak mengingnkannya. Aku belum ingin mengemban tugas berat seperti itu, aku masih ingin menikmati masa mudaku dalam kebebasan.” Alicia menatapku penuh harap, matanya masih berkaca-kaca, “Aku Hey, Arthur, kau suka membaca, bukan? Artinya kau tahu beberapa solusi yang bisa membantuku, ‘kan?” Aku menarik nafas, menenggelamkan pandanganku kedalam luasnya langit. “Tidak etis bagiku untuk ikut campur urusan keluarga orang lain. Tapi karena kau meminta bantuan akan kuberi sedikit saran yang mungkin bisa membantu. Namun maaf saja, kau harus menceritakan semuanya secara detail.” Sepertiya memang sudah menjadi takdirku untuk bertemu masalah seperti ini lagi. “Saat aku mendengar rencana bodoh itu, aku hampir setiap saat berdebat dengan orangtuaku. Tidak peduli seberapa keras aku membantah, pendirian orangtuaku tetap kuat. Aku sudah banyak kali menjelaskan alasanku untuk menolaknya tapi selalu ditolak mentah-mentah. Parah sekali. Rasanya aku ingin minggat dari rumah. Tapi sepertinya takdir mempertemukan kau denganku untuk membantuku.” Jelas Alicia, “Hey, Arthur, kau punya kamar kosong di rumahmu?” Alicia menatapku dengan tatapan konyol.
Seperti yang kuduga, masalah utamanya adalah Alicia yang menolak rencana perjodohannya. Aku bisa memaklumi hal itu karena menurut pandanganku, dia bukan tipe perempuan yang terbiasa dengan hal-hal yang membelenggu, cenderung aktif dan memiliki kepribadian yang kuat. Dan jikalau memang itu takdir, aku harap aku benar-benar membantunya karena aku sudah terlanjur hanyut dalam arus ini.
“Sebaiknya jangan lakukan hal yang bisa memperburuk keadaan,” tegasku. “Dan membawamu ke rumahku akan membuatku dihabisi oleh keluargaku sendiri jadi sebaiknya, urungkan niat konyolmu itu. Aku belum menemukan arti kehidupanku, jadi aku belum berencana meninggal dengan cepat.”
Alicia sedikit tertawa mendengar jawabanku. Namun setidaknya lelucon anehku itu bisa membantunya untuk sedikit tenang. Akan sulit mencari solusi dengan isi kepala yang kalang kabut. Dan saat seperti inilah pengetahuanku bisa berguna.
Aku menawarkan Alicia teh hijau yang kubawa. “Pertama-tama mari kita rumuskan masalahnya. Kau tidak menyutujui rencana tersebut, orangtuamu tidak menentang pendapatmu, kau masih ingin melanjutkan pendidikanmu tanpa menikah, aku punya sedikit rencana.”
Aku keliru, aku ternyata tidak punya rencana yang sempurna, aku terdiam beberapa saat. Mata Alicia menunggu dengan khidmat. Aku hanya dapat memikirkan beberapa hal. “Pertama,” sambungku. “Cari suasana yang tepat. Jangan membahas hal ini dalam keadaan marah, tetap tenang, jangan bicarakan hal ini jika orangtuamu dalam keadaan mood yang buruk. Kedua, ucapkan dengan lugas hal-hal yang membuatmu menolak rencana orangtuamu. Ucapkan dengan tenang. Aku tidak bisa menjamin hal ini. Namun tidak ada salahnya mencoba.” “Bagaimana jika gagal?” tanya Alicia. Benar, aku sendiri tidak bisa menjamin hal ini. Aku hanya bisa memikirkan hal-hal nekat lainnya jika rencana ini gagal. Tapi itu justru bisa memperburuk keadaan.
