“Assalamualaikum”
Terdengar suara salam dari balik pintu, tepat setelah Sakila melakukan gerakan salam ke kiri, dengan masih terduduk di atas sajadahnya lengkap dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya.
“Waalaikumsalam” jawabnya lekas berdiri dan melepas mukenanya lalu melipat dan menyimpan kembali pada tempatnya. Tidak lupa memasang kerudung, yang ia lepas tadi saat hendak melakukan sholat.
“Sudah pulang Bang” tanyanya lalu meraih tangan Fahmi, dan menciumnya. Tidak peduli meski tangan itu kotor bekas tanah dan lumpur di ladang yang masih ada tersisa menempel.
“Iya” jawab Fahmi lalu duduk selonjoran di atas teras papan rumah panggungnya. Menikmati angin sore, yang berembus dengan sepoi-sepoi dari dahan kelapa di sebelah rumahnya. Dengan memandang hamparan sawah yang mulai menguning di seberang jalan aspal yang tidak begitu lebar, dan hanya mampu dilewati sepeda motor atau pejalan kaki bersalipan, tepat di depan rumahnya.
“Andi kemana kila?” Andi adalah anak semata wayang Fahmi dan Sakila, berumur delapan tahun. Anak dengan kulit hitam manisnya itu, sangat menurun dari ayahnya.
“Sedang main, paling main layangan sama temannya.” “Abang mau minum apa?” “Apa saja, air putih juga boleh”
Begitu terlihat harmonis dan keluarga yang sempurna meski segala kekurangan, dalam masalah ekonomi. Fahmi yang hanya seorang petani, itu pun hanya sawah garapan. Sedangkan Sakila dia hanya ibu rumah tangga, dengan sampingan menjadi penjahit di rumahnya. Tapi bagi mereka selama ada nasi yang bisa disuap itu sudah lebih baik.
“Assalamualaikum” Andi baru kembali, dengan layangan putus di tangannya. Lalu duduk bersebelahan dengan ayahnya, memasang benang dari gulungan dan menyambungnya pada layangan.
“Kamu habis mengejar layangan An” “Iya, yah. Tadi layangan Andi putus, terus dikejar bareng teman-teman” Sakila mengusap dahi Andi yang bercucur keringat, menyekanya dengan sayang.
“Mandi dulu sana, terus sholat sebelum hari menjelang petang” titah Sakila pada anaknya itu, dan tentu saja Andi langsung menurut.
“Abang pergi ke ladang dulu ya, dek. Mau mencari rumput sebentar” Sakila hanya menganguk, sambil melihat Fahmi yang mulai menjauh. Selain menggarap sawah, Fahmi juga bertenak kambing. Awalnya hanya mengurus milik tetangga, hingga sejak setahun dirawat mereka sudah bisa bagi hasil. Karena kambing yang dipelihara, melahirkan dua anak kambing. Jadilah Fahmi mendapat satu bagian.
—
Suara adzan magrib sudah mulai berkumandang, tapi Fahmi belum juga kembali. Membuat hati Sakila menjadi resah, tidak biasanya suaminya itu pulang sampai petang begini.
“Ibu kenapa, berdiri di depan jendela begitu. Menunggu ayah ya Bu” “Iya tumben ayahmu belum pulang, ibu mau susul dia ke sawah mumpung belum gelap. Kamu jaga rumah dulu ya An.”
Andi mengangguk mengerti, lalu menutup pintu ketika ibunya telah berlalu dengan sepeda ontel milik mereka. Sakila terus memacu sepedanya, menyusuri jalan aspal hingga sampai di pinggir jalan dekat dengan sawah garapan milik mereka. Suara iqomah mulai mengalun, gegas Sakila menyusuri sawah yang melambai dengan padi yang mulai menguning.
Dari jarak lima meter Sakila mendengar suara ribut, seperti amarah beberapa orang. Dan rintihan rasa sakit dari suaminya. Sakila mulai mendekat, hingga terlihat jelas. Di depan matanya, suaminya dipukuli di lahan sawah tempat mengambil rumput. Dengan rasa khawatir, Sakila melangkah tergesa.
“Hentikan!, hentikan Pak. Jangan pukuli suami saya, tolong hentikan!” Jerit memohon Sakila ucapkan pada empat pria sangar berbaju hitam di depannya. Yang tidak lain, anak buah dari juragan Qomar pemilik kebun kopi di desanya.
“Kenapa kalian menghajar suami saya?” “Bilang pada suamimu itu, jika dia tidak mampu melunasi hutangnya. Dia harus menepati janjinya pada Juragan,” ucap Bang Kardi seorang kepala ajudan juragan Qomar. “Janji…, janji apa?” Sakila bertanya dengan kebingungan yang masih melekat di kepala. “Untuk menikahi Aisyah, anak Juragan” ujarnya lalu pergi dari persawahan. Megah merah mulai menghiasi langit, Sakira berdiri dan pergi dari sana menerobos petang, yang penting segera pulang dengan membawa sejuta tanya penuh luka, untuk suaminya.
Sesampainya di rumah, Sakila menarik napas panjang, lalu mengeluarkan secara perlahan. Pergi ke belakang mengambil wudhu, untuk memadamkan amarah yang masih bergejolak dengan menunaikan sholat magrib yang tertunda.
Fahmi baru tiba saat Sakila telah melipat kembali mukenanya. “Kilaa…,” panggil Fahmi dengan penyesalan di hatinya. Namun, Sakila abai dan masih menyimpan amarahnya.
