Hujan yang tadi cukup deras, kini berangsur menjadi gerimis. Menyisakan rintik airnya di setiap ujung atap rumah, yang jatuh bergantian membuat lubang-lubang kecil pada permukaan tanah.
Ternyata, bukan aku dan keluarga saja. Langit pun turut berduka rupanya. Setelah kepulangan Mas Jaya beberapa jam yang lalu, juga menyisakan luka bagi kami yang ditinggalkan. Kepergian abadinya, menghadap sang ilahi dan tak akan pernah kembali.
Aku menghalau air mata yang kembali mengalir. Hati menyeruak perih akan kepergian mas Jaya, kakak semata wayangku. Tapi mau bagaimana lagi? Ajalnya sudah menjemput. Tidak ada yang mampu menampik takdir. Hingga mau tidak mau, aku harus ikhlas meski batin selalu berkata tak rela. Astaghfirullah.
Kurebahkan diriku di atas kasur. Dengan masih mengenakan pakaian yang kupakai ke makam tadi, aku memegang sebuah foto yang berbingkai warna emas. Di dalamnya jelas tergambar wajah sepasang pengantin tersenyum sumringah dengan latar belakang pelaminan. Siapa lagi kalau bukan foto Mas Jaya dan Mbak Dewi istrinya.
“Semoga kalian bertemu, ya, di sana,” Aku mendekap foto itu seraya memandangi langit-langit kamar.
Baru enam bulan usia pernikahan mereka. Usia pernikahan yang masih ranum, tapi harus terpisahkan oleh maut yang datang tiba-tiba, tanpa rasa iba.
Lagipula, siapa yang sanggup kehilangan orang terkasihnya? Aku rasa tidak ada. Andai waktu dapat dibeli, kuyakin seluruh manusia di bumi ini akan berbondong-bondong membeli waktu untuk dihabiskan bersama kekasih. Sekalipun mahal. Kuyakin, itu.
—
“Allah lebih sayang kepada Mbak Dewi dan bayinya, mas. Mohon diikhlaskan,” ujarku saat itu mencoba menegarkan Mas Jaya, meski kulihat air mata Mas Jaya tetap membanjiri pipinya tapi setidaknya aku telah berusaha.
Ya, Mbak Dewi lebih dulu meninggalkan Mas Jaya tepat seminggu yang lalu. Ia pergi bersama jabang bayi yang baru empat bulan dalam kandungannya.
Sebelumnya, Mbak Dewi memang agak mengeluh karena kondisi tubuhnya yang kurang stabil. Kaki dan tangannya mengalami bengkak-bengkak. Aku tidak mengerti, tapi ibuku bilang bahwa itu hal yang wajar bagi seorang ibu yang sedang mengandung. Namun sehari kemudian saat menjelang tengah malam, ia malah merasakan sesak di dadanya yang amat sangat hingga langsung diantar ke rumah sakit oleh Mas Jaya malam itu juga.
Dengan perasaan khawatir, aku dan ibu yang tinggal di rumah, tak henti-hentinya berdoa, semoga keadaan Mbak Dewi lekas membaik dan rasa sakit yang dialami tidak berpengaruh terhadap bayi yang dikandungnya.
Namun, takdir berkata lain. Harapan dan doa panjang kami terputus seketika. Setelah Mas Jaya menelepon bahwa Mbak Dewi langsung berpulang. Begitupun dengan bayinya yang juga tak dapat terselamatkan.
—
Sepeninggal Mbak Dewi, Mas Jaya berubah. Keceriaan yang selalu terpancar dari wajahnya sehabis pulang bekerja, mendadak sirna. Bibirnya yang selalu tergerak untuk membuat orang lain tertawa, juga telah tiada. Mas Jaya menjadi cenderung pemurung dan penyendiri. Bahkan tak jarang, dia tidak mau makan dengan alasan belum lapar Aku jadi ingat percakapan antara aku dan Mas Jaya sebelum ia menikah. Saat itu aku masih kelas satu SMP.
