Aku, Soegimantoro. Seorang bapack-bapack berusia 53 tahun. Aku bekerja sebagai buruh kasar di pabrik plastik. Kalau lagi stres di pabrik, aku suka baca jokes bapack-bapack. Xixixixi. Lanjut ceritanya ya, adick-adick. Eh, pemirsa yang melek literasi.
Setiap libur kerja di hari minggu, aku menambah kegiatan dengan menjadi kurir paket. Hobiku adalah beternak ikan lele. Borneano Eka Soegimantoro alias Nino, putra pertamaku telah berhasil mengembangkan ternak leleku berbekal ilmu dari perguruan tingginya. Walhasil, ternak ikan leleku mulai dikenal dan membuka pintu rejeki keluargaku.
Soal rejeki. Tidak ada yang kurang dari kami. Punya ternak lele, sepeda motor tiga, sepeda angin dua, anak dua, rumah satu, istri satu. Syukur, istriku cuma satu. Dialah Laras Rasarayu Ramubiru. Si wanita bawel, rajin ibadah, dan suka kebersihan. Dia sudah premium buatku. Akulah pemilik full-version-nya dia. Xixixi. Aku tahu dia masih cantik meski sudah tidak muda lagi, lantas kuperintahkan dia agar memakai pakaian yang tertutup dan longgar ketika keluar rumah. Bahkan sejak awal pernikahan kami, Laras tak pernah beli celana panjang. Dia selalu memberi rok atau baju terusan longgar.
Laras sebenarnya memiliki satu tugas utama untuk keluargaku. Dia perlu mendidik anak-anak kami menjadi pemuda yang berguna bagi nusa bangsa dan agama. Terutama mendidik perempuan kedua di keluarga, yakni anakku yang kedua, namanya Safa. Belakangan ini aku melihat ada yang nampak berbeda darinya. Dia sering terlihat murung. Kelakuan mereka padaku ataupun Laras juga berbeda. Dia jadi lebih bandel, ngeyel dan susah diberitahu.
Suatu ketika, Laras menemui Safa di kamarnya sedang murung di dekat meja belajarnya. Anakku yang tahun ini berusia 17 itu nampak tak bersemangat dan tidak melanjutkan belajarnya. Jelaslah dia tidak melanjutkan belajar sementara ada gawai di sampingnya. Laras lantas memerintahkan Safa untuk “membuang” gawainya sejenak. Dia memang menuruti perintah sang ibu. Tapi dia tidak kunjung lepas dari kemurungannya. Dia masih saja loyo-loyo.
“Ada apa sih, Saf? Apa kamu sudah gak mau sekolah lagi?” “Aku bukannya gak mau sekolah, Bu! Aku cuman gak tenang ketika di sekolah!” “Lho? Kok bisa gitu? Apa karena kamu punya kesalahan sama temanmu? Atau, sama gurumu?” “Nggak, Bu! Aku punya masalah sama temanku. Terutama yang laki-laki.”
Safa kemudian menceritakan perlakuan temannya di sekolah. Kata dia, teman-temannya yang laki-laki suka menggodanya. Mereka juga pernah mengintip Safa saat sedang mandi selepas pelajaran olahraga. Beruntungnya, karena keburu ketahuan, usaha mereka untuk melakukan cuci mata tipis-tipis tersebut gagal total alias gatot. Safa bahkan sempat mengadu ke guru BK. Namun hukuman yang diberikan oleh sekolah tidak setimpal. Mereka hanya disuruh menulis “Saya berjanji tak akan mengintip Safa“ sebanyak 1000 kali di buku tulis. Namanya juga siswa nakal. Mereka gak akan kapok. Safa bahkan juga sedikit malu saat bercerita tentang temannya yang pernah bercanda sambil nyerempet ke “sana”. Dah mulai travelling kan pikiran Anda? Xixixixi.
“Teman-teman emang usil gitu, Bu. Tapi korbannya gak cuman aku aja. Teman-temanku yang lain juga ada yang diintip dan digodain sama mereka!” “Ya sudahlah, gak apa-apa. Kamu gak salah. Tapi, kita perlu bicara hal ini ke Ayah.”
Laras bercerita padaku di malam sunyi setelah lelah menguras kolam lele. Dia tahu suasana yang pas untuk ngobrol. Dibuatkanlah kopi tubruk dan kue bolu untukku. Lalu kami sekeluarga makan di dekat kolam lele yang baru saja dikuras. Aku juga baru sadar Laras handal dalam membuat kue. Buktinya, Safa yang tadinya murung jadi terlihat lebih sumringah setelah memakan kue buatannya.
