Mas Damar tengah berbaring diatas kasur, dengan memainkan gawainya. Aku sedang sibuk perawatan malam, duduk di depan kaca meja hiasku.
Terakhir aku baluri badan dengan lotion, khusus untuk malam hari. Aku simpan kembali peralatanku dengan rapi, berdiri lalu beranjak ke kasur. Aku dudukkan badan di atas kasur, sambil melihat Mas Damar di sebelahku yang tak terusik sama sekali.
Kudekatkan badan kearahnya, lalu aku usap pelan rambut lebat hitam legamnya yang mulai kembali memanjang. Memasukkan setiap helainya kesela jemariku. Kali ini Mas Damar ikut menatapku, disimpannya gawai yang ia pegang ke atas nakas.
Matanya terpejam, menikmati setiap belaian yang aku berikan padanya.
“Pa!” “Hm” hanya gumaman namun mampu membuatku berdecak kesal. Aku tau ia belum terlelap. “Pa!” panggilku lagi, agar ia mau membuka mata. Karena aku ingin bicara padanya. “Kenapa?” tanyanya. Kali ini berhasil, ia membuka matanya, kami saling pandang untuk sesaat. “Mama pengen ngomong” cicitku manja, tentu saja karena ada maunya. Jika tidak mana mau aku bersikap manis dulu pada suamiku itu. Setiap hari kami selalu berseteru, hanya karena masalah sepele. Dan tentu saja, Mas Damarlah yang sering menjadi penyebabnya.
“Ngomong aja” ucapnya, kembali memejamkan mata menikmati usapan demi usapan di kepalanya. “Pa, bentar lagi kan ulang tahun mama, mama pengen kita liburan bareng. Mau ya” “Iya” “Jangan iya, iya mulu. Nanti pas ditagih gak ada,” ucapku kesal. Jawaban Mas Damar, terdengar sekenanya saja. Apalagi ia sering menipuku dengan sifat menyebalkannya itu. “Kayak nagih utang aja kamu Ma” ucapnya, dengan membuka mata menatap diriku. “Iyalah, janjimu adalah hutang Mas,” “Emang mau liburan kemana?”
Aku menimbang kemana kiranya, jika Mas Damar serius kali ini. Ia memang selalu serius jika perihal hari penting, kecuali kejadian anniversary beberapa hari lalu, yang ternyata ia malah hanya memberiku mawar merah seperti biasanya untuk hadiah.
“Emm, gimana kalo ke Bali” “Hm” gumamnya, lalu memiringkan badan kearahku. Menelungkupkan kepalanya ke perut dengan satu tanganya memeluk erat pinggangku. “Kamu jangan hm, hm terus,” ucapku sambil berusaha mepaskan diri darinya. Namun, ia malah mengeratkan pelukannya. “Iya” “Janji, Mas?” tanyaku. Untuk memastikan kali ini ia benar-benar akan mengabulkannya. “Iya janji sayang” jawabnya. Dengan suara teredam oleh perutku. “Tapi besok temani mas ke kondangannya Heri ya!” “Heri sepupumu itu,” tanyaku. “Iya besok dia nikah” “Mau nikah kok gak bilang-bilang”
Hari ini seperti permintaan suamiku semalam, kini aku berada di gedung tempat acara pernikahan Heri. Sepupu Mas Damar, dari jalur ibunya. Ayahnya Heri adalah kakak dari mertuaku, ia anak bungsu dari om suamiku.
Pantatku terasa panas karena duduk terlalu lama, bayangkan aku harus duduk manis sedari pagi tadi melewati banyak acara. Di mulai dari akad nikah hingga resepsi yang belum kelar karena banyak tamu yang diundang. Mulai dari teman sekolah, teman kerja, keluarga besar semuanya dari pihak mempelai wanita maupun pria.
Tempat dudukku agak jauh dengan keluarga Mas Damar, jadi aku hanya diam menikmati pesta hingga selesai. Sedangkan Iren di rumah bersama ibu, tidak aku bawah ia kemari. Karena tidak memungkinkan untuk disuruh libur, sebab hari ini ia sudah mulai semester.
