Tanahnya masih basah, berupa gundukan dengan dua penanda yang ditancapkan disisi utara dan selatan. Bersemayam damai tubuh renta yang terpejam dengan pakaian terakhirnya, bersedekap diam mengacuhkan sekitarnya, wajah tanpa rasa yang terakhir telihat, Bapak.
Sentuhan terakhir menyintaskan masa lalu kebersamaan, sosok keras namun pendiam, yang berbicara cukup melalui tatapan mata, tanpa perlu kata, yang menguatkan ketika dekapan pelukan menyirnakan beban, seberkas tatapan yang mampu menyadarkan kealpaan.
Perjuangannya masih menjadi kiblat kehidupan, pelajaran ikhlas yang selalu menjadi topik utama dalam setiap kesempatan, selalu mengingatkan bahwa kita adalah tokoh utama dalam apa yang kita jalani, entah itu berhadapan dengan suka entah itu duka, entah itu pertemuan entah itu perpisahan, menerima kenyataan dengan mengikhlaskan, berat memang, tapi harus dipaksakan.
Nafas yang dulu diperlihatkan menjadi pengingat untuk terus menyebarkan kebaikan, menjadikannya peninggalan paling hebat yang harus tetap dilanjutkan.
Kini membahagiakan hanya menjadi angan, yang dulu sempat diupayakan, kini hanya sebatas ungkapan kemudian berubah menjadi rapalan, doa yang hanya mampu untuk diberikan.
Waktu akan menuakan, masa lalu akan terlupakan, sosok yang kini bersemayam dalam tenang akan tetap tetap muncul dalam angan dengan senyuman, memberikan kekuatan bagi mereka yang mengikhlaskan.
Tenanglah disana, tak perlu risau dengan kehidupan, pundak ini telah terkuatkan, demi secercah harapan. Beristirahatlah dengan tenang, Bapak.
Cerpen Karangan: A.R. Hudiyawan Blog / Facebook: Hudiyawan Hidup adalah berbagi, media cerpen ini pun adalah tempat untuk berbagi, kepada mereka yang ingin mengetahui isi hati, kepada mereka yang ingin mengingat kembali, kepada mereka yang ingin memanggil memori, kepada mereka … yang gagal bermimpi.