“berapa banyak” tanya Sakila dengan dinginnya, setelah terdiam cukup lama. “Lima juta” “untuk apa!, uang sebanyak itu” ucap Sakila dengan penuh emosi, selama ini Fahmi tidak pernah cerita kenapa dia meminjam uang dan untuk apa uangnya. “Tentu saja untuk memenuhi hidup kita!, kamu tau ‘kan kita tidak punya beras sebelum panen, tidak punya uang sebelum kambing di kandang itu laku terjual!, menurutmu untuk apa uang itu!” Emosi Fahmi tidak terbendung, mendengar ucapan Sakila yang penuh amarah. Sakila terdiam, mendengar bentakan Fahmi dengan menggigit bibirnya dalam. Menahan sesak di dadanya.
“Ya sudah, nanti aku cicil uangnya,” ucap Sakila mencoba menghentikan perdebatan mereka. “Dengan apa, hasil menjahit yang tidak tentu perharinya.” “Iya”
Fahmi menghembus napas kasar, lalu melihat Sakila dalam.
“Kamu pikir kita mampu membayarnya hanya dalam waktu seminggu?,” tanya Fahmi dengan kesal. “Aku akan usahakan, aku akan lakukan apapun untuk kita bisa membayarnya!” Sakila akan lakukan apapun, kerja serabutan dari pagi hingga malam, atau menjadi kuli cuci atau apapun itu, asal mereka bisa membayar hutang dan suaminya tidak perlu menikahi anak Juragan yang tidak laku itu. Yang selama ini Sakila tau Aisyah menaruh hati pada suaminya, jelas karena Fahmi termasuk lelaki tampan di desa ini. Sedangkan Aisyah wajahnya tidak secantik namanya, dan hal itu yang membuat para lelaki enggan mendekatinya yang tentunya mereka adalah lelaki terpandang dari keluarga mapan.
“Apa saja katamu!, termasuk menjual dirimu!” Dengan emosi yang memuncak Fahmi berujar tanpa sadar kata-katanya begitu menyakitkan. Emosi bercampur lelah sehabis bekerja di sawah seharian, dengan rasa sakit di sekujur tubuh akibat dipukuli yang belum terobati, ditambah rasa pusing dan frustasi dengan masalah yang dihadapi membuat ia tidak bisa berpikir jernih.
Plakkk Suara tamparan mengema di rumah itu, bahkan suara teriakan dan amarah mereka daritadi memengkakkan pendengaran seorang anak yang menjadi korban.
Andi menutup telinganya dengan rapat, dengan bersembunyi di balik pintu kamarnya.
“Kalo begitu jual saja dirimu sana!, pada Juragan Qomar!, dengan menikahi anaknya untuk melunasi hutangmu!!” Sakit sekali hati Sakila mendengar penuturan suaminya bahkan lebih sakit dari tamparan yang ia berikan.
Fahmi menatap Sakila sendu, dan penuh penyesalan begitu menyadari ucapannya. “Kila..,” suara Fahmi tertahan dan mencoba menggapai tangan Sakila, tapi Sakila menghindar. “Pergi!!, pergi dari sini!!” Mendengar teriakan Sakila, Fahmi merasa kecewa karena Sakila tidak ingin menjadi sandaran untuk kepala yang sedang pusing oleh masalah. Fahmi membalikkan badan untuk pergi dan pulang ke rumah orangtuanya.
“Tunggu!” Sakila menghentikan langkah Fahmi, untuk sesaat Fahmi merasa lega. “Sebelum pergi talak aku dulu”
Badan Fahmi menegang, lalu kembali menatap Sakila dengan terluka. Jelas Sakila tidak mau berada di posisi yang sulit, dengan menjadi madu dari anak Juragan Qomar. Bahkan mungkin tidak ada satu pun wanita yang mau menerimanya, meski tau suaminya boleh memperisteri lagi selain dia. Apalagi Fahmi, sudah jelas tidak mungkin bisa membayar hutangnya yang senilai lima juta itu.
“Baik, malam ini kamu aku talak Sakila”
Malam itu Fahmi pergi, meninggalkan rumah dengan segala luka untuk setiap penghuninya. Sakila menangis tersimpuh seorang diri selepas kepergian Fahmi dari rumahnya yang seadanya.
Sudah seminggu berlalu Fahmi pergi meninggalkan keluarga kecilnya, hingga terdengar kabar ia tidak bisa melunasi hutang dan terpaksa menikahi putri Juragan.
Sakila sedang duduk menikmati angin di teras rumahnya, bersama Andi yang baru pulang mencari rumput sebisanya untuk memberi makan kambing-kambing ternakan bekas ayahnya.
“Karena hutang ayah pergi meninggalkan kita, dan melupakan janjinya untuk bersama kita selamanya Bu.” Ucapan Andi membuat hati Sakila kembali tersayat, karena kesalahan dirinya dan suaminya anak itu harus menanggung beban yang tidak diharapkan oleh hatinya.
“Bahkan janjinya pada kita, juga sebuah hutang yang seharusnya dia bayar” ujar Sakila dalam hati, matanya menerawang bagaimana kehidupan mereka sebelumnya yang penuh canda tawa, dan setelah hari itu, yang akan diisi berdua.
Cerpen Karangan: Sy_OrangeSky Blog / Facebook: Siti maisaroh