“Astaga! Kok nakal banget temenmu. Siapa orangnya? Sini, biar Ayah sunat lagi burungnya!” “Gak kok, yah! Beruntungnya aku sempat lapor ke BK.” “Hmmm, kamu bilang ke ibu katanya temanmu juga ada yang bernasib sama seperti kamu?” “Iya, yah! Mereka juga sempat lapor ke BK. Tapi hukuman buat pelakunya masih sama. Gak ngefek. Para buaya darat itu masih saja suka berbuat ngeres di sekolah.” “Coba kamu sebutkan siapa korban selain kamu. Gini-gini kakak juga hafal temanmu di sekolah.” “Halah, Nino, Nino! Kamu pasti hafal yang cantik doang.” “Korbannya selain aku itu ada Imel, Detha, sama Clara.”
Bajingan. Nino putraku mengetahui siapa mereka. Dia juga bilang kalau dia hanya hafal yang cantik-cantik saja. Biarlah saja. Kucoba untuk mendengar pendapat dari putraku itu siapa tahu ketemu titik terangnya.
“Itu dia, dek! Itu dia!” “Gimana kak?” “Kalian berempat sama-sama tidak menutup “aurora”. Apalagi dua temanmu yang jadi korban itu ada yang agamanya beda.” “Hmmm, ibu paham. Pasti Aisyah anaknya Ustazah Halimah itu gak pernah digodain atau diusilin temenmu? Yakan, Saf? Ibu yakin seyakin-yakinnya.” “Enggak. Semua temenku yang cowok pada takut sama Aisyah. Dia disegani.” “Oke. Minggu depan kamu harus berpenampilan seperti Aisyah, Saf. Biar gak diusilin temenmu lagi.”
Hari minggu. Aku menyempatkan diri untuk menemani Laras membelikan seragam sekolah baru buat Safa di pasar. Kami mencari seragam sekolah SMA dengan lengan yang panjang. Karena sebelumnya, seragam sekolah milik Safa berlengan pendek. Itu juga yang menurutku mampu memikat buaya darat selain rambut yang tergerai tanpa penutup. Kami juga sekalian membeli kerudung sesuai dengan warna seragam. Biarlah sementara pakai yang tak berlogo sekolah. Nanti kalau emang disuruh beli sama gurunya Safa, ya tinggal beli aja.
Saat hari sekolah tiba, aku yang tengah asik main Domino Higgs sambil ngopi di teras dikejutkan oleh Safa yang berpenampilan beda. Dia nampak lebih indah dan menenangkan hati. Tidak panas seperti dulu. Aku sejujurnya kalau tahu ada perempuan masih sekolah tapi penampilannya “panas” alias terbuka, aku merasa mereka kurang pantas disebut siswa. Mereka lebih pantas disebut l*nte berpendidikan.
“Yah, gimana nih aku? udah cantik belum?” “Gak cantik lagi ini. Tapi indah dan menawan. Kamu persis Aisyah, Nak!” “Nah, kalo gini kan enak liatnya. Kalo kata temen kakak dulu waktu kuliah di UIN, penampilan kayak kamu nih, mirip ukhti-ukhti, hahaha…” “Ukhti? Apa itu?” “Ya, semacam panggilan kepada perempuan dalam Bahasa Arab.” “Tapi inget pesen ibu ya, Nak! Selain penampilan yang diubah, dalamnya juga harus diubah. Kamu boleh bergaul dengan lawan jenis. Tapi, cara bergaulmu jangan meniru temanmu yang beda agama. Lakum dinukum waliya din. Mereka mau berpegangan tangan, pelukan, atau lebih dari itu ya biarin. Kamu jangan. Iman kita kan beda.” “Bener tuh, Saf! Denger kata ibu! Sudah. Berangkat gih keburu rame jalannya!”
Safa juga tak mau lagi berangkat sendiri. Dia lebih memilih minta diantar naik motor oleh Nino sang kakak. Aku pun lega melihat Safa tak murung lagi. Dia jadi makin periang. Safa bilang, saat teman-teman cowok yang sering usil padanya melihat penampilan baru Safa, mereka seketika meminta maaf. Bahkan Safa juga bilang, mereka kini ikut kegiatan seperti OSIS, Qiroah, dan Futsal. Joni, salah satu dari mereka pun pernah berkunjung ke rumah namun untuk menemui Nino. Kata Joni, dia ingin berkonsultasi masalah memilih kampus, serta berencana melanjutkan perguruan tinggi di UIN ambil jurusan keagamaan, biar gak belok lagi. Hahaha.
Itulah, adick-adick, maksudku, kawan-kawan yang melek literasi. Dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 6 Allah SWT telah menjelaskan, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Itu tugas berat buat kita semua yang masih punya keluarga. Apalagi bagi bapack yang memiliki anak perempuan seperti saya, Xixixixixi. Toh, kalaupun tidak punya keluarga, tapi kan pasti masih punya teman. Apa salahnya sih menjaga teman serta kerabat dari “api neraka” ? Sekian kisah dariku, Soegimantoro. Semoga kalian bisa mengambil hikmahnya.
Cerpen Karangan: Renudio Johansson Blog / Facebook: Renudio Gamal Johansson