Istri, katanya salah satu makhluk paling rumit di dunia—kata para suami. Sebelum itu, mereka yang berstatus pacaran pun berpendapat sama, bahwa, cewek adalah manusia paling rumit di dunia. Lebay ah!
Tidak mau kalah, para istri berpendapat bahwa sebagian dari lelaki banyak dari mereka yang tidak peka alias harus pake kode dulu. Mereka tak ayal kulkas dua pintu yang dinginnya minta ampun! Lurus-lurus aja, tanpa ada tikungan. Hmmm…
Satu tahun pasca menikah, menghadapi suaminya yang irit bicara, sedikit ekspresi, dan minim perhatian membuat Citra selalu uring-uringan. Akibat dari selalu menonton drama Korea yang isinya cinta-cintaan membuat Citra membayangkan bagaimana suaminya jika bersikap sama sebagaimana opa-opa Korea. Mungkin romantis, Citra mengkhayal sendiri. Tapi kenyataannya nol persen!
Rahman Fauzi, Adalah suami dari seorang Citra Kirana, yang dinikahinya 1 tahun yang lalu dan mereka belum dikarunia keturunan.
Siang ini mereka diundang ke pernikahan teman Citra yang jauh dari tempat mereka tinggal. Sekitar dua jam jarak tempuh yang harus mereka lalui.
Dikarenakan ini adalah tempat tinggal baru temannya, yang sebelumnya pindah dari tempat lama, maka dari itu Citra tidak tahu sama sekali wilayah yang dipakai acara pernikahan temannya itu.
So? Jadilah Google map menjadi jalan ninja mereka. Mereka berangkat jam 06.00 WIB karena menghindari macet dan panas. Bandung terkenal sekali dengan kemacetannya, sudah seperti Jakarta.
“Nih kamu yang baca map!” Perintah Rahman sambil memberikan ponselnya kepada Citra.
Citra cemberut sekaligus kesal. Kenapa harus dia yang baca map? Asal kalian tahu ya, membaca map alias baca petunjuk jalan adalah hal yang sangat dibenci oleh citra. Mau gimana lagi? Dia trauma.
Pernah sekali, jaman dulu, ketika citra dibonceng temannya pakai motor, dan dia disuruh untuk membaca map menuju satu tempat, di belakang ada rombongan. Sekitar 5 motor waktu itu, setiap motor membonceng penumpang alias pacar-pacar mereka. Khusus Citra, dia hanya berteman saja. Jadi total keseluruhan rombongan adalah 10 orang.
Awalnya Citra percaya diri, mulanya mengikuti jalan karena map menunjukkan jalan lurus. Ketika dekat tikungan dia bingung, jarak 200 meter harus belok, Citra malah bablas hingga berulang kali melakukan kesalahan yang sama hingga mereka menuju perbatasan tersebut dengan wilayah lain.
Jujur, saat itu Citra sangat malu, ingin menangis, bahkan rasanya ingin menghilang saat itu juga. Dari sana Citra bersumpah kepada diri sendiri tidak mau lagi untuk membaca peta. Kapok! Malah amburadul! Malu-maluin.
Dan sekarang suaminya menyuruhnya untuk melakukan hal sama? Apakah Citra sanggup? Belum juga jalan Citra sudah tidak mau duluan.
“Kamu aja ah, A. Aku nggak bisa baca map!” Tolak Citra seraya menyimpan ponsel suaminya di dashboard. “Eh ayo biar cepet sampe ke tempat!” Kilah Rahman sambil memutar setir. “Ih gak mau!” Tolak Citra lagi. “Ayo aku bantu, ya. Nanti kita sama-sama arahin. kamu pegang hp-nya!” Setelah bujukan suaminya, akhirnya Citra mau.
Setelah beberapa meter keluar dari area tempat tinggal mereka, Rahman melajukan mobilnya ke jalan lain. Dan Citra memperhatikan itu dengan seksama. Takut nyasar lagi woy ah!
Hingga tak terasa satu jam perjalanan tak ada kendala, lancar jaya, dalam hati Citra tersenyum senang. Apa sekarang dia sudah jago membaca map?
Sekarang mereka tengah memasuki jalan dimana banyak sekali penjual makanan, membuat Citra ingin melipir untuk membeli camilan. Rahman menyanggupi dan dia menunggu di mobil. Setelah usai, mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Karena memang bakat Citra dalam membaca map sangat payah, maka entah bagaimana tahu-tahu mereka sudah keluar jalur hingga jauh dari tempat tujuan. Mereka nyasar lagi hei! Entah di daerah mana. Citra ingin menangis, menyesal, malu dan marah pada diri sendiri. Dia nggak berguna.
Karena sudah terlanjur bad mood dan waktu sudah sangat siang, otomatis acara pun mungkin sudah selesai, mereka memilih kembali ke rumah dengan modal map lagi.
