Sebulan sebelum aku resmi jadi mahasiswa baru di salah satu universitas negeri di kotaku, aku sempat dilema antara mau kuliah pulang-pergi atau ngekos dekat kampus aja. Menimbang baik dan buruknya, kedua pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sialnya, semakin aku berpikir malah membuatku semakin bingung.
“Udah, ngekos aja, masa cowok gak berani ngekos,” ucap Abah, di tengah aktifitas makan malam keluarga. Aku menelan sisa makanan di mulut. “Bukan masalah berani atau nggak, Bah. Tapi nyari kos yang murah itu susah.” “Nah betul itu! Yang penting murah! Emang kamu udah nyari sampai mana, jadi bilang susah?” “Belom nyampe depan rumah, kok.”
Tiba-tiba Mama ngomong, “Kenapa harus ngekos? Pulang-pergi aja bisa, kan?” “Bisa, sih, Ma. Tapi ongkos bensin dan biaya ngekos sebulan keknya sama aja deh.” “Mama setuju kamu kuliah pulang-pergi aja. Kamu gak bisa masak. Kalo kamu ngekos, nanti kamu beli makan mulu, keluar duit cuma buat makan doang. Belum lagi tambahan ini-itu buat beli perabot.”
Aku meletakkan gelas di meja, menyendok nasi dan berkata, “Kan bisa belajar. Perabotnya gak usah beli yang baru, Mah. Biasanya yang gede kayak kasur dan lemari udah ada di kosannya. “Pokoknya kamu pulang-pergi aja.” Abah berdehem. “Dengerin apa kata Mama kamu, sampai subuh juga gak habis-habis.” “Abahh!” Mama mencubit lengan Abah. Abah ngejerit kesakitan. Persis seperti saat dia sembelit beberapa hari yang lalu.
Menghabiskan makan malam dalam diam, aku berusaha mencerna perkataan kedua orangtuaku. Jelas ada perbedaan pendapat diantara keduanya. Abah mau aku ngekos, sedangkan Mama maunya kuliah pulang-pergi aja.
Pilihanku cenderung ke arah Abah. Aku pengen ngerasain gimana rasanya mandiri. Makan sendiri, mandi sendiri, malam minggu sendiri (Ini emang udah dari lahir, sih)
Dengan ngekos, aku merasa bisa lebih bebas dalam menjalani hidup. Hari-hari akan berlalu tanpa teguran orangtua saat aku bersalah dan gak ada lagi perintah-perintah yang merepotkan.
Aku mengunyah tahu bacem terakhir.
“Lho? Mana tahu punya Abah?” ucap Abah entah pada siapa.
Sambil mengunyah aku berpikir. Berkomitmen buat ngekos berarti harus siap hidup mandiri. Berbagai macam skill mendasar dalam hidup perlu dipelajari. Salah satunya adalah memasak.
Dengan kemajuan teknologi, tentunya kegiatan masak-memasak semakin mudah. Hadirnya rice-cooker, oven, microwave, dan alat-alat masak lainnya lambat laun mulai menggantikan cara memasak konvensional. Secara umum, ini bagus, tapi juga bisa buruk. Bagusnya, pekerjaan manusia jadi gampang, nggak ribet. Buruknya, nyawa manusia bisa terancam hanya karena kecerobohan kecil penggunaan.
Bayangin, malam-malam, kamu dan teman se-kosmu lagi masak nasi pakai ricecooker. Pas kamu mau colokin colokannya ke stopkontak, tiba-tiba mati lampu. Seisi rumah gelap. Dengan penuh kepanikan, kalian bergumul mencari sumber cahaya. Untungnya, mati lampunya cuma nge-tes doang. Kurang dari tiga puluh detik, lampu nyala. Dan hal pertama yang kamu lihat saat itu adalah, hidung temanmu yang mengeluarkan darah akibat kecolok sama colokan rice cooker yang nyasar. Membayangkan betapa horornya hal tersebut, gue bertekad buat belajar masak dari dasar.