“Mas, aku mau nanya nih, ya. Prinsip Mas Jaya, nikah itu perlu berapa kali dalam seumur hidup?” tanyaku iseng. Mas Jaya tampak mulai berfikir. “Emm, kalok prinsip mas nih, ya, nikah itu bukan perlu beberapa kali, tapi hanya dan cukup sekali seumur hidup,” Jawabnya angkuh sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “heh, apa iya? Kalau aku lihat tampang-tampang Mas Jaya, aku kurang percaya.” Aku yang masih polos dan belum tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa, terus bertanya tanpa pikir panjang.
“Gimana, kalau istri mas meninggal? Mas mau nikah lagi atau tetap menduda sampai tua?” “Ish, dasar anak kecil! Banyak tanya. Nggak baik ngomongin masalah nikah. Nyuci piring aja masih belum bersih,” katanya diiringi tawa khasnya. Aku mengerucutkan bibir. Spontan Mas Jaya menarik bibirku seperti orang tidak berdosa. “Au, sakit loh, Mas.” Bukannya meminta maaf, tawa Mas Jaya malah mencercaku diiringi tawanya yang semakin menjadi-jadi. “Lagian, anak kecil kok banyak tanya.” “Bodo amat.” kutinggalkan Mas Jaya lalu mengadu kepada ibuku. Huh, dasar anak kecil!
Perihku mereda berganti senyum sejenak. Mengingat kilas kenangan itu, yang tidak akan terjadi lagi di waktu kapanpun.
Masih kuingat juga satu ucapan dari Mas Jaya setelah sehari ia menikah, “Semisal besok, lusa atau suatu saat yang entah kapan itu mas pergi, tolong jaga ibu, ya. Mas titip ibu. Tolong jaga juga Mbak Dewi dan anak mas nanti seperti saudara kandungmu.” Aku hanya menjawab dengan suara pelan, “Tanpa mas pinta pun, aku bakal jaga ibuk dan mbak, kok. Memangnya mas mau ke mana juga? Sok-sok an mau pergi jauh.” “Mas seriusan loh. Jaga separuh jiwa dan tulang rusuk mas. Karena kalau sampai patah, tulang punggung mas bakal rapuh tanpa kelengkapan keduanya.” Mbak Dewi yang mendengarkan hanya ikut tertawa tanpa menjawab. Maklumi saja, namanya juga pengantin baru, jarang yang langsung berani menimbrung.
Dari ucapan mas itu, aku baru mengerti sekarang. Bahwa Separuh jiwanya yaitu ibu, tempat di mana ia dan aku tercipta dan pernah berada. Dan tulang rusuknya Mbak Dewi, istrinya tercinta. Yang ikut melengkapi kesempurnaan hidupnya, tempat berbagi rasa, asa, juga cintanya, biar hanya 6 bulan lamanya.
Dan kini, tulang rusuknya telah patah. Kesempurnaan hidupnya kembali berkurang, punggungnya telah merapuh sekarang.
Selamat jalan Mas Jaya kusayang. Pergilah ke tempat yang dulu ingin engkau tuju, yakni keabadian. Maaf, aku tidak bisa menjaga tulang rusukmu, karena sang ilahi telah lebih dulu menjagakannya untukmu. Temuilah ia di sana bersama buah cinta kalian. Biar separuh jiwa kita akan tetap kujaga di sini. Cintamu luar biasa, mas.
Cerpen Karangan: Vivi Ajeng Lestari Blog / Facebook: Vivi Ajeng Lestari Vivi Ajeng Lestari, lahir di Lampung Utara pada 16 Oktober 2004. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan di tahun 2021. Penulis amatir yang sedang berusaha menekuni dunia tulis menulis. Selalu menyukai rinai hujan, dan keajaiban langit lainnya.