“Itu benar, saya tidak punya hak mengurusi keluarga anda, paman. Sangat tidak sopan jika saya tidak menghormati hal tersebut. Namun saya memohon dengan sangat untuk menyampaikan beberapa hal. Perkenalkan, paman, saya teman dari Alicia di sekolah. Hanya teman tidak lebih. Saya telah mendengar cukup banyak tentang apa yang terjadi.” “Memang benar, menjadi kewajiban orangtua untuk mengajar anak-anak mereka. Namun-” “Namun apa? Kau sendiri yang bilang bahwa tidak baik ikut campur urusan orang lain. Dan kau harusnya paham soal itu.” Aku tidak bisa membantah hal itu. Namun aku sudah terlibat masalah ini sejak awal. Maka aku harus menuntaskannya. Lebih tidak etis bagiku jika aku kabur dari hal ini.
“Sampai di sini saja pembicaraan kita. Ayo pulang.” Ayah Alicia kembali menarik lengan anaknya. Namun Alicia tetap tidak menyerah. Perlawannya justru semakin kuat. “Aku tidak mau dan tidak akan pulang. Kalau kalian tidak mau mendengarkanku, lebih baik aku pergi dari rumah dan tidak pernah kembali!” Tantang Alicia
Akhirnya tiba juga, blunder kedua pihak yang akan membuat konflik ini semakin merepotkan. Saat ayah Alicia melepas genggaman tangannya lalu mengangkatnya, sinyal bahaya di kepalaku berdering kencang. Memberitahuku bahwa akan ada satu hal buruk yang terjadi. Dan akupun mengetahui hal itu.
Dalam waktu sepersekian detik, ratusan pro dan kontra membanjiri kepalaku, memberitahu seluruh kemungkinan yang dapat terjadi. Namun saat ini, semua hal itu tidak penting. Hanya ada satu hal yang paling masuk akal untuk kulakukan. Tanpa menunggu lebih lama, aku langsung menerjang ke arah ayah dan anak itu.
Semuanya tiba-tiba terasa sangat lambat. Wajah teman-teman lamaku terlihat jelas dalam khayalanku. Ratusan pikiran kembali memenuhi otakku, menggunjingku, menertawakanku, bertepuk tangan kepadaku, menyorakiku, menghinaku, memberiku selamat. (Dasar bodoh!) (Kerja bagus!) (Apakah itu etis?) (Ya, itu etis. Teruskan larimu!) (Sebenarnya apa yang kulakukan? Mencoba menjadi pahlawan kesiangan di malam hari?) (Tidak, jika kau tidak ingin hal itu terulang, jangan berhenti) (Ah… berisik sekali.)
Tanganku meraih pundak Alicia, menariknya kebelakangku. Posisi kami tertukar.
Sebuah tamparan. Tamparan keras mendarat tepat di pipiku. Kekuatannya luar biasa hingga sempat membuatku kehilangan keseimbangan. Aku yakin, tamparan seperti ini sanggup menjatuhkan seorang perempuan. “Apa yang kau pikirkan, bocah tengil?!” Ayah Alicia langsung memakiku dengan seribu makian. Tentu saja, aku telah memperhitungkan hal tersebut.
Selang beberapa saat, aku terus terdiam. Ah … parah sekali. Padahal sudah sejauh ini tapi aku malah diam membatu. Namun tidak ada waktu untuk gentar. Saat ini adalah pertarunganku. Aku yang memulai ini, maka aku juga yang harus menyelesaikannya.
Dari kejauhan aku bisa melihat seorang wanita berlari ke arah kami. Dari responnya yang shock melihat kami, aku menarik kesimpulan bahwa dia ibunya Alicia. Aku tidak menduga hal ini. Namun aku harap kedatangannya tidak memperkeruh keadaan.
Aku menatap ganas mata ayah Alicia. “Paman, aku tahu bahwa ini sangat tidak pantas. Aku juga tahu bahwa semua yang anda lakukan demi kebaikan Alicia. Aku juga tahu bahwa aku ini hanya orang luar yang ikut campur. Namun sebaiknya kita berdua mendinginkan kepala sebelum bertindak agar hal seperti ini tidak terjadi. Jadi aku punya satu permintaan, permintaan yang sangat mendalam. Untuk saat ini tolong dengarkan penjelasan Alicia.”