Di bawah bimbingan Abah, skill pertama yang mau aku latih adalah memasak air. Alasan aku melatih skill masak air duluan, karena aku lihat masak air kayaknya mudah dilakukan. Tinggal masukan air ke dalam panci, lalu…
“Lalu apa, bah?” tanyaku pada Abah. “Lah gitu doang masih nanya? Masa kamu nggak bisa mikir sendiri?” Dalam otakku yang bersumbu pendek, kupikir selanjutnya adalah melakukan tarian minta hujan. Tapi belum sempat aku selesai menari kepalaku keburu digeplak Abah sambil memnyuruhku memutar kenop kompornya.
*klik “Kebakaran! Tolong! Kebakaran!” Aku panik. Rasanya panas. Kulitku terbakar akibat jilatan api ledakan kompor gas. “Apanya yang kebakar. Apinya blom nyala, nak.” “Oh iya, ya.” Ternyata tadi cuma imajinasiku.
*klik “Aaaaaa!!” “Blom.”
*klik “Aaaaa!!” “Blom.”
Apinya tak kunjung menyala. Entah berapa kali aku sudah memutar kenop, yang pasti sebanyak itu juga aku teriak-teriak heboh nggak jelas.
Abah mendekati kompor gas. Mengecek. “Pantes,” gumamnya. “ini kompor minyak.”
Setelah pelajaran memasak air, Abah mengajariku skill memasak lainnya. Memasak beras tanpa rice cooker, membuat sambel hanya bermodal terasi dan bawang merah, sampai cara mengeluarkan isi perut ayam dari lubang pup-nya.
“Serius, Bah, harus lewat sini?” Aku menunjuk bagian pantat ayam yang lehernya udah setengah putus itu. “Yaiyalah, masa lewat lubang hidungnya!” Abah ketawa menggelegar. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum aneh mendengar joke bapak-bapak barusan.
Abah memungut ayam tersebut. Leher ayam mati bergoyang lunglai ketika diangkat. Lalu, Abah mengiris bagian bawah perut ayam secara horizontal. “Buat pemula, lewat sini aja.”
Aku menatap nanar almarhum ayam kampung peliharaan Abah. Masa-masa saat almarhum masih hidup mulai muncul dalam benakku. Rasanya baru kemaren aku lihat almarhum sebesar genggaman tangan adikku yang paling kecil. Dan sekarang, disini aku berada. Siap mengeluarkan isi perutnya dengan sangat sadis.
Hati nuraniku langsung berontak. Aku gak sanggup. Namun, mengingat kalau tujuanku adalah jadi mandiri, mau gak mau, aku harus mencoba.
Perlahan, kumasukkan jari telunjuk kedalam irisan yang dibuat Abah tadi. Genyal-genyil (bahasa apaan tuh) Rasanya seperti ada yang ngejilat tanganku. Memang, aku gak masukin jari lewat lubang pup-nya secara langsung. Tapi tetap aja, letak irisan yang dibuat Abah masih terlalu dekat dengan tempat paling menjijikan itu. Aku khawatir yang aku keluarin nanti bukan jeroannya, melainkan, sisa-sisa tahi ayam yang masih ketinggalan yang gak sempat ayam tersebut keluarkan karena keburu disembelih.
“Lebih dalam lagi!” ucap Abah. Kumasukan juga jari tengah.
“Arghhh! Lagi!” Gue tambah lagi jari manis.
“LAGI!” Jari kelingking.
“Hanya segitu nyalimu!” Kini semua jariku udah masuk.
“Tarik!” “Huaaaaa!” Dalam satu kali tarikan isi perut ayam itu pun keluar. Tak cukup sampai di sana, aku tarik terus menerus dengan membabi buta. Tanpa belas kasihan. Sekarang, aku udah menjadi psikopat di dunia per-ayaman.
Setelah meletakkan ayam kedalam panci buat direbus untuk mempermudah proses mencabut bulunya, Abah menghampiriku yang terduduk lemas karena syok. “Kerja bagus. Sekarang saatnya belajar menyembelih ayam. Kamu udah lihat caranya ‘kan?”
Belakangan, kurasa pelajaran masak yang diajarkan Abah terlalu berlebihan. Ya kali, aku harus nyembelih ayam setiap pengen makan ayam pas ngekos nanti. Biar begitu ajaran dari Abah akan kuingat sampai akhir hayat. Kalau ngeluarin isi perut ayam itu harus lewat bo’olnya jangan lewat lubang hidung.
