“Kamu kuliah ya? ambil kedokteran. Mondoknya nanti lagi kalau udah lulus kuliah. Kitabmu juga bisa diterusin tanpa harus mondok kok.” Itulah penggalan kalimat yang terus berputar di ingatanku. Wah rasanya airmataku kembali menggenang dan ingin menetes. Mengingat beberapa bulan yang lalu, saat aku sangat bersemangat menduduki bangku kelas tiga MA-ku dan permulaan munculnya pertanyaan dari segelintir orang,
“Ifah sudah kelas tiga Aliyah ya? Rencananya mau lanjut kemana?”, “Lulus Aliyah ini lanjut kemana, Fah? Kuliah? Atau Mondok lagi?”, Atau “Ifah mau kuliah ya? Ambil jurusan apa?”, dan banyak lagi. Kala itu aku mampu menjawabnya dengan yakin, “Aku mau lanjut mondok di Jawa. Mau nerusin kitabku, dan kalau bisa menghafal Al-Qur’an juga “
Tak jarang beberapa orang mengkritik jawabanku, seperti “Ngga bosen apa? Kan udah 6 tahun mondok masa mondok lagi?”, atau “Sayang banget. Kalo kuliahkan bisa dapat gelar. Mondok dapat apa?”. Tapi aku tetap tak goyah, bahkan aku semakin yakin bahwa pilihanku adalah pilihan terbaik untuk diriku.
Aku sempat lupa bahwa keputusan ini bukan hanya tentangku, tapi juga tentang banyak orang yang menaruh harapan kepada diriku. Yang akhirnya, Akupun terluka karna keyakinanku sendiri.
“Fah? Katanya disuruh Abah ambil kedokteran ya? Kamu yakin? Apalagi itu bukan bidangmu.” Tanya ibuku, yang baru saja memasuki kamarku. “Bu, memangnya Ifah dikasih kesempatan milih sama Abah? Ngga, kan? Jadi, ga ada gunanya juga yakin atau ngga.”, jawabku pasrah. “Iya ibu ta, Fah. Tapi kamu ngga mau nyoba buat bicara sama Abah?” Tanya ibu lemah lembut memastikan pilihanku. “Ibu sendiri kan tau Abah. Kalau abah bilang A ya A. B ya B. Ifah ga bisa apa-apa lagi. Sudah ya, Bu. Biarkan Ifah sendiri dulu” Pintaku dengan suara gemetar menahan tangis.
Ibupun keluar dan membiarkanku sendiri. Kulepaskan tangisku seraya terus berfikir, aku harus bagaimana. Tak pernah terlintas dalam anganku bahwa aku akan kuliah, mengambil kedokteran pula. Aku? Dokter? Apakah cocok? Apakah bisa? Otak yang diajak berhitung saja lemot, mau kuliah kedokteran? Lihat darah saja takut, malah mau jadi dokter? Gila.
Haripun kulalui dengan terus berusaha untuk menggalihkan fikiran itu. Pernah kucoba untuk kembali menyampaikan keinginanku pada Abah. “Bah? Apakah aku harus kuliah? Apakah harus kedokteran? Jujur, Ifah ga yakin mampu.”, ucapku menundukan kepala tanpa mampu menatap Abahku. “Fah, Dokter adalah salah satu pekerjaan yang sangat mulia. Abah pengeeenn sekali anak Abah ada yang menjadi dokter. Kakak-kakakmu tidak ada yang berhasil. Dan hanya kamu satu-satunya harapan Abah, Fah. Abah yakin kamu bisa.”, jawab Abah dengan suara yang bergetar.
Mendengar itu, kuberanikan diri untuk mengangkat kepalaku dan menatap wajah Abahku. Mata beliau berkaca-kaca menahan tangis. Melihat itu, aku terdiam. Rasanya campur aduk. Aku tersadar betapa besar harapan beliau kepadaku, namun aku juga takut dan khawatir tidak mampu mewujudkan apa yang beliau inginkan. Terlebih lagi, rasa inginku untuk melanjutkan mondok masih terus meronta-ronta.
