Namanya Ashima. Gadis manis berumur 13 tahun yang tinggal bersama neneknya sejak ia berumur tiga tahun. Ia tak bisa jauh dari neneknya, karena hari-hari Ashima penuh bersama neneknya. Rumah nenek dengan orangtuanya berdampingan hanya dibatasi tembok sebagai pemisahnya.
Saat itu Ashima berumur 4 tahun. Orangtuanya sibuk bekerja dari pagi sampai malam, hingga ia tak ada waktu bermain dengan orangtuanya. Ashima yang susah bangun pagi juga cepat terlelap membuatnya jarang berinteraksi dengan orangtuanya. Jangankan untuk bermain, melihat kedua orangtuanya pun jarang. Jika Ashima ingin bermain atau belajar bersama orangtuanya selepas mereka bekerja, mereka hanya bekarta “Besok aja ya, mamah sama papa capek abis pulang kerja.” Keesokan harinya pun hal itu terulang lagi, hingga membuat dirinya terbiasa memahami pelajaran baru dengan sendirinya.
Ashima sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Ya, hanya kasih sayang. Namun sebagai anak kelahiran tahun 2000 yang belum mengenal gadget, Ashima terlalu asik dengan dunia mainnya hingga ia lupa dengan kesedihan yang ada di dalam dirinya. jika ada teman yang jahil ketika bermain pun yang berdiri di depan pintu sambil megang sodet adalah neneknya. Dengan suara lantang berkata “Heh, sini lu! Lu apain cucu gue.”
Ketika matahari terbenam, Ashima merasa sedih kembali karena dirinya sangat membutuhkan kehadiran orangtuanya, ia merasa dirinya tak seperti teman-temannya. Ashima melihat teman-temannya yang kalau makan disuapi, setelah mandi rambutnya dihias. Ashima sangat ingin merasakan hal itu namun hal itu tak mungkin terjadi kepada Ashima. Ashima terbiasa menyembunyikan kesedihannya. Setiap hari Ashima hanya bisa menceritakan hal sedih atau senang yang dialaminya pada buku diary yang menjadi teman baginya sebelum tidur. Sehingga begitu banyak diary yang dihabiskannya untuk menceritakan semua hal yang terjadi pada hari-hari yang ia lewati.
Tak terasa setahun berlalu, kini Ashima berusia 5 tahun. Sudah waktunya ia masuk sekolah tingkat dasar. Tantenya yang mengajarinya untuk mengenal huruf abjad, Ashima enggan untuk belajar. Tantenya memarahinya “Jangan main terus! Besok udah masuk sekolah nanti kalau gak bisa gimana, malu sama yang lain.” Sebenarnya Ashima sudah mengenal semua huruf abjad, ia enggan belajar karena ia mau yang mengajarinya untuk mengenal huruf abjad pertama kali adalah mamahnya.
Keesokan harinya tibalah hari pertama Ashima masuk sekolah, Ashima diantar oleh tantenya, sesampainya di sekolah ia hanya bisa berdiri dan melihat sekelilingnya. Melihat anak-anak yang dicium dan diusap kepalanya sebelum mereka masuk kelas. Dia hanya terdiam dan berkata di dalam hatinya “Mamah aku ingin seperti mereka.” Walaupun Ashima merasa sedih namun Ashima sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Hari pertama dan kedua sekolah telah berlalu, di hari ketiga yang mengantar Ashima ke sekolah bukan tantenya melainkan tukang ojek pribadi yang disewa oleh orangtuanya. Ashima memang berbeda dengan teman-temannya pada hari itu, teman-temannya masih diantar oleh orangtuanya ke sekolah bahkan ditunggu sampai lonceng bel berbunyi. Namun Ashima tetap bersemangat melewati hari-harinya di sekolah.
4 tahun berlalu. Ashima sekarang duduk di bangku kelas 4, dari hari pertama masuk sekolah ia tak pernah sekalipun diajari oleh mamahnya. Ashima selalu mengerjakan PR sendiri, meskipun ia tak paham materi tersebut. Jika tak paham pun Ashima memahaminya sendiri dengan membaca berulang kali. Hingga suatu malam Ashima ingin sekali merasakan dirinya diajari oleh mamahnya, seperti teman-temannya yang selalu bercerita di kelas bahwa mereka mengerjakan PR diajari oleh mamahnya.