Aku celingukkan mencari Mas Damar yang sedari tadi tak terlihat batang hidungnya. Kulihat ia berjalan dari arah prasmanan, membawa piring dengan makanan setumpuk. Begitu ia mendudukan dirinya di sampingku aku menatap heran dirinya, makanan sebanyak itu buat apa coba. Tidak mungkin jika ingin dimakan berdua denganku, karena sendoknya hanya satu.
“Mas, banyak banget itu kamu ngambilnya?” “Biarin aja, orang aku laper” Aku menatap cengo, jadi ini alasan ia menolak sarapan tadi pagi. Agar bisa merampok makanan, kayak orang kelaparan di acara sepupunya sendiri. Tapi ia memang kelaparan, karena tidak sarapan. Beruntung, di meja bundar ini yang terdapat empat kursi. Hanya ada aku dan Mas Damar yang mendudukinya, jika terisi dua orang lagi bisa malu aku berada disini. Nanti, dikiranya tidak memberi makan suami lagi.
Bisa langsung kena cap, isteri durhaka dan tidak perhatian pada suaminya. Dari mulut tak beradab milik orang yang sama sekali tidak saling kenal. Padahal, tidak tau tentang kehidupan orang lain, masalahnya apa, apa saja yang ia lakukan kesehariannya tapi seenaknya berkomentar.
“Kamu nggak makan, Ran” tanya Mas Damar, mungkin risih karena aku hanya melihatnya makan sedari tadi. “Enggak, udah tadi” jawabku. Memang benar tadi sebelum tamu sesi kedua datang aku sudah mengisi perut, takut acaranya lama dan akhirnya malah pingsan di acara orang.
“Ini kapan kita pulangnya?,” tanyaku sambil mendumel ke Mas Damar. “Bentar lagi, habis salaman” “Kenapa nggak sekarang, aja salamin pengantinya. Biar cepet pulang” “Kata om, keluarga belakangan saja biar sekalian sesi foto”
Aku dengan jengah, menyandarkan diri ke kursi. Menatap segerombolan orang yang menganteri, seperti kereta api. Berjejer, berjalan pelan tapi pasti menuju pelaminan yang tidak berhenti sedari tadi, kalau begini bisa sore aku sampai ke rumah.
Mas Damar berlalu, membawa piring kosong kembali ke tempat prasmanan di samping kami. Aku harap ia tidak nambah lagi, bisa malu aku kalau sampai ada keluarga yang tau. Syukurlah, ia datang tanpa membawa apapun.
“Amplopnya, mana Ran?,” tanyanya. Aku mengernyit heran, untuk apa ia meminta amplopnya sekarang jika maju kedepan nanti pas di ujung acara. “Buat apa?,” tanyaku balik. Mas Damar terlihat mengeluarkan kertas putih dari saku kemeja batiknya, saat kulihat dengan jelas itu sebuah lipatan kertas. “Mana!,” pintanya lagi. Dengan menyodorkan tangan padaku, dengan bingung akhirnya aku serahkan juga amplop buat salaman nanti. Padahal seharusnya sudah aku masukan ke tempat amplop begitu masuk kemari. Namun, Mas Damar bilang, “Nanti saja buat salaman.” Akhirnya, tetap aku simpan dalam tas. “Ini” Kuberikan padanya, kertas persegi panjang kecil itu yang sudah aku isi dengan uang berwarna hijau dan ungu. Begitu Mas Damar mengambil dan membukanya, aku pikir ia akan menambah lembaran di dalamnya. Namun, ternyata aku salah ia malah mengeluarkan uang itu dan memasukkan ke sakunya. Diganti dengan lipatan kertas di tangannya, aku hanya mengeryit menatap kelakuan suamiku. Jangan bilang ia ingin menge-prank. Sepupunya dengan kertas yang ia kasih.
