“Pa!, mama arisan dulu ya” ucapku kepada Mas Damar, yang sedang santai menonton televisi. “Hmm” jawabnya, tanpa melihatku dan terus fokus keacara berita siang hari ini, yang menampilkan masalah lalu lintas dari salah satu acara televisi.
Hari libur seperti ini, memang biasa dihabiskan dengan bersantai. Iren masih di rumah neneknya, nanti sore baru akan dijemput.
Kebetulan hari ini, jadwal arisan ibu-ibu PKK, yang bertempat di rumah Bu RT. Begitu sampai di sana, suasana masih sepi, hanya ada sekitar lima orang saja di dalam ruang tamu. Sedang Bu RT, berada di luar untuk menyambut para ibu-ibu yang datang, sekaligus melakukan pendataan.
Aku berjalan masuk, kedalam ruangan yang hanya terisi lima orang itu. Setelah mengucapkan salam dan menemui Bu RT di luar. Lalu mendudukkan diri diatas karpet berbulu bermotif bunga, yang ditempati sekumpulan orang lainnya, sambil menyandar pada tembok setelah mengucapkan salam, dan menyapa mereka.
“Ih! Bu Ambar, gelang masnya baru ya?,” tanya seorang Ibu, yang begitu terpesona dengan benda kuningan yang menyilaukan dikanan-kiri lengan Bu Ambar. Aku yang telanjur mendengar, hanya curi-curi pandang kearah mereka. “Iya, ini emas asli. 24 karat loh, kadar tertinggi,” ucap Bu Ambar begitu bangga. Sambil memamerkan pada ibu-ibu yang lain. Lagi aku hanya mendengarkan, dari kejauhan menampilkan wajah tidak peduli.
Sepertinya, ini hari buruk untukku. Karena harus terjebak dengan sekumpulan ibu-ibu sosialita, yang selalu membanggakan barang mewah untuk diadukan. Sedangkan diriku hanya berasal dari rakyat menengah, yang uang bulanannya bisa mencukupi kebutuhan itu sudah alhamdulillah.
Ruangan ini ber-AC, tapi terasa sumpek dan begitu gerah. Ditambah rasa sesak, yang mulai melanda. Kedua jemari tangan memilin satu sama lain, takut jika diajak ngobrol membahas topik yang sama. Padahal baru saja, aku melupakan kejadian semalam. Saat berharap dapat kotak harta karun dari suamiku itu, dan malah berakhir hampa. Kini kepalaku harus kembali terkontaminasi, dengan kata-kata yang membangkitkan napsu dunia.
“Mbak Ranti, kok diam saja. Tidak mau gabung sama kita Mbak?” tanya Bu Retno, ia adalah isteri Dekan. Rumahnya paling besar dibagian deret selatan.
Aku menjadi kikuk, dan hanya tersenyum canggung. Tidak tau harus merespons seperti apa. Bukan tidak tertarik, tapi tidak punya barang dan ketenaran yang bisa dibanggakan.
Keadaan terasa semakin mencekik untukku, waktu seakan berjalan lambat. Irama detak jam berganti detik, terdengar begitu lama. Yang biasanya suaranya terdengar seperti menyanyi, kini berubah seperti siput berjalan.
“Mas Damar jadi karyawan tetap, di PT besar bergedung di belakang komplek, ‘kan ya,?” tanyanya pada yang lain. Mereka kompak mengangguk, selayaknya sebuah tim. “Kok Mbak Ranti penampilannya biasa saja,?” tanya Bu Ambar. Dengan menatap penampilanku sinis. Entah apa maksudnya itu, apa itu sebuah ejekan atau apa. Tapi aku tidak peduli. “Iya, ya. Sesekali dong Mbak, berpenampilan modis. Biar suaminya nggak kemana-kemana” ujar Bu Desi, seorang isteri abdi negara. Suaminya Tentara, yang hanya pulang tiga bulan sekali saja. “Nggak kemana-mana, suami situ tuh yang kemana-mana. Dirinya yang sering ditinggal, malah nyeramahin orang” Aku mengutuk di dalam hati, mulut orang-orang sok tau ini. Mereka pikir gaji karyawan pemasaran berapa?, uang tiga juta lima ratus rupiah hanya mampu menyisihkan tabungan sebanyak-banyaknya delapan ratus ribu perbulan. Setelah terpotong dengan biaya hidup, kontrakan, uang jajan dan lain-lain.