Karena merasa memasak ayam persis seperti ajaran Abah rada ribet, aku nyoba nyari alternatif lain. Makanan, makanan apa yang bikinnya nggak ribet dan hemat pengeluaran? Telur dan Mi.
Aku sudah terbiasa memasak mi. Walaupun cuma direbus biasa pakai air panas. Mentok-mentok diatasnya ditaroh telur mata sapi.
Setauku cara masak telur cuma ada dua, kalo nggak telur rebus, telur dadar ya telur mata sapi. Bentar, itu tiga. Eh empat. Ada satu lagi masakan telur yang sering Mama bikin. Namanya telur orak arik. Itu merupakan olahan telur yang cara bikinnya kurang lebih sama dengan telur dadar.
Cara bikin telur orak arik (Hasil observasi saat mama masak):
1. Siapkan telur. Ayam atau bebek terserah. 2. Pecahin dalam mangkok. 3. Masukkan bumbu. Kombinasi garam dan micin. Tapi ingat, micinnya jangan kebanyakan. Harus hemat. 3:1 Cukup. 4 Masukkan telur ke dalam wajan yang telah dipanaskan. Kocok dengan sendok agar bumbunya merata. 5. Ketika telur sudah mulai memadat. Angkat. 6. Sajikan.
Memang tidak ada yang spesial sih dari cara pengolahannya. Hanya saja, setiap kali aku mencoba masak telur orak arik sendiri, entah mengapa rasanya sangat berbeda dengan bikinan mama. Padahal resepnya sama.
Aneh. Aku mencoba mengingat lagi. Jangan-jangan ada bumbu yang kurang atau ada proses yang terlewati. Hmm, keknya nggak ada deh. Terus apa, ya? Cinta? Klise banget, sih. Tapi boleh dicoba. Pertanyaanya, gimana cara ngasih cinta ke masakan? Apa aku harus bilang ‘i love you’ gitu?
“Telur, aku udah lama memperhatikanmu. Sejak kita pertama kali bertemu, pesonamu yang anggun menarik perhatianku. Kulit putihmu yang mulus (ceritanya di sini telur bebek) dengan bentuk yang bulat lonjong, terus terbayang dipikiranku. Aku ingin memakanmu. Makanya, ijinkan aku untuk menjadikanmu orak arik yang enak, sehat dan bergizi seperti buatan Mama. Telur, i love you.” “I love you too,” balas telur. Seketika kulempar telor jadi-jadian itu.
Tentu saja itu hanya ada dalam bayanganku. Lagian, aku nggak akan melakukannya. Menghela napas, kukembalikan telur yang belum sempat dipecahkan ke dalam kulkas.
“Lho? Nggak jadi masak telurnya?” tegur Mama. Aku malah bertanya, “Ma, cara supaya telur orak ariknya enak kayak bikinan Mama gimana, ya?” Mama tersenyum. “Sini telurnya. Mama bikinin.”
Aku memperhatikan bagaimana cara Mama memasak telur tersebut. Nggak ada yang berbeda dengan caraku. Lalu apa yang membuatnya rasanya lebih enak?
Ah. Aku nggak bisa nemuin jawabannya. Yang pasti, orak arik punya tempat spesial di hidup gue. Yaitu perut. Dari perut, terus turun ke… udahlah. Lagi makan. Males bahas gituan.
Aku menikmati sarapanku. Sarapan orak arik bikinan Mama yang pasti akan kurindukan dari sekian banyak masakannya.
Di suapan terakhir aku melihat Mama yang ternyata dari tadi menungguku selesai makan. Sorot matanya sendu ke piringku yang sudah kosong. Kukira mama mau minta orak arik tapi nggak sempat bilang. Tapi kurasa bukan begitu. Soalnya kalo Mama mau, Mama bisa bikin sendiri.
“Ma,” ucapku dengan suara selembut mungkin, agar tak mengagetkannya. Mama tersadar, menoleh. “Ah, iya. Gimana orak ariknya, enak, nggak?” Aku mengangguk. Setiap masakan Mama tentu saja yang terenak.
Saat itu juga, kuputuskan nggak jadi ngekos.
Cerpen Karangan: Hafiz. F