Semilir angin sore memang sangat sejuk, tak ayal banyak sekali dari anak-anak sampai lansia keluar rumah saat sore hari. Akupun menjadi salah satunya.
Sekian lama tidak keluar rumah, aku memutuskan untuk pergi ke taman dekat rumah. Berjalan mendekati taman lalu duduk sendiri di bangku taman. Tidak jauh dari pandanganku, seketika tatapanku meredup kemudian menunduk. Mengapa rasa itu tidak pernah hilang dari hatiku.
Setiap melihat kebersamaan seorang anak dengan ayahnya, aku sering meringis kesakitan, dadaku sesak dibuatnya. Mereka tidak menyakitiku, namun aku hanya tersakiti oleh masa laluku. Aku tidak mendapati masa kecil yang baik. Mengapa aku harus merasakan ini?.
Aku seperti memiliki tembok besar dengan ayahku sendiri. Ia ayahku, tapi mengapa ia memperlakukanku seperti orang lain?. Aku mencoba memahaminya, mungkin ayah sibuk menafkahi kami semua. Namun ayah lupa akan kasih sayangnya. Mengapa ayah membiarkanku melewati ini semua sendirian?.
Banyak teman-temanku menganggap bahwa aku adalah wanita yang mandiri, banyak juga yang iri dengan apa yang aku punya sekarang. Hmm, mereka tidak tau aku menyembunyikan luka batin yang amat sangat perih ini. Kecuali Nifa.
Saat bergelut dengan pikiranku sendiri, ada seseorang yang menepuk pundak ku. “Hei….” Ucapnya dengan nada seperti biasanya. “Sudah kuduga, kamu disini” Ucapnya lagi sambil duduk di sebelahku. Aku langsung mengusap air mataku kasar sambil mencoba tersenyum. “Eh kok bisa ada kamu disini?” Tanyaku seperti tidak terjadi apa apa. Ya dia adalah Nifa, sahabat kecilku, orang yang benar benar bisa kupercaya.
Nifa hanya tersenyum tipis, lalu menarik tubuhku kedalam pelukannya. “Kalau udah gak kuat, ayo nangis bareng jangan semua dipendam sendiri” seketika tangisku pecah. “Kenapa kita gak bisa dapat kasih sayang dari ayah? Kenapa Fa?.” Ucapku tertahan. Sesak sekali rasanya. Namun sedikit lega, karena memang aku dan Nifa satu nasib, hanya saja Ayah Nifa sudah tenang di alam sana, sedangkan aku masih ada namun seperti sudah tidak ada.
Setelah semuanya sedikit terasa lega. Aku dan Nifa dihampiri oleh lelaki yang memang sangat jarang berkomunikasi denganku. Ya dia adalah Ayahku. Pikirku, ia datang untuk menanyakan apakah uang pemberiannya sudah habis atau masih ada. Namun tiba tiba ayahku memeluk aku dan Nifa. Aku bagai tersambar petir, tidak bisa bergerak, tubuhku kaku. Ini kenyataan atau hanya mimpi seperti biasanya?.
“Nata… Bangun” lagi-lagi suara nyaring itu membangunkanku. Sakit sekali rasanya kalau itu hanya mimpi. Entah kapan ayah bisa memelukku.
erpen Karangan: Anita Setiawati Hai namaku Anita Setiawati. Rumah ku di Jakarta, tapi saat ini aku ada di Salatiga sedang menempuh pendidikan. Aku masih pemula banget nulis cerita. Jadi kalau banyak salah dalam penulisan mohon sarannya supaya cerita yang akan aku buat lagi bisa lebih baik