Meski begitu aku juga masih mampu membeli perawatan wajah, dan baju bagus meski tidak setiap hari. Hanya saja aksesoris bernilai jutaan hingga puluhan juta itu, sudah jelas aku tidak akan mampu. Uangku terlalu sayang, jika hanya harus dihambur-hamburkan.
Keadaanku serasa terhimpit, ingin menjawab. Namun, tidak tau kata-kata seperti apa yang harus dilontarkan. Berutung rombongan ibu-ibu yang lain mulai datang, aku kembali bernapas lega. Pembicaraan mereka teralihkan dengan menyambut orang yang baru datang, dan tentunya topiknya juga ikut berbeda. Bukan lagi tentang materialistis, tapi permasalahan realistis yang terjadi di masyarakat sekitar. Dan itu mampu, membuat keberadaanku terisolir dari mereka.
Ranti pulang dengan menampilkan wajah masam, membuat Damar yang masih terongok di sofa ruang tamu ditemani televisi menyala mengeryit heran, hingga dahinya membentuk lipatan. “Mama, kenapa?. Pulang-pulang kok betek, nggak dapat giliran ya?” tanya Damar, begitu Ranti menghempaskan dirinya di sofa, dengan menampilkan wajah yang tidak bersahabat.
Ranti menoleh kearah Damar, lalu memalingkan wajah ke depan menghadap televisi yang sedari tadi dihidupkan, entah sudah berada lama. Lalu mendengkus, seraya mengembang kepiskan hidung mengatur emosi yang mengepul di kepala.
“Mama kesel, dijadiin omongan sama ibu-ibu sosialita. Mentang-mentang emas yang dia pakai, kadarnya 24 karat!” “Oh” Ranti melongo dengan jawaban Damar, kini wajahnya kembali berpaling kearahnya. “Kok cuma oh, emang Papa mau beliin buat mama!” sewot Ranti.
Damar jadi kelimpungan dengan perkataan yang dilontarkan Ranti, sebenarnya ia juga kasihan dengan Ranti. Terbesit keinginan untuk memberikan barang yang ia inginkan meski hanya satu saja. Namun, mengingat masih banyak yang harus mereka targetkan kedepannya, Ranti harus menahan keinginannya itu.
“Mama, pengen emas 24 karat kayak gitu juga?” tanya Damar. Ranti mengangguk lemah, membuat Damar merasa bersalah. “Sebenarnya …,” lanjutnya tertahan. “Papa punya peti rahasia, di gudang” Ranti dengan semangat mengangkat kepalanya, mendengarkan dengan serius perkataan suaminya. “Peti rahasia?” tanya Ranti. Damar mengangguk mantap. “Apa isinya, Pa?” Desak Ranti tidak sabar, ia tidak menyangka jika suaminya itu telah menyebunyikan sesuatu darinya selama ini. “Banyak!” seru Damar. “Bukan cuma bergram-gram ma!, tapi sudah pasti berkarat-karat” ucapnya dengan wajah serius mungkin. “Yang, bener?” tanya Ranti dengan wajah berbinar, lalu mencoba mencari kebohongan di mata Damar. Memastikan itu bukan kata tipuan, yang sering ia lontorkan untuk melucu. Sialnya ia tidak bisa menemukan itu. “Kalau gak percaya, Mama cek saja sendiri. Petinya papa umpetin di belakang tumpukan kardus” ucap Damar lalu melenggang pergi.
Ranti masih termangu dengan keyataan yang ia terima, lalu tersadar saat Damar meninggalkannya. “Papa mau kemana?” “Beli bensin”
Begitu Damar pergi dan tidak terlihat dibalik pintu. Dengan tidak sabar, Ranti berlari menuju gudang untuk mengeksekusi ruangan berdebu itu. Pintu berdecit, begitu Ranti membukanya. Debu berhamburan dimana-mana, sudah lama ruangan ini tidak pernah ia bersihkan. Matanya menjelajah mencari tumpukan kardus yang dimaksud. Di sana di pojok bagian kanan, terdapat tumpukan kardus menjulang.
Ranti bergegas mendekat, lalu meraih satu persatu dipindahkan kesisinya. Mulai dari yang ringan hingga berat, dipindahkan dengan semangat. Peluh mengucur didahinya, bajunya mulai basah terkena keringat tidak ia hiraukan. Tumpukan terakhir berhasil dipindahkan, menampakkan sebuah peti dibelakangnya.
