Aku kembali, dengan kisah nyata yang selalu berakhir penyesalan. Ceritaku belum selesai. Walau aku menuliskan yang terakhir, walau aku berusaha lari dari masa lalu. Keadaannya gak bisa kuhindari, hanya dengan notif satu missed call dari ibunya. Semua usahaku sia-sia.
Aku memandangi layar handphoneku, lemas bestie. Entah gimana lagi caranya, aku udah blokir tapi tetap saja ibu bisa missed call. Helaan napas beratku berhembus panjang, cobaan apa lagi ini ya Tuhan? Aku udah lupa, udah bahagia dan berat badanku udah naik 3 kg. Karena hal ini, aku makan jadi gak teratur dan gak bisa berhenti berpikir tenang.
Seminggu aku mengabaikan missed call itu, aku tanya mamahku, tapi jawaban mamah pasti selalu positif. “Iya gakpapa kak, telpon balik aja, kamu main kesana lagi gakpapa. Kali aja ibu beneran kangen sama kamu, kan kasian biasanya kamu sama ibu ngobrol meskipun sering berantem. Tapi kalo pergi kesana kemari bersama, apalagi ibu pernah bilang kamu udah kayak anak ibu sendiri, kamu pernah dimasakin makanan kesukaan kamu sama ibu. Emang kamu gak sedih? Ibu juga gak punya anak perempuan, jadi ya mungkin butuh kamu buat curhat. Kamu kan sama ibu udah deket. Jadi ibu bisa lebih leluasa ngobrol sama kamu.”
Memori kenangan-kenangan bersama ibu seketika berputar di kepalaku, benar juga sih. Nasihat mamahku gak pernah meleset, pasti tepat sasaran dan membuatku berpikir ulang pada semua yang telah aku lakukan. “Tapi kalo kamu maunya begitu, mamah juga gak maksa. Mamah juga ngerti kamu, kan kamu yang ngejalanin.”
Aku termenung, memijat-mijat lengan mamahku. Kegiatan gabut yang sering kulakukan kalau aku dan mamah lagi ngobrol begini. Aku dan mamah emang udah saling terbuka sejak aku kecil, mamah bilang aku harus cerita apapun yang terjadi padaku agar mamah bisa mengerti dan mungkin mamah bisa bantu. Jadi aku terbiasa bercerita tentang apa yang terjadi padaku ke mamah, gak ada rahasia diantara kita. Sebut saja, aku memang jenis cewek yang polos. Karena kalaupun aku bohong, mamah langsung tahu hanya dalam sekali tatap.
Kembali ke topik, aku masih memikirkan keputusanku. Aku takut kecewa, aku takut nanti aku sakit hati lalu menyesal dan berakhir seperti orang paling bodoh di dunia ini. Walau sebenarnya saja aku memang sudah bodoh memikirkan hal gak penting ini. Kalau aku sadar, aku pasti mengumpati diriku yang buang-buang waktu hanya untuk memikirkan perasaan orang lain, memikirkan keadaan orang lain, yang sepertinya mereka belum tentu melakukan hal yang sama.
“Kakak takut setelah nelpon, kakak nyesel, mah. Tapi, kalau kakak gak nelpon, kakak nyesel juga.” Aku makin melengkungkan bibirku. “Iya sih, tapi menurut mamah, mendingan kamu menyesal telah melakukan daripada menyesal gak melakukan apa-apa.” Aku menggulirkan pandanganku, seraya menimbang-nimbang ucapan mamah barusan.
Pikiranku makin penuh. Gak akan ada habisnya kalau cuma dipikirin, toh aku menelpon atau gak pun, aku tetap kepikiran. Tapi seenggaknya, kalo aku udah nelpon, pikiranku gak seberisik ini, kan?
“Iya udah, nanti kakak coba telpon. Sekedar nanya kabar ajalah.” Mamah mengangguk. “Iya lah, gakpapa nanya kabar aja. Main juga gakpapa, jangan dilihat dia nya tapi ibunya. Kan ibu yang kangen sama kamu. Ibu yang sayang sama kamu.”
—
Entah kenapa langkahku ingin melupakan ibu juga terhalang dengan pemikiranku yang ini. Jadi gini, dulu kan aku menyakiti anak ibu dengan memutus hubungan, lalu kembali pacaran, kemudian aku pacaran sama cowok lain tanpa putus untuk yang terakhir. Istilahnya kayak aku itu udah nyakitin anaknya, dan ya alasan aku melakukan semua itu karena dulu ibu terang-terangan menentang hubunganku dan anaknya. Memang awalnya ibu setuju, tapi karena aku begitu, ibu jadi melakukan segala cara agar kita berpisah. Aku kesal, sakit hati dengan kata-kata ibu, dan waktu itu gak peduli sekalipun aku mendapat peran jahat di mata mereka, aku ingin keluar dari lingkar neraka yang ibu buat saat itu.