Dari percakapan singkat itu, kucoba menata hatiku kembali. Disaat aku mulai mencoba menerima pilihan Abahku, Kak Ata menelfonku, “Assalamu’alaikum dek?” Ucap Kak Ata, kakak tertuaku yang berada di Jakarta. “Waalaikumsalam kak, Kenapa?”, Jawabku seraya bertanya alasan ia menelfonku. “Adek apa kabar? Sehat kan? Kangen kakak ga?”, Tanya Kak Ata iseng kepadaku. “Alhamdulillah baik. Hah? Apa tadi? Kangen? Ga sama sekali ya”, Elakku. “Hahahahahah.. Yaudah, kakak aja deh yang kangen. Ah iya, kakak nelfon karna mau nanya sama adek.”, Ujar Kak Ata menyampaikan alasannya menelfonku. “Nanya apa kak?”, Tanyaku penasaran dan sedikit takut. “Kata Syafa, kamu murung terus semenjak permintaan Abah soal kuliah kedokteran. Iya ya, dek?”, Syafa adalah kakak keduaku. “Kak Syafa ngaduan deh.. Tapi, Iya bener si kak “, Jujurku. “Kenapa dek? Bukannya kedokteran bagus?”, Ucap Kak Ata menanyakan alasanku. “Ya gimana ya kak, Kedokteran bukan keinginanku. Bahkan kebayang atau kefikiran aja ga pernah. Kakak kan tau, aku pengennya lanjut mondok lagi. Dari awal, aku udah ga tertarik kuliah kak. Sekalipun tetep bisa nyambil belajar kitab, tapi aku yakin nanti aku cuman punya waktu dikit untuk itu. Sisanya untuk kuliah. Apalagi kalo aku beneran nyambil ngafal Al-Qur’an, wah bisa-bisa Qur’anku kalah kak.”, Jelasku. “Iya bener sih dek. Baik keinginan Abah ataupun adek, semuanya bagus. Kakak setuju semua. Adek udah coba ngomong ke Abah tentang keinginan adek ini?” Ucap Kak Ata merespon penjelasanku. “Udah sih kak. Meski belum jelas banget karna kemarin Abah kayak mau nangis. Aku kan jadi ikutan mau nangis”, Jawabku dengan nada sedih. “Nah, Coba dibicarain lagi dek ke Abah. Atau, kalo adek takut kek gitu lagi, yaudah minta tolong lewat ibu aja. Biar ibu yang jelasin ke Abah.”, Sarannya. “Boleh juga sih kak. Tapi aku takut.”, Ucapku. “Ga boleh takut dong. Kakak yakin kok Abah Ibu bakal dukung keinginan adek.”, Kak Ata berusaha menyakinkanku. “Oke kak. Aku coba ya nanti”, sautku. “Nah gitu baru adek kakak”, Ucap Kak Ata tersenyum lebar.
Telfon itupun berakhir. Harus kuakui, ucapan Kak Ata memberikanku keberanian untuk mencoba berbicara lagi kepada Abah. Sejujurnya, aku sangat takut akan mengecewakan Abah yang sudah berharap banyak kepadaku. Tapi, daripada aku hanya terus terhantui dengan hal ini, lebih baik aku mencoba untuk membicarakannya lagi. Semoga saja Abah setuju dengan keinginanku.