Matanya begitu berbinar, tapi hanya sesaat. Lalu berganti kernyitan didahinya. Pasalnya, yang ia lihat adalah peti berbentuk balok berkarat. Firasatnya mulai tidak enak, terbesit pikiran ragu diotaknya, apalagi peti itu tidak terkunci. Menandakan sekali jika tidak ada benda berharga di dalamnya. “Jangan-jangan Mas Damar ngibulin aku, awas saja kamu Mas kalo bener bohong,” ucap Ranti berkacak pinggang.
Tapi rasa penasaran, lebih mendominasi. Ranti bergegas membukanya, betapa terkejutnya ia dengan isinya. Seutas rantai karat, yang telah putus. Lalu di bawahnya beberapa perkakas lama yang tidak terpakai mulai dipenuhi karatan dimana-mana.
Brakk Dengan kasar Ranti menutup pintu peti itu kembali. Badannya luruh ke lantai, tidak ia hiraukan bajunya yang belum diganti bercampur debu. Dadanya bergemuru, menahan letih. Padangannya berpindah pada tumpukan kardus berisi macam benda di sekitarnya, yang terongok berhamburan sana-sani. rasa lelah makin menyerang dirinya, melihat betapa berantakannya keadaan gudang sekarang ini.
“Papa!!!”
Ranti menyesal percaya dengan omongan Damar, delapan tahun menikah dengannya. Tapi mereka masih terus saja seperti ini, Damar yang tukang prank, dan Ranti yang selalu berhasil jadi korban.
Bagaimana tidak, suaminya itu terlalu pintar memanipulatif pembicaraan. Atau mungkin ia juga pandai berakting, sedangkan Ranti adalah orang yang mudah percaya dengan bualan suaminya itu. Biasanya, Damar mengakui tipuannya itu juga jika ia memang mengerjai Ranti. Tapi kalau masalah emas berlian yang selalu Ranti sampaikan, ia terkesan sengaja membodohi Ranti dengan mengerjainya seperti ini.
“Awas kamu Mas!, tega banget” Ranti bangun dari lesehannya, tidak ia hiraukan bajunya yang kotor. Lalu membereskan kekacauan yang sudah dibuat, kembali merapihkan kardus-kardus yang berserakan ketempatnya semula. Kini rasanya lebih melelahkan daripada tadi, entah bagaimana bisa tadi ia tidak merasakan lelah saat membongkar kardus itu, dari terlalu semangatnya membuka peti harta karun.
Setelah semua selesai Ranti bergegas keluar dari gudang menutup pintunya kembali, lalu hendak ke kamar untuk mandi. Ia menghela napas dalam, melihat pintu rumahnya tidak ditutup begitupula dengan pagar.
Ia semakin jengkel, dengan sifat Damar. Bukannya ditutup, malah terus dibiarkan. Bagaimana jika ada maling masuk, sudah tidak punya harta dirampok pula.
Berjalan keluar ke halaman hendak menutup pagar, tapi pandangannya teralihkan pada rumah putih besar bertingkat dua di depan sana. Begitu banyak orang, tiga diantaranya memakai seragam Polisi.
Tiga ibu-ibu dasteran lewat di depan rumahnya, dengan terus mengoceh melirik rumah itu. Rasa penasaran Ranti semakin menjadi, hingga ia putuskan bertanya ke mereka.
“Bu!, ada apa ya?, kok di depan rame?” tanya Ranti pada mereka. Perhatian mereka terpusat pada Ranti. “Itu, Mbak. Suaminya Bu Ambar, ketangkep terkena korupsi” ujar ibu berdaster biru bercorak batik, ia Bu Nanik tetangga sebelah rumah Ranti. “Iya, nyesel saya. Pilih dia jadi anggota dewan, pas coblosan” sahut ibu yang disebelahnya, itu Bu Joko. Ranti juga tidak tau siapa namanya, hanya tau kalo orang memanggilnya dengan nama suaminya, yakni Pak Joko. Ia isteri baru Pak Joko yang baru pindah hampir setahun lalu. Bertepatan dengan Pilkada serempak.