Ayah Alicia terdiam, menunggu respon kami. Aku menatap mata Alicia. “Sisanya kuserahkan padamu,” ucapku lirih. Alicia berdiri maju menatap ayahnya dengan mengepalkan tangannya yang agak gemetaran. Namun aku bisa merasakan aura keberanian menjalar dari dalam dirinya. “Ayah, bisa jelaskan lebih lanjut kenapa kalian berencana menikahkanku di usia yang masih muda?” “Tentu saja demi kebaikanmu sendiri.” Balasnya datar. “Bukan itu penjelasan yang kuinginkan!” “Dengan menikahkanmu, kau bisa mendapatkan kehidupan yang layak tanpa harus bekerja keras,” lanjut ayah Alicia “Tapi … aku belum siap untuk menikah sama sekali! Kalian tahu ‘kan bahwa pernikahan ini butuh persetujuan masing-masing? Dan aku masih ingin meraih pendidikan yang lebih tinggi, masih ingin mencari pekerjaan sendiri, lalu menikah dengan keinginanku sendiri. Memangnya apa yang salah dengan keinganku itu? Biaya untuk sekolahku cukup. Aku juga mendapat rekomendasi universitas yang bagus dari sekolah. Apa yang salah dengan semua itu?” lugas Alicia “Nak, aku ingin kau mengerti. Dengan menikah, kau tidak perlu bersusah payah dalam hidup. Kalaupun kau mau, kau boleh tetap bersekolah selama menikah”
Aku akhirnya sedikit mngerti pola pikir ayah Alicia. Agak kuno jika harus kupiirkan. Karena aku pernah mendengar hal yang demikian beberapa tahun lalu. Namun sayangnya, pola pikir tersebut gagal. Dan aku penasaran kenapa ibu Alicia tidak memberi komentar sejak tadi
“Aku menghargai pendapat ayah. Tapi hidup bukan berarti harus selamanya tentang hal-hal yang mudah. Sudahlah, ayah. Tidak ada salahnya membiarkan untuk tetap bersekolah dengan tenang. Dan bersekolah sambil mengurus rumah rumah tangga bukanlah hal yang mudah sama sekali. Kita hidup di zaman yang berbeda. Mungkin wajar di zaman kalian menikahkan anak mereka secepat mungkin. Tapi zaman kita berbeda, budayanya juga tidak seperti dulu lagi.” sambung Alicia. Ayah Alicia terdiam. Aku tidak menduga bahwa Alicia bisa mengeluarkan perkataan sekritis itu. Nampaknya hasil pertarungan sengit ini semakin jelas.
“Sudahlah, Paul.” Ibu Alicia memegang pundak suaminya dan membujuk. Akhirnya memberikan komentar pro. Syukurlah, keberadaannya mempermudah segalanya. Nampaknya ibu memang orang yang paling mengerti anaknya. “Tapi kita sudah sepakat akan hal ini.” Ayah Alicia mencoba membantah. Ibu Alicia menggeleng. “Mendengar ucapan Anak kita, aku yakin dia telah merencanakan masa depannya dengan matang. Lagipun kita belum menemukan pasangan yang cocok dengan putri kita dan kita juga tidak boleh terus memaksakan kehendak kita karena suatu saat setiap orang akan beranjak dewasa. Kalau kita benar-benar mengingkan kebahagiannya, harusnya kita mendukungnya. Kau setuju akan hal itu ‘kan?” Ibu Alicia menatap anakknya yang seperti ingin menangis.
Ayah Alicia menarik nafas panjang. Dengan seperti ini aku telah bisa menebak hasil akhir dari semua ini. Ternyata sejak awal belum ada calon yang ditentukan. Aku penasaran, kenapa masalah ini bisa sampai serunyam ini.