“Aku sendiri tidak tahu,” jawabku. “Tapi aku bisa memberitahumu satu hal. Tiap orang berhak memiliki kebebasan, tiap orang berhak memiliki kebahagian selama itu tidak merenggut hak orang lain. Jadi kebahagian itu tergantung pada tiap individu. Tiap orang tidak boleh mengintervensi hal tersebut. Jadi bagaimana menurutmu?” Alicia menggeleng, “Itu lebih dari cukup.” Meletakkan gelas tehnya dan berdiri menatap bulan, “Sepertinya aku akan berhutang budi kepadamu, Arthur.” “Aku tidak berhak mendapatkan piutang budi sepeserpun. Itu semua kembali kepadamu, tergantung pada apa yang kau lakukan. Aku hanya memberi sedikit bantuan.” Meskipun begitu, aku masih tidak tahu, apakah yang kulakukan ini sudah benar atau tidak? Apakah aku benar-benar membantu atau aku hanya sedang memuaskan penyesalanku di masa lampau. Aku ini parah sekali…
“Ngomong-ngomong, Alicia, kau harusnya tidak dengan mudah menceritakan masalah pribadimu kepada orang lain. Kenapa kau malah dengan entengnya menanyakan hal itu padaku?” tanyaku Ekspresi wajah Alicia kembali cerah, tatapan matanya lebih berbinar dari sebelumnya, “Bukankah sudah jelas, kita berada di kelas yang sama selama tiga tahun. Kau juga dikenal bukan tipe orang yang banyak bicara. Lagipun … aku tidak punya lagi orang yang bisa membantuku. Aku yakin memang takdir yang mempertemukan kita. Ah, maaf soal itu, aku terkadang suka meromantisasi suatu hal. Kau sendiri, kenapa kau mampu dan mau membantuku menyelesaikan masalahku?” Akupun tidak tahu kenapa.
“Mungkin, aku teringat akan masa laluku. Dulu aku pernah menghadapi masalah.” “Masalah?” Tanya Alicia. “Hanya masalah konyol. Waktu dimana aku berusaha menjadi pahlawan kesiangan. Hanya itu yang perlu kau tahu.” jelasku. “Baiklah, intinya terima kasih. Aku akan segera menyelesaikan masalah ini.”
Tidak berselang beberapa lama setelah momen bahagia tersebut, seorang pria dewasa menarik paksa lengan Alicia. Alicia mencoba melepaskan genggaman pria itu. Namun bagaimanapun, kekuatan mereka berbeda. “Ayah, lepaskan!” erang Alicia sambil terus menarik lengannya menjauh Gawat, aku tidak pernah menduga akan berakhir seperti ini. Jika Alicia tidak mendapat kesempatan, semua yang dia rencanakan akan gagal dan kemungkinan terburuk bisa saja menjadi nyata. Sialnya, tidak ada celah sedikitpun bagiku. Tidak kesempatan yang tepat karena ini adalah urusan dalam keluarga orang lain.
“Kenapa ayah selalu bertindak seenaknya?! Ayah selalu saja melakukan hal tanpa persetujuanku!” raung Alicia “Yang seenaknya itu kau, dasar bodoh! Apa yang kami lakukan itu semuanya demi kebaikanmu sendiri!” Ayahnya membentak jauh lebih keras dari Alicia. Tidak pernah kuduga kan separah ini. Mata Alicia tampak mulai berkaca-kaca, “Ayah yang seenaknya! Tidak mengerti perasaanku! Menetukan setiap hal seenaknya!” jerit Alicia. Sial, konflik ini akan semakin parah jika terus berlanjut di sini. Aku harus melakukan sesuatu.
(Aku tidak bisa melakukan apapun.) (Aku harus!) (Ini diluar urusanku!) (Aku harus!) Isi kepalaku begitu berisik. Namun sekarang tidak waktu untuk mempertimbangkannya. Lebih baik menyesal daripada tidak sama sekali. Aku berdiri, mengumpulkan seluruh keberanianku lalu melepaskannya dalam satu tembakan besar.
Aku mengangkat tangan kananku dan tersenyum seperti orang bodoh, “anu, boleh saya berbicara sedikit.” (Ah, habislah aku.) (Berpura-pura bodoh sajalah.) (Sudah terlambat menyesalinya.)
Kedua orang yang bertengkar itu menatapku. Air mata mulai jatuh dari ekor mata Alicia. Namun yang mengejutkan adalah ayahnya seolah-olah baru saja melihat makhluk asing. “Siapa kau? Jangan seenaknya mencampuri urusan keluarga orang lain. Dia ini anak semata wayangku yang nakal. Aku harus memberinya sedikit pelajaran.” Ada apa ini? Jangan bilang bahwa dia tidak melihatku sejak tadi. Seluruh tekadku telah mantap. Dari cara bicaranya, aku bisa menarik kesimpulan bahwa dia orang yang tangguh bahkan dalam hal berbicara.
Cerpen Karangan: Muh. Khairan Katsira Blog / Facebook: Muh Khairan Katsira Our society is kinda cringe ngl.