Tapi sepertinya itu hanya emosi sesaat, bagiku dan juga bagi ibu. Setelah aku pergi, setelah ibu kehilanganku, nyatanya yang kita ingat adalah kebersamaan kita.
Dan yang menjadi pertanyaanku adalah, bagaimana bisa ibu menelponku setelah dulu sangat membenciku? Aku tau banget, tingkat gengsi ibu, sifat ibu, dan rasanya kayak gak mungkin banget. Jadi kenapa? Bukankah aku udah ngalah untuk gak ganggu ibu dan anak ibu lagi?
Aku pergi karena ingin melupakan, aku udah lelah sama drama kehidupan yang gak terselip bahagia lagi disana. Tapi ternyata, dulu aku bahagia. Aku gak sadar, aku juga bahagia.
Jadi karena semua alasan itu, aku memiliki sedikit keberanian untuk menelpon. Aku mulai mengikuti perkataan mamah, aku melihat ibu. Hanya ibu.”
“Hallo, assalamu’alaikum, bu?” Aku menyapa ibu saat telponnya terangkat. “Hallo, waalaikumsalam…” “Bu, ini aku, ibu apa kabar?” “Oh iya, alhamdulillah baik neng. Kamu gimana kabarnya?” Percakapan biasa yang diawali dengan basa basi, dan aku mulai curhat juga menanyakan gimana kondisi ibu. Sebelumnya ibu gak bisa bangun karena jatuh dari kamar mandi, dan sekarang ibu bilang udah mendingan. Ibu udah bisa duduk, anehnya, aku lega mendengar hal itu. Kenapa aku khawatir?
“Ibu kangen sama kamu neng cantik, kapan main kesini?” “Iya ibu maaf, aku lagi sibuk banget kerjanya, soalnya di tempat kerjaku lagi long shift terus.” “Oh iya udah neng, alhamdulillah kamu gak lupain ibu.” Ini nih, ini kata-kata yang bikin aku gak tega buat masa bodo amat sama ibu. Bikin gagal move on sama ibu. “Iya bu, nanti Insya Allah awal Agustus aku usahain main kesana ya bu…” “Iya neng, main aja kesini jenguk ibu. Ibu jadi inget dulu kamu pas lagi kerja nganter ibu belanja ke pasar, nganter ke tukang jahit, terus pas pulang kerja ibu suruh dulu ke tukang nasi goreng beliin nasi goreng buat ibu makan… Ibu kangen sama kamu.”
Sisi sensitif gue tersentuh, benar-benar berhasil meluluhlantakkan hati yang beku ini hanya dengan kata-kata itu. Dan kenapa juga aku sepemikiran sama ibu? Aku juga kangen, diocehin kalo bawa motor ngebut dikit, diomelin kalo ada polisi tidur gak ngerem, disuruh ini itu yang dulunya kupikir aku seperti babu yang tak kenal lelah, justru menjadi kenangan paling berkesan, yang kalo sekarang aku pikirkan, aku ingin mengulangnya lagi.
Gak peduli seberapa lelah aku, hanya dengan ibu bilang terima kasih dan bersikap baik padaku. Perhatian padaku. Aku jadi bahagia. Aku dilarang begini, begitu, merasa dikekang. Tapi setelah jauh begini, aku bebas tapi aku merasa ada sesuatu yang kurang.
“Aku juga kangen ibu…” Walau aku menjaga nada bicaraku, tetap saja suaraku bergetar dan isakan tangisku gak bisa disamarkan. “Maafin ibu ya neng kalo ibu dulu sering ngomelin kamu, jangan benci ibu ya neng. Ibu begitu karena sayang sama kamu..” Tangisanku tak dapat ditahan lagi, aku menangis tersedu-sedu. “Maafin aku juga ya bu, aku disini sibuk sampai gak sempat angkat telpon ibu beberapa kali. Aku juga sayang sama ibu..”
Setelah menelpon ibu, aku terdiam. Sibuk dengan pikiranku yang makin bercabang, memang sepertinya aku salah mengambil keputusan. Seharusnya aku gak melakukan apapun, setelah ini, bagaimana aku bisa jenguk ibu? Aku baru sadar, aku kan udah blokir sahabatku dan dia. Iya, aku juga masih sedih karena mereka. Aku kecewa.
Tapi aku udah janji sama ibu mau main kesana awal Agustus? Apa bisa keadaannya baik-baik aja kalau aku kesana?
Hufth. Dasar aku, bodoh sekali. Aku menyesal.
Cerpen Karangan: Xiuzeen Instagram : @Xiuzeen_