“Kok, diganti Mas?” “Iya, Heri lebih membutuhkan ini” aku malah semakin bingung apa maksudnya. “Emang itu apa?” “Surat tagihan utang, dia punya utang banyak sama aku Ran. Belum dibayar” Aku melongo dengan kelakuan suamiku ini, bisa-bisa tepuk jidat jika begini, tapi itu tidak mungkin aku lakukan di depan banyak orang.
“Aku nggak mau ngasih ya!, kalau isinya nggak bener kayak gitu” omelku padanya. “Tenang aja, nanti aku yang kasih” ucapnya sambil memasukkan amplop itu ke saku celananya.
Begitu tamu mulai selesai salaman kini giliran dari pihak keluarga, pertama dari keluarga mempelai wanita. Baru setelahnya aku gegas melangkah maju, menyeret Mas Damar ke depan begitu melihat ibu mertuaku sudah di atas pelaminan, sebelum keduluan yang lain.
Benar saja Mas Damar benar-benar memberikan amplop itu pada Heri. Membuat ia bingung, karena dikasih amplop. “Ini, kenapa dikasih ke saya?,” tanya Heri. Sambil menunjukkan amplop di tangannya. “Iya, hadiah dari gue sama Ranti” ucap Mas Damar, lalu kami melakukan sesi foto bersama dan juga keluarga.
Aku pulang bersama Mas Damar menaiki motor matic satu-satunya yang ia punya. Kunikmati hari di penghujung siang mendekati sore. Dengan boncengan di atas motor. Namun, tiba-tiba Mas Damar berhenti begitu saja di tengah jalan.
“Kenapa Pa?,” “Turun dulu Ma!, kayaknya Ban-nya bocor” Aku memberut kesal “Terus gimana?” “Doronglah, sampai bengkel” Aku ternganga, itu artinya aku harus berjalan kaki sambil mendorong motor panas-panasan di tengah jalan.
“Nggak mau, Papa aja yang dorong. Mama mau pesen gojek aja” tolakku. Bersiap membuka gawai tapi Mas Damar menghalangi dengan menarik tanganku yang aku arahkan ke tas. “Jangan Ma!, masak Mama tega ninggalin papa pas lagi susah” Benar juga, tapi setidaknya ia harus lebih kasihan padaku. Dan tetap mengizinkan aku pergi. Lagian aku tidak pernah ninggalin ia pas susah, padahal hidup kami selama ini juga susah. Tapi aku masih setia dengannya.
“Pa!, kapan ya. Kita punya mobil kayak orang-orang” tanyaku. Merasa tergiur dengan pemandangan di depan mata, melihat segerombolan mobil mewah hilir mudik di samping kami. “Mama mau mobil apa?, hermes, alparhd, toyota, lamborgini atau …,” “Udah deh, Pa!, gak usah mulai” Mas Damar terkekeh, karena kali ini aku berhasil lolos dari bercandaan yang ia buat.
“Sabar ya Ma, nanti kalau uang tabungan papa udah cukup buat beli rumah, baru kita nabung buat beli mobil” “Iya” jawabku malas. “Lagian coba deh Mama bayangin, 20 tahun kedepan kita di posisi seperti ini. Di pinggir jalan dorong motor berdua pas udah lansia pasti romantis” lanjutnya lagi. “Alah, gombal” aku lekas memalingkan wajah, yang memerah. “Tapi selalu mumpan, ‘kan. Rayuan papa!” Mas Damar malah semakin jadi menggoda diriku, jadilah kami menelusuri jalan dengan kekehan dan candaan. “Dan papa yakin Mama bakal milih untuk naik motor terus seumur hidup dan gak usah beli mobil” Bilang saja supaya tidak beli. Dumelku dalam hati.
Mas Damar selalu mampu mewarnai hidupku dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Meski sering membuatku kesal dan marah padanya, karena ulahnya sendiri. Tapi secepat itu ia membuat hati kembali berseri. Dan mungkin tanpa aku sadari, dari balik jendela kaca kendaraan besi roda empat itu. Begitu banyak orang yang ingin menukar posisi denganku, berada di bawah terik matahari Sambil mendorong, kuda besi kami dengan selingan tawa.