“Sepertinya aku berhutang maaf kepadamu, nak. Kalau begitu, terserah saja, kau mau melanjutkan masa depanmu, semua terserah padamu. Namun aku harus memperingatkanmu, Alicia, putriku. Kenyataan itu berbeda dari yang kau pikirkan. Dan dunia lebih keras dari yang kau duga.” Jelas ayah Alicia.
Checkmate Kemenangan ada di tangan Alicia. Ekspresinya kembali cerah setelah melewati hal-hal dramatis seperti dari. Kedua orangtuanya telah pergi meninggalkan kami berdua dengan ibunya sedikit menunduk kepalanya kepadaku sebelum ia ikut pergi. Aku penasaran dengan budaya yang mereka miliki. Terlebih pola pikir mereka yang sulit kumengerti. Nampaknya memang benar bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks.
Angin bertiup, menyapu seluruh tubuh kami dengan udara malam yang dingin. Seolah-olah menghempaskan pergi tenaga kami, aku dan Alicia tumbang ke pasir. Alicia terduduk menatap langit sementara aku merebahkan punggungku. Aku hampir tidak bisa bergerak. Rasanya delapan puluh persen tenagaku tersedot.
“Nampaknya aku berhutang banya hal,” ungkap Alicia. “Sudah kubilang ‘kan, kau tidak berhutang apapun. Ini adalah hukuman untukku.” Aku mengangkat tanganku. Mencoba menggapai ujung langit yang luasnya tidak terhingga. Sebagian ingatanku kembali menghantuiku. Andaikan … Andaikan dulu aku bisa seperti ini. Andaikan dulu aku seberani tadi, mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi.
(Maaf) (Maafkan aku) (Aku terlalu naïf) (Apakah ini sudah benar?) (Apakah ini benar-benar telah membantu?) (Aku tidak mengerti.)
Tanpa kusadari, air mata menetes keluar dari mataku. Aku tidak mengerti, kenapa aku menangis? Untuk apa aku menangis? Siapa yang aku tangisi? Ah … ternyata benar, satu-satunya hal aku ketahui bahwa aku tidak mengetahui apapun. “Maaf, hantaman tadi … sesakit itu kah?” Suara Alicia terdengar gemetar. Aku menyeka seluruh air mataku, “Tidak … ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal itu.”
Aku bangkit, melihat ke arah laut. Cahaya bulan terpantul di permukaan air. Aku mengambil kameraku dan berjalan ke arah laut. Alicia mengikutiku dari belakang. Tanpa mempedulikan pakaian kami yang basah, kami masuk ke air Aku mengarahkan kameraku ke permukaan air, memontret beberapa lipatan ombak.
“Sekarang sudah berakhir ‘kan?” tanyaku. Alicia hanya menjawab dengan gumaman singkat.
“Jadi bagaimana? Kau akan tetap melanjutkan pendidikanmu?” sambungku. “Tentu saja. Setelah yang kita lewati, akan menjadi hal bodoh jika aku menyia-nyiakannya,” jawab Alicia
Selang beberapa saat, suasana menjadi hening. Alicia berjalan lebih dalam hingga air menyentuh setengah dari betisnya. Lalu menatapku dengan mata yang penuh keingintahuan.
“Hei, mungkin tidak sopan bagiku menanyakan hal ini. Kenapa kau sampai senekat itu tadi?” Aku sendiri tidak tahu “Aku sendiri tidak tahu” jawabku. “Aku tidak mengerti apa yang kulakukan saat itu. Tapi rasanya ada sesuatu yang mendorongku. Sesuatu yang jauh di masa lampau. “Kau ingat masalahku yang kukatakan di awal. Akan kuceritakan sedikit.” Sambungku. “sekitar tiga tahun lalu, setelah aku dan teman-temanku lulus, salah satu murid perempuan mengatakan akan dinikahkan. Di usianya yang masih sangat muda.