Karena sudah kalut, mereka berdua sama-sama blunder. Baterai ponsel Rahman habis, ponsel Citra tidak ada sinyal. Dengan inisiatif, Citra menyuruh suaminya untuk berhenti. Ia ingin bertanya kepada warga disini. Dan berhasil! Mereka diberikan petunjuk bahwa untuk menuju jalan raya mereka cukup lurus hingga nanti menemukan pertigaan, belok kanan, lurus hingga 3 km jalan raya ada di depan mata.
Citra memekik senang sedangkan Rahman mendelik kesal. Eksistensinya tersentil dengan jawaban si warga layaknya pahlawan di tengah gencatan senjata. Dia hanya debu, harga dirinya terinjak-injak.
“Alhamdulillah, untung aku tanya si Bapak tadi ya, A!” Pekiknya senang. Hingga Citra melupakan siapa yang tadi membuat mereka menyasar hingga ke pertengahan kampung seperti ini.
—
Pagi ini, Citra dipusingkan dengan suara Suaminya yang mencari-cari ikat pinggang dan kaus kaki. Sedangkan Citra sedang membuat sarapan di dapur itu dibuat jengkel, asli.
“Yang? Liat ikat pinggangku nggak? Dimana ya?” Tanya Rahman sambil mengobrak-abrik laci tempat dasi dan kaus kaki. “Kaus kaki juga dimana?” Suara teriakan Rahman dari lantai dua membuat Citra menghembuskan nafas jengkel. “Dasar laki-laki!” Umpatnya mengeram kesal. Ia terpaksa mematikan kompor kemudian berlalu ke kamarnya.
Dari daun pintu Citra memperhatikan suaminya yang hanya mencari di satu titik. Sedangkan ikat pinggang dan kaus kaki sudah Citra letakkan di atas nakas. Bisakah matanya memindai seluruh ruangan? Kenapa harus mentok di situ-situ aja?
“Dimana?” Tanya Rahman frustasi. Wajah yang tampan itu nyaris tak berkarisma karena kini wajahnya sudah cemberut karena lelah mencari apa yang ia cari. Masih pagi loh ini! Bukannya muka segar malah sepat.
Citra berjalan ke arah nakas, kemudian meraih dua benda itu dan mengangkatnya di udara. Rahman cengengesan.
Sudah beres masalah ikat pinggang dan kaus kaki, Citra kembali ke dapur lagi untuk melanjutkan acara masaknya.
Setelah selesai, Citra mengajak suaminya untuk sarapan dan mengantarnya ke depan untuk melepas bekerja.
“Nggak ada yang ketinggalan, kan, A?” Tanya Citra memastikan. Satu pertanyaan yang sering ia lontarkan di pagi hari menjelang keberangkatan suaminya ke kantor. “Udah semua sayang.” Jawabnya percaya diri. “Yakin?” Tanya Citra lagi. “Dompet? Charger? Hp? Tab?” Rahman menghela nafas lelah. “Udah sayang. Ya udah, aku berangkat dulu ya. Assalaamu’alaykum..” “Wa’alaykumussalaam.” Setelah mengecup kening, Rahman melajukan mobilnya hingga menyatu dengan kendaraan lain di jalanan Bandung.
Citra merapikan tempat tidurnya kembali meskipun tadi sudah. Biar lebih bersih dan wangi, Citra menyapu ulang kemudian menyemprotkan kembali wewangian.
Langkahnya berayun ke ruangan ganti, tapi matanya memicing melihat dompet suaminya tergeletak di meja. Citra memejamkan matanya jengah. Baru juga tadi ia tanya, dan suaminya yakin bilang sudah.
Huhhh!!! Sekali lagi, Citra membuang nafas lelah. Ya Allah!!
Melangkahkan kembali kakinya ke kamar, suara denting ponselnya berbunyi. Ada pesan dari suaminya. “Sayang, bisa anterin charger aku nggak di dekat TV? Ketinggalan, maaf ya, anterin kesini! I love you.. muachh.” “Giliran gini aja bilang i love you. Kesel!!” Gerutu Citra dengan lemas.
Citra langsung terkulai di sofa, kedua tangannya menyugar rambut ke belakang. Tarik nafas… hembuskan. Sekali lagi, tarik nafas lagi… hembuskan. Buka mata!
—
“Kesel aku sama si Aa. Ya Alloh ampun deh. Tadi pagi pas berangkat kerja dia ribut nyari gesper sama kaus kaki sampe teriak-teriak. Padahal dua benda itu ada nakas. Dia kalau balik badan langsung ketemu itu gesper sama kaus kaki.”
Sesi curhat yang ia buka di awal pagi ini kepada temannya, Anggi. Bukan hal aneh, Anggi sudah biasa dengan ini. Bedanya tiga hari terakhir ini Anggi hanya geleng-geleng kepala. Biasanya, dia akan bersikap seperti Citra. Ikut misuh-misuh karena mengalami hal sama. Sekarang? Oh tidak! Dia sudah tahu ilmunya.
“Kamu kok tenang-tenang aja, sih, Gi? Biasanya kamu misuh-misuh juga kalau ada drama pagi hari?” Tanya Citra ketika ditemui, Anggi sudah tak menanggapi dengan heboh.