Sepekan telah berlalu, kini aku sedang berdiri di depan lemari kayu jati tempat aku menyimpan bajuku dan Mas Damar. Memindahkan setiap helai kain, yang berada di dalamnya ke koper. Dengan bersenandung ria, aku melakukan aktivitasku dengan begitu semangat.
Hari ini rencananya kami akan berlibur ke Bali, sesuai dengan janji Mas Damar yang akan membawaku berlibur untuk merayakan ulang tahunku. Sepertinya aku adalah isteri yang banyak mau. Merayakan ulang tahun saja harus liburan ke Bali. Namun, biarlah lagi pula Mas Damar belum pernah mengajakku pergi ke sana, tapi jika dipikir-pikir sepertinya Mas Damar belum memesan tiket untuk kami berangkat. Atau setidaknya mengonfirmasi kapan kami akan berangkat ke bandara.
Hari sudah sore, seharusnya Mas Damar akan pulang sebentar lagi. Aku simpan koper berjejer di depan lemari, lalu keluar dari kamar berniat mencari Iren untuk menyuruhnya mandi. Tapi begitu membuka pintu, Mas Damar malah sudah berada di hadapanku. Aku kaget karena tidak mendengar suara motor, begitu aku lihat ke depan rumah. Motor matic itu, sudah terpakir di sana.
“Mas kapan pulang?” “Baru aja” jawabnya, lalu berlalu masuk ke dalam melewati tubuhku. “Terus, kita kapan berangkat liburannya?,” tanyaku lagi. Sambil terus mengekori ia ke dapur, mengambil minum. “Liburan apa sih Ma?”
Wajahku langsung berubah datar, sambil berdoa ku mohon jangan ngeprank lagi!!. Mas Damar berbalik ke arahku, ia jadi salah tingkah dengan wajah datar yang aku tampilkan padanya. “Jangan bohong kamu ya!, aku nggak suka” ucapku mulai bergetar. “Bukan gitu Ma…” “Udahlah aku capek sama sikap plin-plan kamu itu!” Aku langsung emosi, dan pergi meninggalkan Mas Damar ke dalam kamar. Begitu pintu terkunci, terdengar kedoran dari luar. Sepertinya Mas Damar mengikutiku dari belakang, lagi kembali ia membuatku menangis. Tangisku semakin jadi begitu mata ini melirik kearah dua koper besar dan kecil di depan lemari.
“Ran, buka pintunya!. Aku mau bicara, Ranti!.” “Aku capek tau nggak!, punya suami kayak kamu. Mendingan aku cari ayah baru buat Iren, laki-laki kaya yang bisa ngasih aku segalanya dan bukan hanya omong kosong kayak kamu!” Teriakku dari dalam kamar, biar ia tau rasa dipikir aku akan terus tahan dengan sifatnya itu.
Aku tidak marah jika Mas Damar tidak bisa menuruti keinginanku, hanya saja kenapa tidak nolak dari awal dan malah memberikan janji palsu. Ia pikir berharap begitu tinggi lalu dihempaskan begitu saja itu tidak sakit.
Aku tidak menghiraukan ia yang terus berteriak dibalik pintu. Lekas aku menuju ke arah koper menggeret dan mengangkatnya keatas kasur. Kubuka lemari dan resleting koper, mengambil semua baju di dalamnya dan memasukan kedalam lemari dengan asal.
“Ranti, dengerin aku dulu Ran. Sayang!,” suara Mas Damar terdengar melemah, mungkin ia merasa lelah dan mulai putus asa.
Setelah mengemas pakaian, aku membuka pintu. Kulihat Mas Damar yang sedang menyandar di situ hampir terjengkang kebelakang, karena pintunya aku buka. Kututup kembali begitu aku sudah berdiri di sampingnya, kuluruhkan badan ke lantai bersimpuh di samping ia dengan menatap lurus kearah tembok ruang televisi.