Ashima pun datang kepada mamahnya dan berkata “Mah aku ada PR, aku gak ngerti ajarin dong mah” namun mamahnya menjawab “Baca dulu! Kalau emang gak paham baru tanya mamah, masa gitu aja gak ngerti!” Ashima terhentak mendengar jawaban dari mamahnya namun ia tak ingin menyerah, Ashima pura-pura membaca bukunya selama beberapa menit lalu datang ke mamahnya dan berkata “Aku masih gak paham mah” ketika Ashima sedang berbicara, sepupunya datang untuk belajar menanyakan materi yang tak dipahaminya kepada mamah Ashima. Tak disangka mamahnya Ashima langsung mau mengajarinya. Hati Ashima sakit melihatnya. Dalam hatinya berkata “Mah, aku cuma minta waktu sebentar aja sama mamah, waktu yang aku minta juga bukan buat main. Aku cuma mau ngerasain sekaliii aja ngerjain PR diajarin sama mamah.” Tak terasa air mata Ashima menetes di pipinya yang halus, ia langsung masuk ke kamarnya dan menangis dengan suara yang kecil, ia menahan tangisnya agar tidak terdengar.
Psikis gadis manis di usianya yang masih anak-anak inipun harus terlatih dewasa. Mau bagaimana lagi? Hal ini karena keadaan yang sebenarnya juga tidak ia inginkan. Hal ini berpengaruh terhadap kelakuan Ashima di kelasnya. Sebelumnya Ashima adalah anak yang pendiam, kini ia menjadi nakal dan menjadi ketua geng ciwi-ciwi di kelasnya. Teman-teman di kelasnya pun takut kepada Ashima.
Semester satu pun berakhir. Pengambilan rapor semester ganjil tiba, seperti biasa setiap pengambilan rapor Ashima dan teman-temannya selalu berangkat lebih dulu. Mereka bermain sambil menunggu orangtua mereka datang. Dalam pengambilan rapor, Ashima adalah siswa yang selalu terakhir mengambilnya. Jika teman-temannya sudah pulang, Ashima hanya bisa diri terdiam dan menopang dagunya di atas tembok pagar lantai 2 sambil melihat ke arah lapangan, berharap orang tuanya yang datang untuk mengambil rapornya. Orangtua teman-teman Ashima selalu bertanya “Ashima, mamahnya belum datang?” Jika ditanya sepeti itu Ashima hanya bisa menggeleng.
Sekolah pun mulai sepi yang tersisa hanya Ashfa dan Ashima. Tapi tak lama kemudian mamah Ashfa datang dan langsung mengambil rapor. “Ashima, mamah Ashfa duluan ya, Ashima mau dianterin pulang gak? Sekolahnya udah sepi, Ashima samperin mamah dulu aja daripada nunggu disini sendirian” “Engga tante gapapa, Ashima nunggu disini aja.” “Oh yaudah tante duluan ya Ashima” “Iya tante, dadah Ashfa” “Dadah Ashima”
Yang tersisa hanyalah Ashima. Selama setengah jam ia menunggu, namun ia mendengar suara dari kejauhan. “Ashima tante udah sampai.” Ya, yang mengambil rapor Ashima adalah tantenya. Orangtua Ashima tidak pernah sekali pun mengambil rapor Ashima, hingga wali kelasnya menegur tantenya.
“Yang ngambil tantenya lagi? Kemarin rapor UTS juga tantenya. Kemana orangtuanya? Gak boleh kaya gini terus pokoknya, saya minta semester 2 orangtuanya yang ngambil. Orangtua harus mengetahui perkembangan anaknya di sekolah, kalau ada apa-apa juga gak mungkin tantenya yang ngurusin sepenuhnya!” “Baik bu, nanti saya sampaikan ke orangtuanya.” Ashima pun hanya bisa tertunduk dan terdiam mendengarnya. Namun Ashima tidak merasa sedih karena ia mendapat ranking satu di kelasnya. Ia ingin menunjukkan hasil rapornya kepada orangtuanya.