Anggi mengambil ponsel, dan mengirimkan sebuah video rumah tangga kepada Citra. “Apa nih?” “Lihat aja nanti. Tapi lihatnya bareng Rahman!” Perintah Anggi dengan tersenyum. “Bukan video itu, kan?” Bisik Citra menoleh kanan kiri. Seketika Anggi menegur. “Heh! Sembarangan!”
—
Di kantor pun Rahman mengeluh tentang kejadian nyasar kemarin. Misuh-misuh soal istrinya yang merasa bangga karena menanyai orang hingga mereka bisa kembali. Lawan bicara Rahman sama terkekeh. Ia memberikan sebuah video yang sama kepada Rahman untuk ia tonton dan dengarkan bersama istrinya. Dengan malas, Rahman mengiyakan, dan setelah Shalat isya dia berniat mengajak istrinya untuk menonton bersama.
“Yang sini.” Panggil Rahman melambaikan tangan membuat Citra mendekat. “Kenapa A?” “Kita nonton video yuk! Penting buat kita.” “Video apaan?” Rahman menunjukkan video di ponselnya.
“Ih sama!” Citra memekik kemudian menunjukkan juga video di ponselnya. Ia memang sama. “Dari siapa?” Tanya Rahman. “Dari anggi.” “Aku dari suaminya Anggi.” Citra melongo. “Euhh mereka sekongkol.”
Tanpa pikir panjang, mereka memutar video tersebut. Ketika menit berlalu, mereka ikut tertawa karena Narasumber begitu mampu mengundang gelak tawa. Membuat Citra dan Rahman terbahak hingga perut mereka sakit. Rahman merangkul istrinya dengan erat, dan otomatis Citra menyandarkan kepalanya di dada bidang suami.
Hingga video berakhir, barulah mereka ber-oh ria.
Isi videonya betul-betul sama dengan kehidupan mereka saat ini. Perbedaan otak laki-laki dan perempuan begitu nyata mereka alami tadi pagi juga. Bahkan setiap hari sebelumnya.
Rahman tidak bisa menemukan kaus kaki dan ikat pinggang karena mata pria hanya memandang lurus, sedangkan perempuan ke mana-mana dalam artian mata mereka tajam melihat setiap sesuatu.
Soal kejadian kemarin bahkan dahulu, ketika Citra tidak mampu membaca peta ternyata akibat dari ketebalan otak bagian tengah membuat para perempuan bisa melakukan berbagai pekerjaan dalam satu waktu alias multitasking. Tapi dampaknya, mereka kesulitan untuk membaca petunjuk jalan.
Begitu juga perempuan sulit membedakan mana tangan kanan dan tangan kiri.
Pantesan, kemarin ketika berangkat kerja, Rahman melihat seorang ibu-ibu membawa motor. Lampunya ke kanan, tapi dia malah belok kiri. Ternyata itu alasannya toh! Rahman baru tahu, begitu pun dengan Citra. Bukan hanya soal kemarin, berarti selama ini, soal dia salah membaca petunjuk memang fitrah perempuan dari lahir kan? Artinya, Citra memang benar-benar perempuan asli. Bukan setengah-setengah. Kalau ada perempuan yang jago baca petunjuk jalan berarti mereka bukan perempuan asli dong? Ya enggak gitu juga, bisa jadi mereka belajar sungguh-sungguh untuk membaca petunjuk jalan, iya kan?
Masih ada lagi, ketika Citra berhasil bertanya pada salah satu warga soal jalan pulang ke kota, bukannya senang, Rahman malah mendelik kesal.
Pasalnya, lelaki itu pantang sekali ketika sedang mencari jalan dia bertanya pada orang. Kecuali, suami sendiri yang menyuruh. Dan Citra melakukan kesalahan, Citra bertanya pada salah satu warga. Padahal lelaki merasa kalau itu sudah membuat harga dirinya jatuh jauh di bawah si Bapak yang ditanya. Dan begitulah Rahman kemarin.
Setelah menonton video itu, mereka saling menatap sambil terkikik. Selama ini mereka selalu bersitegang dengan banyak hal. Rahman mengeluh dengan istrinya yang cerewet. Tapi selalu takjub karena bisa melakukan banyak hal di pagi hari. Alias multitasking.
Begitu pula Citra sering mengeluh dengan Rahman yang irit perhatian, minim bicara dan tidak pandai mengerti kebutuhan istri. Ternyata itu fitrah semua. Mereka selalu bertengkar bahkan karena takdir yang telah Allah tetapkan untuk pria dan wanita. Mereka jadi malu sendiri.
Setelah ini mereka sepakat, tak baik lah mempermasalahkan suatu hal yang sudah mereka ketahui apa alasannya.
Kenapa ini dan kenapa itu? Jawabannya ada pada video itu. Citra jadi tertarik untuk terus mendengarkan Narasumber video dengan mencari berbagai video yang lain di youtube demi menghindari percekcokan di rumah tangga mereka yang baru berumur satu tahun.
Cerpen Karangan: Latifah Nurul Fauziah ipeeh.h (instagram)