Ranti tertawa miris dalam hati, ternyata emas yang dipamerkan tadi. Adalah emas hasil korupsi, nasib orang memang berputar. Tidak selalu berada di atas apalagi hasil dari cara yang tidak benar. Padahal baru sebentar, orang itu memamerkan hartanya dengan begitu sombong, karma tuhan malah langsung berlaku.
“Kita samperin saja, ibu-ibu. Nggak nyangka saya, kalau emas yang bertengger di badan Bu Ambar. Hasil merampas uang rakyat,” ucap ibu yang satunya lagi, berdaster kuning bercorak bunga. Yang Ranti tau namanya Bu Sari, orang komplek belakang. Jauh sekali teman gosipnya, sampai ke sini, pikir Ranti. Atau ia hanya penasaran karena mendengar kasak-kusuk atau sengaja lewat terus tau tentang perkara itu.
“Kita rampas balik saja, itu kan hak kita. Kalau dirampas sama pemerintah, nggak balik ke kita. Lumayan buat beli minyak”
Ranti melongo dengan ucapan Bu Nanik yang ia tanyai tadi, berani sekali mereka ingin merampas barang hasil korupsi. Kalau di Negeri ini memiki wewenang seperti itu, boleh merampas harta tetangga hasil korupsi, untuk kesejahteraan masyarakat. Sudah pasti makmur, rakyat yang memiliki tetangga korupsi.
Benar saja, mereka benar-benar pergi kesana. Menerobos kerumunan orang, yang rata-rata adalah ibu-ibu semua. Ranti tidak berani mendekat, dan hanya memantau dari balik pagar rumahnya.
“Bu Ambar, kembalikan hak kami!!” seru mereka. Bu Ambar kebingungan dengan maksud mereka, disela tangisnya ketika melihat suaminya telah digiring di bawah masuk mobil tahanan.
“Maksud kalian apa ya!,” ucapnya nyalang pada kerumunan ibu-ibu di depannya. “Nggak usah pura-pura, ini semua hak rakyat. Milik kami!,” ucap seorang ibu. Sambil memegang tangan Bu Ambar. Bu Ambar panik dengan wajah pucat.
Terjadi tarik menarik, antara mereka. Kondisi Bu Ambar, tidak karuan setelah ibu-ibu itu mengerumuni dirinya seperti gula, merampas semua emas di badannya.
Ranti ikut meringis, di balik pagar rumahnya. Melihat pemandangan di depan sana. Kemarahan emak-emak saja, sudah bagaikan petir menyambar apalagi jika belasan emak-emak se-RT.
Seorang Polisi, mencoba melerai keributan. Tapi ia kalah kuat dengan tenaga ibu-ibu, yang seperti kesurupan. Malah dirinya yang terkena pukulan dan cakaran. Terjadilah dorong mendorong, Polisi itu jatuh terjengkang kebelakang mengenai badan bu Ambar. Mereka berdua jatuh bersamaan.
“Bapak gimana sih!, kok biarin mereka merampok saya!,” jerit tangis Bu Ambar semakin jadi, penampilannya acak-acakan. Rambutnya berantakan seperti terkena jambakan.
Polisi itu meringis menahan sakit, disekujur tubuhnya. Bagaimanapun ia hanya sendiri, kedua temannya sudah pergi dengan mobil tahanan. Tidak mungkin ia bisa melawan ibu-ibu se-RT.
“Maaf Bu, saya sudah berusaha!,” ucapnya masih menahan sakit. “Sebaiknya Ibu, membuat surat laporan saja ke kantor untuk kasus ini. Sekalian membantu penyelidikan harta korupsi yang Ibu nikmati” lanjutnya, merasa tidak sanggup jika harus berperang sendiri melawan puluhan ibu-ibu yang mengamuk. “Harta apa!, Bapak nggak liat. Semua dicuri mereka!” ucap Bu Ambar dengan menjerit. “Yang pencuri itu suami Ibu!, bukan kita” ucap seorang ibu yang tidak terima. “Iya, betul!!!,” jawab mereka semua.
Pak RT, yang dari tadi hanya berdiri dari jauh melihat keributan. Tidak berani ikut berbaur untuk memisahkan, melihat betapa bengisnya pasukan ibu-ibu tadi. Baru bicara, “Sudah-sudah, serahkan semua pada kepolisian. Termasuk harta benda yang ibu-ibu ambil, itu barang bukti” ujarnya. “Tapi Pak RT, nggak bisa gitu dong” sahut mereka. “Ibu-ibu tenang, kita serahkan saja semuanya kepada yang berwenang” ucap Pak RT, lagi. “Huuhhhh!!!,” sorak mereka. Dengan terpaksa memberikan barang rampasannya pada polisi tadi, setelahnya polisi itu melajukan motornya. Dengan awas, takut terkena hajar lagi.