Tibalah hari libur madrasah, akupun pulang. Abahku masih berkerja, dan di rumah hanya ada ibu. Akupun memberanikan diri untuk memulai pembicaraan, “Buu?”, Panggilku seraya memulai pembicaraan. “Iya, Fah? Kenapa?”, Saut Ibu merespon panggilanku. “Ifah mau ngomong. Boleh?”, Tanyaku dengan tatapan berkaca-kaca. “Boleh, Nak. Ngomong aja, Ibu dengarkan kok.”, jawab Ibu lembut. “Bu, Jujur Ifah ga mau kuliah kedokteran. Ifah ga sanggup, Bu. Ifah tetep pengen lanjut mondok di Jawa. Ifah pengen terus belajar kitab dan ngafal Al-Qur’an. Ifah ga yakin mampu membagi waktu Ifah untuk belajar kitab dan menghafal Al-Qur’an jika Ifah sambil kuliah kedokteran. Ifah takut Al-Qur’an atau kuliah Ifah ada yang kalah. Maafin Ifah,Bu, udah ngecewain Ibu Abah” Ucapku mulai menangis meluapkan semuanya. “Ya Allah, nak. Ibu ga akan kecewa sama Ifah. Abahpun begitu. Keinginanmu itu baik. Sama baiknya dengan keinginan Abah. Terlebih lagi, Ibu sudah tau dari lama tentang mimpimu itu. Ibu tidak pernah melihat wajahmu yang begitu bahagia selain ketika mengaji kitab”, Jawab ibu dengan lemah lembut. “Uhh Ibuu.. T-tapi, Bu, Abah sangat amat mengharapkan aku kuliah kedokteran.”, Ucapku yang masih terus menangis. “Fah, bagi Ibu maupun Abah, selagi pilihanmu itu baik, Ibu Abah bakal dukung sebisa mungkin. Ibu Abah juga ga bisa memaksakan apapun ke kamu, Kamu yang jalani berarti pilihanmulah yang terbaik untukmu. Nanti biarkan ibu yang bicara ke Abah ya?” Ucap Ibu menenangkanku. “Beneran, Bu?” Ucapku memastikan. “Iya, sayang. Sudah ya nangisnya? Malu tau sama umur” Jawab ibu menghiburku. “Ahh, Ibu.” Akupun berhenti menangis dan memeluk Ibuku.
Malamnya, ketika aku sedang sibuk sendiri di kamarku, Abah memanggilku. “Ifahhh.. Sini, nak..” Panggil Abah. “Iya, Bah.. Sebentar” Jawabku dengan suara yang sedikit keras agar beliau mendengarnya. “Ada apa ya, Bah?” Tanyaku sesampainya di ruang tamu, tempat Abah berada. “Abah mau ngomong.” Ucap Abah dengan wajar serius.
Akupun terdiam. Rasanya aku sangat takut dengan apa yang akan beliau katakan. Namun, aku juga penasaran. Akhirnya, kuberanikan diriku untuk menjawab perkataan beliau, “Iya, Bah. Silakan” Jawabku berusaha setenang mungkin. Kutundukkan pandanganku dan ku genggam erat tanganku. Bersiap menunggu untaian kalimat yang akan beliau lontarkan.
Tiba-tiba, sepasang tangan meraih tubuhku dan memelukku. Aku kaget namun ntah mengapa air mataku mulai membendung di kelopak mataku. “Fah.. Maafin Abah ya?.. Abah terlalu memaksakan keinginan Abah sama Ifah tanpa bertanya lagi apa yang Ifah mau.. Abah bersyukur banget mendengar mimpi Ifah dari Ibu. Ternyata, putri bungsu Abah sudah tumbuh besar menjadi putri sholihah yang selalu mengutamakan akhiratnya daripada dunianya. Dan Abah bangga banget sama Ifah.” Tutur Abah tersenyum dan meneteskan airmatanya.
Mendengar itu, tangisku pun pecah dipelukannya. “Maafin Ifah, Bah.. Maafin Ifah ga bisa mewujudkana keinginan Abah” Ucapku ditengah tangis. “Kenapa minta maaf? Justru Abah makasih ke Ifah karna sudah mempunyai mimpi yang begitu luar biasa. Abah dukung dan selalu mendoakan apapun yang Ifah pilih.” Ucap Abah seraya menenangkanku. “Makasih banyak, Abah” Ucapku yang mulai berhenti menangis. “Iya sayang.” Jawab Abah tersenyum.
Begitulah kisah kelas akhir MA-ku. Rumit namun memberiku banyak pelajaran. Keyakinan yang kufikir hanya akan berakhir sebagai luka, Ternyata berhasil pula mengobati lukaku. Meski meracik obatnya tidaklah mudah, tapi aku berhasil menyelesaikannya. Satu pilihan besar telah kuraih dengan yakin bersamaan dengan ketakutan dan kekhawatiran yang terus mengiringi. Kedepannya, mungkin akan terus kutemui hal seperti ini, namun aku takkan menyerah. Karna ada doa dan dukungan keluargaku yang terus menemaniku.
Cerpen Karangan: Sayyidah Nadhriyatul M. Blog: sayyidahnadhriyatulm.blogspot.com