“Kamu nggak serius, ‘kan?. Mau ninggalin Mas, buat laki-laki lain” ujarnya sambil menggengam tanganku. “Kalau aku serius kenapa memangnya?,” tanyaku balik. Kulihat ia terdiam dengan tatapan sendu. “Kamu beneran bosen hidup susah sama Mas, Ran?” Aduh, kenapa malah saling tanya begini. “Mama kecewa tau gak sama Papa, yang selalu tukang bohong!,” amukku padanya. “Iya maaf, aku janji deh nggak akan gituin kamu lagi” ucapnya penuh sesal, sepertinya ia benar takut jika aku pergi meninggalkannya. “Tapi kamu janji, ‘kan?. Nggak akan ninggalin aku, aku janji Ran!, bakal cari uang yang banyak biar kamu bisa beli apapun yang kamu mau” lanjutnya lagi, kali ini kulihat begitu ada kesungguhan yang mendalam di wajahnya. “Sebenarnya mama tulus kok, cinta sama Papa. Meskipun, kamu nggak bisa membahagiakan aku dengan harta banyak. Aku nggak butuh itu, aku lebih butuh setia kamu Mas” “Ya, meskipun realistis itu perlu sih. Lagian uang emang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang Pa” lanjutku lagi. Kulihat ia hanya terdiam menatapku penuh haru, mungkin karena aku tidak jadi meninggalkannya. “Makasih ya, Ran. Kamu memang wanita terbaik untuk aku” Aku tersipu malu, dengan tatapan memuja laki-laki yang menjadi suamiku itu. Lalu ia menyodorkan setangkai bunga mawar. “Happy brithday my wife” Aku menerima bunga pemberiannya dengan suka cita.
“Mawar lagi Mas?, tapi kok cuma setangkai” ujarku dengan cemberut, karena biasanya ia akan memberikan aku sebuket dengan dihias cantik. “Iya, tadi aku beli di lampu merah”
Aku memukul bahunya pelan, entah benar atau tidak jika ia mendapatkan bunga ini dari penjual keliling di lampu merah. Ia kembali mengeluarkan sesuatu dari dalam kantongnya. Sebuah kotak berbentuk hati berwarna merah kecil seukuran telapak tangannya.
“Apa itu Mas?,” tanyaku dengan heran meski sudah tau itu kotak apa, tapi aku tidak tau isi di dalamnya. “Tarah!, pilih mana Mawar atau Emas?. Apa Mas saja yang kamu pilih?” “Semuanyalah” jawabku hendak mengambil kalung emas di tangan Mas Damar. “Eits jangan, sini biar aku pakaikan” duh mulai lagi romantisnya, segera aku balikkan badan memunggungi ia. Kusingkap rambut yang tergerai, menyisihkannya ke samping.
Begitu selesai Mas Damar mengenakannya, ia memutar badanku menghadap kearahnya. “Cantik, isteriku can-tik sekali!”
Aku semakin malu, kembali kupalingkan kepala kearah lain. Tangan Mas Damar membelai lembut pipi ini, kembali ia palingkan mukaku menghadap kearahnya.
“I love you more, sayang” ucapnya, tepat ke wajahku. Wajah kami begitu dekat, Mas Damar menundukkan pandangannya mengarah ke bibirku. Semakin dekat, semakin terasa panas pula pipi ini.
“Mama sama Papa ngapain di depan pintu?” Suara itu mengagetkan kami berdua, aku dan Mas Damar sama-sama salah tingkah.
“Emang pintu kamarnya terkunci ya?” Kembali pertanyaan polos Iren terdengar, aku dan Mas Damar saling pandang lalu terkekeh bersama dengan kekonyolan yang kami lakukan.
Romantis kok didepan pintu, di belakang pintu dong. aku merutuki kekonyolan kami, jika Iren terlambat sedikit apa yang akan anak itu lihat tadi.
“Sini!” Mas Damar memanggil Iren, membawanya pada pangkuan. Kami tertekeh menatap wajah binggung Iren yang meminta penjelasan, tapi ia malah ikut tertawa meski tidak tau apa yang kami tertawakan.
Cerpen Karangan: Sy_OrangeSky Blog / Facebook: Siti maisaroh