“Dari tampilanku, mungkin aku terlihat tidak peduli. Kaena memang saat itu aku lebih penyendiri dari sekarang. Tapi jauh dalam hatiku, ada hal yang menentang rencana itu. Aneh. Sangat aneh. Benar-benar aneh. Perempuan itu hanya kuanggap teman satu angkatan. Tapi entah kenapa sesuatu dalam diriku berkata bahwa pernikahan yang dia lakukan itu salah. Aku paham dengan sangat bahwa pernikahan usia dini tidak diakui secara sah oleh Negara dan bisa menimbulkan banyak masalah. Pendidikan wajibnya bisa terganggu. Mungkin hal itu yang mendorongku. Benar-benar bodoh. Ia bahkan tersenyum saat menyampaikan berita tersebut.” “Ya, terdengar sangat bodoh, menyerahkan kehidupannya yang masih panjang begitu saja,” ungkap Alicia. “Bukan seperti itu. Aku yang bodoh. Mengurusi hal yang bukan urusanku bahkan mencoba mencari pihak yang bisa membantuku. Namun semuanya sia-sia. Semuanya. Namun saat ia berkata ia akan tetap bersekolah. Aku berhenti. Aku tidak peduli lagi. “Ironisnya aku yang secara diam-diam menolak rencana tersebut malah datang ke acaranya.” Jelasku.
“Jadi, bagaimana? Kau telah mendapat kabar temanmu itu?” Tanya Alicia. Aku mengangguk, menarik nafas dalam-dalam, “Satu-satunya yang kudengar bahwa ia berhenti sekolah. Aku tidak menduga hal itu. Tapi kemudian aku tersadar, jika misal aku berhasil mengagalkan rencana tersebut, satu sekolah mungkin akan membenciku karena telah menghancurkan rencana pernikahan orang lain. Aku ini benar-benar tidak etis.” “Kau tahu, sejak tadi kau terus menyebut hal-hal yang berkaitan dengan etis. Aku pernah mendengarnya. Tapi sebenarnya apa etis yang kau maksud?” tanya Alicia. “Masalah yang berkaitan dengan moral. Prinsip baik dan buruk. Mungkin itu bahasa sederhannya.” Jawabku singkat.
“Ternyata benar, yang menganggumu sejak tadi adalah idealismemu sendiri. Dari sudut pandangku, kau tidak perlu terlalu memikirkan hal tersebut. Apa yang kau lakukan sudah cukup benar dengan tidak melakukan apa-apa. Kau tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kesalahan yang bukan ulahmu. Melakukan sesuatu bisa saja berarti menimpakan masalah untuk dirimu sendiri. Dan untuk masalahku, kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Itu sudah tepat karena yang kau coba bantu adalah aku sendiri. Tidak ada pahlawan super yang mampu menyelamatkan semua orang di bumi.” jelas Alicia.
Aku begitu terkejut dengan apa yang dikatakannya. Aku tidak pernah menduga akan mendengar kata-kata seperti itu dari mulutnya. Ia begitu kritis. Aku mengakui kekalahanku. “Tidak heran jika kau mampu menumbangkan opini ayahmu dalam beberapa kali serangan. Tapi aku penasaran. Kenapa masalahnya bisa serunyam itu tadi.” Alicia menyusuri air sambil menatap ke bawah. Pantulan cahaya bulan menyentuh wajahnya. “Yah, terkadang mereka agak sulit kutebak.”
Alicia menaikkan lengan jaketnya lalu menghantamkan tangannya ke air, menyosori dasar pantai dengan tangannya dan menarik sesuatu ke atas. “Haha! Ketemu!” Sebuah kerang berukuran setengah telapak tangan diangkatnya ke langit. Ia menatap kerang itu lekat-lekat. Cahaya bulan jatuh tepat di permukaan wajahnya yang lebih cerah dari langit malam. Indah sangat indah. Aku harus mengabadikan hal ini.
“Alicia jangan bergerak, pertahankan posisi dan posemu, aku akan mengambil sedikit dokumentasi.” pintaku. Dengan buru-buru aku menyalakan kameraku. Memutar lensa, mengatur fokus. Dan akhirnya, menangkap salah satu gambar terindah yang pernah kudapat.
Ternyata benar, selama ini aku adalah orang paling tidak etis yang kukenal.
Cerpen Karangan: Muh. Khairan Katsira Blog / Facebook: Muh Khairan Katsira Our society is kinda cringe ngl.