Sesampainya di rumah, Ashima menghampiri kedua orangtuanya. Ashima sudah membayangkan wajah orangtuanya yang pasti akan bangga kepadanya dan mengapresiasi prestasi yang didapatnya. “Mah, Pah. Alhamdulillah Ashima dapet ranking satu” “Yaudah, terus kalo dapet ranking satu mamah sama papa harus apa?” Ashima sangat kaget mendengarnya, hal yang dibayangkan Ashima itu hanya khayalan semata. Namun ia tetap berusaha tersenyum sambil bilang “Eh iya mah pah, yasudah Ashima masuk dulu ke kamar.” Ashima tak kuat lagi menahan air mata yang sudah terbendung.
Setelah berlibur selama 2 minggu, pembelajaran semester genap pun telah dimulai. Seperti biasa di setiap kelas sangat ramai dengan perbincangan siapa yang mendapat ranking satu, dua dan tiga.
Ketika Ashima sampai di kelasnya, Ashima yang diam di dekat pintu dari kejauhan ia mendengar temannya yang sedang berada di perkumpulan perbincangan berkata “Eh yang ranking satu di kelas kita siapa si?” temannya yang lain pun ikut penasaran “iya ih siapa si?” tak ada yang tau, tetapi salah satu temannya menengok ke arah Ashima dan menyadarinya bahwa hanya Ashima saja yang belum menyebutkan rankingnya di kelas. Lalu temannya berteriak “Eh temen-temen aku tau siapa yang ranking satu!” sambil melirik ke arah Ashima, yang lain pun ikut menengok ke arah Ashima. Lalu serentak berkata “Wahh… selamat Ashima” “Ashima dikasih apa sama mamah papah kamu?” “Ashima aku ranking tiga dikasih sepeda sama mamah aku, si Ashfa ranking dua kemarin pas liburan diajak jalan-jalan sama dibeliin baju” “Iya Ashima kamu dikasih apa?” “Ceritain dong Ashima” “Iya Ashima ceritain dong ke kita.” Ashima merasa terpojoki dengan semua perkataan teman-teman Ashima yang langsung menyerbunya.
Ashima bingung ingin menceritakan apa, pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya pusing, sedih, kesal dan ingin berontak. Namun ia berusaha mengontrolnya, ia hanya mengabaikan teman-temannya dan langsung duduk di bangkunya. Teman-temannya kaget dengan reaksi Ashima dan merasa bersalah. Kelas pun menjadi hening.
Bel pulang sekolah pun berbunyi, Ashima yang sedari tadi melamun memikirkan sesuatu dan berbicara di dalam hatinya “Apa aku sekolah di luar negeri aja ya pas SMP nanti.” Ia ingin mengetahui apakah dengan kepergiannya orangtuanya merasa kehilangan, atau bahkan tidak sama sekali. Namun disisi lain Ashima juga memikirkan sesuatu yang membuatnya sedih yaitu jika ia sekolah di luar negeri maka ia akan berpisah dengan neneknya yang merawat dia dari kecil. Ia tak mau berpisah dengan neneknya, namun Ashima bingung harus bagaimana. Ashima sudah tidak kuat menahannya.
2,5 tahun kemudian Ashima pun memutuskan untuk sekolah di luar negeri, meski ia sangat sedih meninggalkan neneknya. Ia hanya ingin merasakan hidup tenang walaupun ia tak mendapatkan kasih sayang orangtuanya. Ashima berharap bisa hidup bahagia disana tanpa harus merasakan batin yang begitu sakit.
Ashima menulis pesan di buku diary yang sengaja ia tinggalkan di kamarnya sebelum ia berangkat ke luar negeri.
Dear mamah, papah. Mah, pah. Ashima yakin mamah sama papah pasti sayanggg banget sama Ashima. Walaupun Ashima gak bisa merasakannya. Ashima sayanggg banget sama mamah, papah. Ashima berharap suatu saat kita bisa kumpul, bercanda dan tertawa bersama, seperti keluarga-keluarga lain yang Ashima lihat. Dear mamah papah, kalian tetap jadi my big love forever.
salam dari putrimu yang akan selalu mengharapkan kehadiranmu sampai kapanpun?
salam cinta Ashima
Cerpen Karangan: Annisa Marsha instagram.com/chaa.marshaa saya anak ke-2