Damar masuk ke halaman rumahnya, mengendarai motor, bersama Iren putrinya. Begitu, selesai memarkirkan motornya. Ia menghampiri Ranti, yang masih menguntit dekat pagar. Iren putrinya sudah masuk kedalam rumah dengan ransel kecil, berisi baju salinan dipunggungnya, serta menenteng sekantong plastik putih sedang, yang berisi jajanan.
Ranti begitu fokus, dengan kejadian di depannya. Ia tidak sadar jika suaminya sudah pulang bersama putrinya. Bahkan kini Damar sudah berdiri di sebelahnya.
“Itu ada apa Ma?,” tanya Damar. “Itu, suaminya bu Ambar ditangkep karena korupsi” jawab Ranti, masih melihat ke sana. Damar mengangguk mengerti, lalu ikut melihat sambil berkata, “Makanya Ma, jangan suka iri sama kehidupan orang. Belum tentu hidup dia lebih baik dari kita. Pokoknya, hidup kita itu yang terbaik sedunia.”
Ranti tersadar, jika ia sedang berbicara dengan Damar. Ia menatap Damar penuh dendam, rasa kesal dan marahnya tadi masih tertahan. Damar menoleh, melihat wajah merah Ranti ia menjadi awas dengan menelan susah salivanya. Ia tau betul jika sudah seperti itu, gunung berapi di dalam isterinya itu akan meletus menyerang dirinya.
“Mama, kenapa?”
Dengan sigap, Ranti meraih sapu lidi disampingnya di bawah pohon mangga. Menghajar badan Damar tanpa ampun, hingga Damar mengadu kesakitan. “Kenapa, kenapa!. Aku kesel sama kamu Mas!, tega bohongin aku.” Damar langsung tau penyebab isterinya marah padanya, tidak lain adalah peti berkarat yang ia maksud di gudang beberapa saat lalu sebelum ia pergi. “Ampun Ma!, papa cuma bercanda.” “Bercanda Papa bilang! Mama capek tau nggak, angkat kardus itu semua!” “Mana papa tau, kalau Mama beneran meriksa ke gudang” Damar terus menghindar, dari amukan isterinya yang kesetanan.
Sedangkan Ranti terus memukul Damar, terjadilah kejar-kejaran antara mereka. Perhatian kerumunan ibu-ibu diseberang jalan, kini beralih kekeributan di depannya. Menatap heran keduanya, yang terlihat bertengkar di halaman rumah mereka.
Damar berlari kearah pintu, hendak masuk kedalam rumah, tetapi nahas ia tersandung undakan teras. Damar jatuh terjerembab ke lantai keramik teras rumahnya. Ranti terus menghajar suaminya, kini posisi Ranti menindih punggung Damar yang terkurap di lantai. Agar suaminya itu, tidak berhasil kabur.
“Mama ampun, Ma!!” “Rasain, kesel aku Mas!. Sama kamu.” Ranti terus memukul Damar, dengan menangis tergugu, di balik punggung Damar.
Damar yang menyadari jika Ranti menangis, lekas mencoba bangun. Dan menyingkirkan Ranti dari atas punggungnya. “Heiii, kok nangis?,” tanya Damar. Lalu membawa Ranti ke pelukannya, Ranti menangis tergugu bercampur kesal. Sambil memukul dada bidang Damar pelan dengan kedua kepalan tangannya.
Damar mengusap-ngusap punggung Ranti, sampai ia tenang. “Maafin papa,” ucap Damar “lagian papa nggak bohong!, peti itu emang papa umpetin di belakang kardus, dan Mama nggak tau, ‘kan?. Isinya juga bener, berkarat-karat.”
Ranti mencubit pinggang Damar, begitu melepas pelukan mereka, sambil mengerucutkan bibirnya kesal. bisa-bisanya ia masih melucu, disaat seperti ini. “Aduh, sakit Ma!” aduh Damar, sambil terkekeh. “Biarin!, kamu keterlaluan tau gak” ucapnya.
Cerpen Karangan: Sy_OrangeSky Blog / Facebook: Siti maisaroh